Jelang 400 Tahun Kastel Batavia, Arkeolog Menyingkap Satu Bastionnya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 27 April 2021 | 08:06 WIB
Pagi menjelang di Kastel Batavia, dilihat dari timur laut ke arah barat daya. Pemandangan kastel sekitar 1627, tampak Bastion Saphier dan Bastion Parel belum rampung dibangun. Dinding-dindingnya dibangun dari batu koral asal pulau-pulau Teluk Batavia. Impresi seniman berdasar catatan dan peta 1627. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Bangunan Kastel bertahan hingga awal abad ke-19. Daendels memerintahkan untuk membongkar Kastel Batavia pada 1808. Alasannya, supaya pertahanan Batavia ini tidak jatuh kepada Inggris.

Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta mengungkapkan bahwa pada akhirnya puing-puing benteng itu kembali diratakan dengan tanah pada 1835. Dia mendasarkan laporan Stuterheim dalam Rapporten 1940 No.1 Het onderzoek naar de aanwezigheid van overblijfelen van het kasteel Batavia—atau Investigasi Keberadaan Sisa-sisa Kastil Batavia—yang dirilis pada 1941. 

"Hanya nama populer Kota Inten yang masih mengingatkan akan salah satu kubu benteng Batavia itu," tulis Heuken.

Baca Juga: James Cook Pernah Keluyuran di Batavia

Sebagian temuan porselen di kubu timur laut Kastel Batavia. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Batu bata Eropa, yang berwarna kuning, ditemukan selama ekskavasi di kubu timur laut Kastel Batavia. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

 

Pentingnya Kastel Batavia untuk Kita

“Tidak banyak penelitian yang dilakukan di situ,” kata arkeolog Candrian Attahiyat. Kini, dia menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, dia bekerja di Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta hingga purnakarya.

Kendati usia kastel ini hampir 400 tahun, Candrian mengungkapkan bahwa sejauh ini catatan penelitian tentang Kastel Batavia baru bermula pada 1940. Penelitian ini dilakukan oleh Willem Frederik Stuterheim (1892-1942), peneliti pada Oudheidkundige Dienst, atau Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Penelitiannya di sekitar sisi selatan, Bastion Diamant dan Bastion Robijn.

Penelitian berikutnya oleh Tim Dinas Museum dan Sejarah, Provinsi DKI, yang melibatkan Candrian. Pada awal 1990-an, survei mencari tembok kota, termasuk Kastel Batavia. Saat itu lokasi penelitiannya berada di luar parit sisi selatan, dekat tembok Gudang Timur VOC. Survei ini juga melibatkan dirinya.

Dari seluruh lahan tapak Kastel Batavia, "sekitar sepertiga kawasan kastel yang dimiliki Pemprov," ujarnya.

 

Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura

Pecahan tembikar di sisi timur laut Kastel Batavia. Bagian botol tembikar dengan cap melingkar bertuliskan SELTERS, yang mengelilingi gambar singa bermahkota. SELTERS merupakan merk air mineral dari mata air Niederselters di Nassau, Jerman. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Botol porselen bertuliskan 'Japansch Zoya' yang dibuat di Deshima, Jepang, untuk pasar Eropa. Botol kecap ini kemungkinan diproduksi pada akhir abad ke-18. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Apa makna Kastel Batavia bagi sejarah Kota Jakarta? Candrian mengungkapkan bahwa kastel ini penting sebagai penanda bahwa Jakarta pernah mengalami sejarah kelam. Menurutnya, kota ini merupakan kawasan yang pertama kali dikuasai oleh Belanda. Sementara itu Daendels telah menghancurkan kastel dan tembok kota ini pada 1808. “Jadi yang tersisa apapun buktinya tentunya barangkali kita sajikan narasinya yang cukup bijak kepada publik,” ujarnya “sehingga publik tidak terjebak pada romantisme sejarah atau sentimen antikolonial.”

“Saya meyakini bahwa ini semuanya Bastion Saphier. Cuma kita nanti menentukan batas-batasnya, apakah batas itu penting atau tidak,” ujar Candrian terkait dengan zonasi kawasan. Demikian juga untuk “pembangunan, signifikansi, dan pelestariannya akan dikaji secara utuh oleh Tim Ahli Cagar Budaya.”

Baca Juga: Buang Sampah ke Sungai Merupakan Warisan Zaman VOC, Benarkah?

Seorang pekerja melangkah pulang, meninggalkan hasil ekskavasi yang menampakkan susunan batu bata di Bastion Saphier, kubu timur laut Kastel Batavia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)