Nationalgeographic.co.id—Tim arkeolog meneliti sepetak kawasan di tapak Kastel Batavia, kawasan Kota Tua Jakarta. Petak gali penelitian mereka menyerupai aksara “J”. Penelitian ini berjalan selama dua minggu, yang bermula pada 13 April silam. Mereka telah menemukan struktur batu bata yang membentuk Bastion Saphier, nama kubu yang berada di sisi timur laut Kastel Batavia. Kendati demikian temuan itu masih belum menampakkan sudut dan lebar dindingnya secara utuh.
Kastel Batavia ini dibangun pada 1627-1628, menggantikan kastel sebelumnya yang berukuran lebih kecil. Daendels menghancurkan kastel dan tembok kota, kemudian memindahkan jantung kota ke kawasan Weltevreden pada 1808-1809. Semenjak itu situasi kawasan pesisir ini berubah, seolah ditinggalkan dan dilupakan. Tapak kastel pun dijangkiti bangunan gudang, pabrik, dan permukiman silih berganti.
“Sebagian besar situs sudah rusak teraduk terutama bagian tengah lahan yang diperkirakan bagian tengah kastel,” kata Wanny Rahardjo Wahyudi selaku Ketua Tim Penelitian. “Penelitian terkendala dengan lahan situs yang sudah terlapis dengan aspal dan beton yang cukup tebal.”
Baca Juga: Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai "Kota Tahi"
Dia dan timnya mengekskavasi di sepetak lahan yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka membuat dua area kotak gali. Di sisi timur ada dua kotak gali masing-masing berukuran 4 x 4 meter dan 6 x 4 meter. Sementara di bagian tengah terdapat tiga kotak gali masing-masing berukuran 4 x 4 meter. Namun, timnya masih beruntung karena di bagian bagian timur relatif lebih baik kondisinya.
“Pada bagian timur laut ditemukan susunan bata yang kami perkirakan bagian bastion kastil,” ungkap Wanny. Dia menambahkan temuan lainnya berupa “sisa karang yang merupakan penguat bangunan. Sementara itu temuan lepasnya ada beberapa pecahan keramik Cina.”
Wanny mengabarkan bahwa penelitian ini juga melakukan pemindaian dengan alat ground penetrating radar. “Hasil penelitian akan kami serahkan ke Tim Ahli Cagar Budaya DKI,” imbuhnya. “Tim inilah yang berwenang memberi rekomendasi tindakan lebih lanjut.”
Baca Juga: Kisah Paket yang Tak Sampai: Tenggelamnya Gerbang Kota Batavia
Mereka menemukan ratusan repihan barang pecah belah. Selain pecahan keramik Cina, temuan lainnya adalah pecahan keramik Jepang, dan beragam botol, baik terbuat dari kaca maupun tembikar. National Geographic Indonesia menjumpai dua temuan pecahan barang pecah belah di tepian kotak ekskavasi.
Pertama, pecahan botol porselen bertuliskan Japansch Zoya yang tampaknya dibuat di Deshima, Jepang, untuk pasar Eropa. Botol kecap ini kemungkinan diproduksi pada akhir abad ke-18.
Kedua, Pecahan tembikar di sisi timur laut Kastel Batavia. Bagian botol tembikar dengan segel melingkar yang dicap tepat di bawah bahu. Cap itu bertuliskan SELTERS yang mengelilingi gambar singa bermahkota. SELTERS merupakan merk air mineral dari mata air Niederselters di Nassau, Jerman. Mata air ini menghasilkan air berkarbonasi secara alami yang telah dikenal selama ratusan tahun. Pada akhir abad ke-18, air mineral itu dibotolkan dan diekspor ke seluruh dunia.
Latar Sejarah Pembangunan Kastel Batavia
Sejarah baru tercipta di Muara Ciliwung. Kamis, 30 Mei 1619, serdadu-serdadu VOC asal Belanda dan tentara bayarannya asal Belgia, Denmark, dan Jepang bergempita merayakan keberhasilan penaklukkan Jaccatra di benteng mereka. Sementara itu Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen justru masih berada nun jauh di Kepulauan Rempah, Maluku.
Jaccatra adalah sebutan dalam dokumen VOC untuk Kota Jayakarta. Para serdadu telah mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia, penghormatan kepada suku bangsa Batavier sebagai leluhur orang-orang Belanda. Benteng kecil Jaccatra pun berganti nama menjadi Kasteel Batavia.
Kendati Jayakarta ditaklukkan pada 1619, sejatinya nama resmi “Jaccatra” masih digunakan hingga dua tahun kemudian. Barulah pada Sabtu, 28 Agustus 1621, Coen menulis dalam Plakaatboek bahwa kompeni diperintahkan “supaya kota ini harus disebut dan diberi nama sejak saat ini dan seterusnya [sebagai] Kota Batavia dan bentengnya Kasteel Batavia yang terletak di dalam Kerajaan Jaccatra.”
Baca Juga: Zaman VOC, Biang Kemacetan Bisa Kena Denda
Sejak awal Agustus 1619, sejatinya Jan Pieterzoon Coen sudah resah tentang keadaan Kasteel Batavia, yang layaknya tempat tinggal darurat. Kehidupan pun ala kadarnya. Intinya, benteng itu terlalu kecil sehingga perlu diperbaiki, atau perlu dibangun benteng baru.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan membangun kota taklukan yang tanpa penduduk ini?
Batavia mendapati kesulitan sumber daya manusia. Coen memiliki siasat jitu—dan tak beradab—untuk perkara ini. Semua orang Cina yang berada di kapal jung mereka akan dikirim ke Batavia untuk meneruskan pekerjaan pembangunan kota. Tidak hanya orang Cina; orang Jawa, tawanan perang, dan orang Banda pun dipindahkan ke Batavia.
Demi pembangunan benteng baru, VOC menugaskan Kapten Willem Ysbrandtszoon Bontekoe (1587 – 1657) untuk mendatangkan material dari Kepulauan Seribu. Kini, patung torsonya dipajang di pelabuhan kota kelahirannya, Hoorn. Ia menulis catatan perjalanannya dari Hoorn ke Hindia Timur, yang terbit pada 1646.
Baca Juga: Makam Kapitan Cina Pertama di Batavia, Makam Tertua Seantero Jakarta
“Mereka memberi saya empat puluh laskar untuk mengungkit dan mengikat batu-batu dengan tambang supaya dapat menghelanya ke dalam perahu,” ungkapnya. “Batu-batu tersebut sangat putih, jauh lebih putih daripada batu kapur di negeri Belanda. Benteng di bangun terutama dari batu seperti itu, dari dalam air terus hingga puncak. Senang melihatnya. ”
Luas Kastel Batavia yang baru kira-kira tiga kali luas kastel yang lama. Empat bastionnya—kubu benteng—memiliki nama-nama batu mulia. Searah jarum jam berawal dari barat laut: Parel, Saphier, Robijn, dan Diamant.
Sebelum penyerangan pertama Mataram ke Batavia pada pertengahan 1628, Kasteel Batavia kedua telah berdiri. Di sisi selatannya tampak permukiman baru yang bersabuk jaringan kanal. Bahkan, seruas kanal telah dibangun di sisi timur, berikut dengan bangunan pertahanan.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Bangunan Kastel bertahan hingga awal abad ke-19. Daendels memerintahkan untuk membongkar Kastel Batavia pada 1808. Alasannya, supaya pertahanan Batavia ini tidak jatuh kepada Inggris.
Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta mengungkapkan bahwa pada akhirnya puing-puing benteng itu kembali diratakan dengan tanah pada 1835. Dia mendasarkan laporan Stuterheim dalam Rapporten 1940 No.1 Het onderzoek naar de aanwezigheid van overblijfelen van het kasteel Batavia—atau Investigasi Keberadaan Sisa-sisa Kastil Batavia—yang dirilis pada 1941.
"Hanya nama populer Kota Inten yang masih mengingatkan akan salah satu kubu benteng Batavia itu," tulis Heuken.
Baca Juga: James Cook Pernah Keluyuran di Batavia
Pentingnya Kastel Batavia untuk Kita
“Tidak banyak penelitian yang dilakukan di situ,” kata arkeolog Candrian Attahiyat. Kini, dia menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, dia bekerja di Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta hingga purnakarya.
Kendati usia kastel ini hampir 400 tahun, Candrian mengungkapkan bahwa sejauh ini catatan penelitian tentang Kastel Batavia baru bermula pada 1940. Penelitian ini dilakukan oleh Willem Frederik Stuterheim (1892-1942), peneliti pada Oudheidkundige Dienst, atau Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Penelitiannya di sekitar sisi selatan, Bastion Diamant dan Bastion Robijn.
Penelitian berikutnya oleh Tim Dinas Museum dan Sejarah, Provinsi DKI, yang melibatkan Candrian. Pada awal 1990-an, survei mencari tembok kota, termasuk Kastel Batavia. Saat itu lokasi penelitiannya berada di luar parit sisi selatan, dekat tembok Gudang Timur VOC. Survei ini juga melibatkan dirinya.
Dari seluruh lahan tapak Kastel Batavia, "sekitar sepertiga kawasan kastel yang dimiliki Pemprov," ujarnya.
Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura
Apa makna Kastel Batavia bagi sejarah Kota Jakarta? Candrian mengungkapkan bahwa kastel ini penting sebagai penanda bahwa Jakarta pernah mengalami sejarah kelam. Menurutnya, kota ini merupakan kawasan yang pertama kali dikuasai oleh Belanda. Sementara itu Daendels telah menghancurkan kastel dan tembok kota ini pada 1808. “Jadi yang tersisa apapun buktinya tentunya barangkali kita sajikan narasinya yang cukup bijak kepada publik,” ujarnya “sehingga publik tidak terjebak pada romantisme sejarah atau sentimen antikolonial.”
“Saya meyakini bahwa ini semuanya Bastion Saphier. Cuma kita nanti menentukan batas-batasnya, apakah batas itu penting atau tidak,” ujar Candrian terkait dengan zonasi kawasan. Demikian juga untuk “pembangunan, signifikansi, dan pelestariannya akan dikaji secara utuh oleh Tim Ahli Cagar Budaya.”
Baca Juga: Buang Sampah ke Sungai Merupakan Warisan Zaman VOC, Benarkah?