Sekerat Hikayat Menu Babi Nusantara sampai Resep Warisan Bung Karno

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 13 Mei 2021 | 09:00 WIB
Babi perunggu, lambang kemakmuran, berasal dari zaman Majapahit. Saat ini menjadi koleksi Metropolitan Museum, Amerika Serikat. (Metropolitan Museum)

Ary menambahkan gambaran sejak kapan sejatinya menu babi mulai menghilang dalam penerbitan buku resep. "Buku-buku resep pun sampai tahun 1970-an [sampai] 1980-an masih cukup biasa yang mencampur resep Cina dan Indonesia, di mana ada resep masakan babi seperti zaman Mustikarasa.""Buku-buku resep akhir 1980-an menuju 1990-an mulai tersegmentasi jelas," ujarnya. "Resep Tionghoa atau yang bau babi mulai diterbitkan lepas, dan resep babi mulai dikeluarkan dari menu-menu nasional."Sejatinya, hilangnya menu babi dalam buku-buku resep masakan bukan perkara baru kata Ary. Penulis resep berlatar Islam telah memulainya, seperti Siti Asidah menerbitkan buku resep masakan bertajuk Kitab Deradjat Istri: Ilmoe Peladjaran Bikin Koewé-Koewé dan Masakan-Masakan, yang diterbitkan Tan Khoen Swie di Kediri pada 1935. Juga, Boekoe Masak-Masakan karya Chailan Sjamsu yang terbit pada 1948. Keduanya meniadakan menu babi pada buku mereka.

Baca Juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta

Lukisan 'Berburu Celeng' karya Untung Wahono, 2014. (MutualArt)
Namun, Ary melihat mulai muncul perkara baru pada zaman sekarang. Tidak banyak buku resep tradisi masakan khas daerah-daerah yang mayoritas warganya bukan Muslim atau mereka yang menjadikan babi sebagai pemenuhan protein hewani—seperti Batak, Manado, dan Papua. Tentu, perkara ini berhubungan juga dengan pasar buku di Jawa dan Sumatra yang mayoritas warganya adalah Muslim.Sejak permulaan dakwah Islam pada abad-abad kuno di Nusantara, pantangan makan babi sudah menjadi bagian syarat kepatuhan sebagai Muslim yang kafah, ujarnya. Rasa jijik pada babi yang haram—bahkan rasa jijik pada anjing yang najis—tampaknya sudah lama dipupuk dalam dakwah. Akhirnya, secara psikologis rasa jijik itu sudah menjadi bagian narasi mayoritas. Meskipun, menurut Ary, Islam sejatinya hanya memberikan larangan untuk menjadikannya santapan, bukan membenci dan merundung satwa kaki pendek ini.

Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

Lukisan 'Berburu Celeng' karya Djoko Pekik, 1998. Perburuan babi hutan telah dimulai setidaknya 45 ribu tahun silam di Nusantara. (Indonesia Art News)

Konstruksi berpikir semacam ini tampaknya memberi petunjuk kepada kita tentang persepsi masyarakat terhadap babi. Mengapa belakangan ini percakapan tentang babi dan menu daging babi seolah menjadi perundungan dan percakapan tak berkesudahan di media sosial? Boleh jadi, masyarakat telanjur meyakini pada narasi babi sebagai satwa menjijikkan, durjana, dan pembawa bencana. Mustikarasa boleh jadi buku terlengkap dan terakhir yang menautkan rasa dalam budaya kosmopolitan kita. Adikarya ini membangun narasi selera ke-Indonesia-an, yang dihimpun dari cerita kebinekaan geografi dan budayanya. Kita bisa mengibaratkan konstruksi budaya menjadi wadahnya, sementara kosmopolitanisme merupakan bagian isinya.

Apakah pada hari ini jiwa-jiwa kosmopolitan itu telah meluntur? Ary mengakhiri perbincangan dengan berkata, "Ketika wadah berubah, isi pun turut berubah."