Ary menambahkan gambaran sejak kapan sejatinya menu babi mulai menghilang dalam penerbitan buku resep. "Buku-buku resep pun sampai tahun 1970-an [sampai] 1980-an masih cukup biasa yang mencampur resep Cina dan Indonesia, di mana ada resep masakan babi seperti zaman Mustikarasa.""Buku-buku resep akhir 1980-an menuju 1990-an mulai tersegmentasi jelas," ujarnya. "Resep Tionghoa atau yang bau babi mulai diterbitkan lepas, dan resep babi mulai dikeluarkan dari menu-menu nasional."Sejatinya, hilangnya menu babi dalam buku-buku resep masakan bukan perkara baru kata Ary. Penulis resep berlatar Islam telah memulainya, seperti Siti Asidah menerbitkan buku resep masakan bertajuk Kitab Deradjat Istri: Ilmoe Peladjaran Bikin Koewé-Koewé dan Masakan-Masakan, yang diterbitkan Tan Khoen Swie di Kediri pada 1935. Juga, Boekoe Masak-Masakan karya Chailan Sjamsu yang terbit pada 1948. Keduanya meniadakan menu babi pada buku mereka.
Baca Juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta
Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika
Konstruksi berpikir semacam ini tampaknya memberi petunjuk kepada kita tentang persepsi masyarakat terhadap babi. Mengapa belakangan ini percakapan tentang babi dan menu daging babi seolah menjadi perundungan dan percakapan tak berkesudahan di media sosial? Boleh jadi, masyarakat telanjur meyakini pada narasi babi sebagai satwa menjijikkan, durjana, dan pembawa bencana. Mustikarasa boleh jadi buku terlengkap dan terakhir yang menautkan rasa dalam budaya kosmopolitan kita. Adikarya ini membangun narasi selera ke-Indonesia-an, yang dihimpun dari cerita kebinekaan geografi dan budayanya. Kita bisa mengibaratkan konstruksi budaya menjadi wadahnya, sementara kosmopolitanisme merupakan bagian isinya.
Apakah pada hari ini jiwa-jiwa kosmopolitan itu telah meluntur? Ary mengakhiri perbincangan dengan berkata, "Ketika wadah berubah, isi pun turut berubah."