Potret Kehidupan dan Harapan Para Perempuan Muda di Jalur Gaza

By National Geographic Indonesia, Minggu, 23 Mei 2021 | 12:00 WIB
Yara dan teman-temannya menyiapkan nomor tarian saat listrik padam. Bahan bakar langka di Gaza dan banyak keluarga hanya menerima enam sampai delapan jam listrik sehari. (Monique Jaques)

Nationalgeographic.co.id—Kehidupan di Jalur Gaza begitu sulit. Ada konflik, kemiskinan, dan sedikit bahan bakar yang hanya cukup untuk menyalakan listrik selama beberapa jam sehari. Dua juta orang tinggal di wilayah yang dikuasai Palestina, menjadikannya sebagai salah satu tempat paling sesak di dunia.

Monique Jaques, seperti banyak jurnalis foto,  awalnya melakukan perjalanan ke Gaza pada 2004 untuk meliput perang dengan Israel. Tapi setelah tinggal dengan sebuah keluarga dan berteman dengan anak perempuan keluarga tersebut yang sebayanya, berbagai cerita tak terduga mulai bermunculan.

Jaques mulai mengerti bahwa di tempat yang kehidupan sehari-harinya begitu menantang, tumbuh sebagai perempuan menjadi hal yang lebih sulit lagi. Anak perempuan adalah cerminan keluarga mereka, kata Jaques. Ada banyak tekanan pada mereka untuk berperilaku dengan cara yang menarik perhatian calon pasangan terbaik dan meringankan beban keluarga.

Baca Juga: Mandat Britania di Palestina, Awal Mula Konflik Israel-Palestina

Anak perempuan bermain sepak bola di Kota Beit Lahiyah di Gaza utara. Perempuan di Gaza biasanya melakukan semua jenis olahraga sampai usia 16 tahun, kata Jaques. Banyak yang berhenti setelah itu karena keluarga mereka fokus untuk mencari suami untuk mereka. (Monique Jaques)

 

Hadeel Fawzy Abushar, 25, merekam sebuah lagu di sebuah studio di Kota Gaza pada tahun 2013. Hanya ada sedikit penyanyi perempuan yang tersisa, karena keluarga dan pemerintah daerah memandang rendah profesi tersebut, kata Jaques. Hadeel memulai saat berusia 12 tahun dan semua saudaranya adalah penyanyi. (Monique Jaques)

 

Seorang pengantin menunggu memasuki ruang pernikahan. Perempuan sekarang diizinkan untuk terlihat pada hari pernikahan mereka oleh laki-laki manapun kecuali tunangan mereka, kata Jaques. (Monique Jaques)

 

Keindahan itu penting dimana-mana. Di sini, seorang gadis memamerkan kuku bertema Palestina-nya. Jaques mengamati, gadis-gadis di Gaza sama pedulinya dengan penampilan mereka seperti orang lain di seluruh dunia. (Monique Jaques)

 

 

Kondisi ini diperbesar oleh kenyataan bahwa keluarga besar hidup secara komunal dan hanya ada sedikit hal yang bisa lolos dari pengawasan orang lain. Bahkan bertemu dengan laki-laki untuk minum kopi tanpa sepengetahuan orang tua Anda, kata Jaques, bisa jadi penyebab gosip.

Untuk mendapatkan akses, Jaques mulai bertemu sebanyak mungkin gadis, dan membangun tradisi cerita lisan oleh orang-orang Palestina, dengan meminta mereka membagikan ceritanya. Satu hal bisa mengarah ke hal lain saat dia membuat lebih banyak koneksi. Meskipun sebagian besar orang yang difotonya tinggal di Kota Gaza yang lebih liberal, masih ada tantangan untuk meyakinkan remaja dan orang dewasa muda untuk menyingkirkan kekhawatiran akan norma sosial dan membiarkannya memotret mereka.

"Bila Anda masih muda Anda bisa melakukan apapun yang Anda mau," kata Jaques. "Begitu Anda mengalami pubertas, semuanya berubah. Keluarga akan mendorong anak perempuan muda mereka untuk difoto, tapi lebih enggan menyuruh anak perempuan yang lebih tua."

Baca Juga: Gerakan Partai Komunis Palestina, Perlawanan Zionis dan Lika-Likunya

 

Doaa mengambil foto dirinya di sebuah kafe trendi di Kota Gaza pada 2012. (Monique Jaques)

Bagi banyak warga Gaza, laut adalah satu-satunya tempat mereka bisa melupakan tentang isolasi mereka. Sabah Abu Ghanem, 14, dan adiknya berselancar di pagi hari di luar Kota Gaza pada tahun 2013. Kakak adik ini menjuarai banyak kompetisi di dalam Jalur Gaza, namun tidak pernah meninggalkan Jalur Gaza untuk bertanding. Ketika Jaques baru-baru ini mengunjungi Gaza kembali , Sabah telah menikah dan tidak lagi merasa nyaman untuk difoto. (Monique Jaques)

 

Sebagian besar gadis yang dia potret tidak pernah pergi ke luar Gaza, tapi kebanyakan mereka semua ingin pergi, jika hanya untuk waktu yang singkat. "Aku berharap aku bisa pergi sehari saja ke tempat di mana tidak ada orang yang mengenalku," salah satu gadis itu kepada Jaques.

Meskipun mengalami kesulitan, Jaques memutuskan untuk lebih berfokus pada saat-saat kegembiraan, harapan, dan kekuatan yang dapat ditemukan di lingkungan dengan kehidupan terbatas dan terus terkoyak itu.

Ia mendokumentasikan para wanita muda di waktu-waktu pribadi mereka, tapi juga sebagai anggota masyarakat— bekerja sebagai petugas polisi dan dokter, pergi ke sekolah, bersosialisasi di sebuah kafe.

Ia telah dikritik oleh beberapa orang, karena menggeser fokus dari penderitaan yang sedang dialami warga Gaza. Tapi Jaques bertekun dengan fotografi dan mengumpulkan cerita. "Masih banyak lagi selain gambar perang," katanya. "Gadis-gadis ini memiliki kehidupan yang sangat kaya. Mereka bekerja, pergi ke sekolah, dan memiliki harapan serta impian."

 

Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Ketahui Tentang Roket Gaza untuk Melawan Israel

Di sebuah teater di Kota Gaza, para wanita menampilkan cerita untuk khalayak wanita yang secara eksklusif memperluas tradisi cerita lisan yang kaya di Gaza. Topik meliputi cinta, pernikahan, persahabatan dan keluarga. (Monique Jaques)

 

Wanita muda berlatih berada di kepolisian. Hamas membanggakan diri pada kepolisian perempuannya, yang sangat membantu dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga dan penegakan hukum. (Monique Jaques)

 
 
Beberapa jam setelah gencatan senjata diumumkan antara Hamas dan Israel pada tahun 2012, rakyat Kota Gaza mulai membangun kembali. Toko-toko buka dan keluarga pergi untuk menyaksikan kerusakan yang terjadi akibat serangan baru-baru ini. (Monique Jaques)
 

Gadis-gadis menyaksikan matahari terbenam di pelabuhan Kota Gaza. (Monique Jaques)