Dahulu Dianggap Buruk, Bagaimana Festival Peh Cun Dirayakan Meriah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 15 Juni 2021 | 12:42 WIB
Pertunjukkan Barongsai pada Malam Perayaan Peh Cun menjadi daya tarik tersendiri bagi yang menyaksik (Zika Zakiya)

 

Selain itu juga ada yang menggunakan daun dringo (Acorus calamus) untuk ditempel di atas rumah. Daun ini disebut sebagai changpu yang berbentuk seperti pedang yang dianggap senjata dari guru langit untuk menaklukan siluman.

Tetapi juga bisa dikonsumsi yang memberik khasiat herbal untuk mengatasi demam, malaria, dan sebagai fungisida—menghambat penyakit.

Kemudian ada pula daun gajahan (Clinacanthus nutans) yang disebut sebagai daun Ai.

"Sering dipakai untuk makanan—enak sih kalau dimasak. Dipercaya bisa mengatasi batuk asma. Bahkan digunakan dalam TCM (traditional chinese medicine) untuk moxabasi," kata Ardian. "Uniknya, kalau daun Ai dibakar bersama daun changpu bisa mengusir nyamuk dan serangga. Jadi selain menggantung dua tumbuhan ini, tetapi sudah mengetahui fungsi ini dalam umum dan pengetahuannya, digantungnya [dua tumbuhan ini] di pintu untuk mengusir setan."

Baca Juga: Kisah Teladan Para Tokoh yang Menginspirasi di Balik Festival Peh Cun

Acorus calamus atau daun dringo yang dipercaya sebagai pedang untuk melawan hama bagi masyarakat Tionghoa. (J.F. Gaffard, Autoreille/Wikimedia)

Dalam menolak bala perjodohan juga dilakukan lewat menaruh bunga delima di telinga gadis remaja. Akibatnya, Peh Cun juga dianggap sebagai harinya kaum putri yang dimaksudkan untuk melibatkan anak perempuan mereka dalam festival.

"Dan harus ada upaya untuk menajga hubungan orangtua dan putrinya, terutama anaknya menikah dengan keluarga lain. Sehingga mereka meminta pada saat tertentu gadis-gadisnya kembali untuk 'melapor' ada perlakuan tidak baik atau tidak ada," lanjut Ardian.

"Menaruh bunga delima bisa menjadi kejayaan dan bekerhasilan bila tak mengalami penindasan oleh pihak [keluarga] mertua jika sudah menikah."