Dahulu Dianggap Buruk, Bagaimana Festival Peh Cun Dirayakan Meriah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 15 Juni 2021 | 12:42 WIB
Pertunjukkan Barongsai pada Malam Perayaan Peh Cun menjadi daya tarik tersendiri bagi yang menyaksik (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id - Ketika Peh Cun diselenggarakan, kita lebih mengenalnya sebagai hal-hal positif yang dirayakan, seperti perahu naga—yang menjadi arti Peh Cun secara harfiah, dan memakan bacang.

Tetapi sejatinya, Peh Cun merupakan hari yang buruk. Secara tanggal, ia berada di tanggal 5 bulan kelima dalam kalender Imlek.

Ardian Cangianto mengungkap alasannya dalam webinar Mengenal Dekat Festival Pehcun dan Demo Virtual Pembuatan Bak Cang Bangka, Minggu (13/05/2021). Forum itu diadakan berbagai lembaga komunitas Tionghoa seperti HETIKA (Heritage of Tionghoa Bangka).

"Sistem kalender dalam perhitungan matematika Tionghoa, Peh Cun dilakukan pada Duanwu. Wu adalah unsur yang berarti puncak api. Mengandung konsep peralihan dari Yang menuju Yin—dari positif ke negatif, yang jadi persiapan musim panas ke musim gugur" terangnya.

 

"Nah di situ adalah bagaimana kita melihat alam, bagaimana mereka melihat sistem musim (yang dibagi menjadi empat). Tetapi setiap peralihan musim, pasti ada festival-festival."

PehCuun adalah satu di antara festival untuk peralihan musim. Sehingga, festival itu tak selalu identik dengan perahu naga dan bacang tetapi pada waktu dan kekuatan alam, papar Ardian.

Penggunaan Peh Cun sebagai hari yang buruk bahkan sudah dicatat lama sekali sebelum adanya kisah Qu Yuan yang jatuh ke sungai. Jika konteksnya di Indonesia pun, waktu Peh Cun adalah masa pancaroba yang menganggapnya sebagai racun dan udara buruk.

Maka muncullah usaha untuk mengahapi perubahan cuaca yang menyebabkan masyarakat sakit, dan sial. Cara untuk mengusirnya adalah mandi tengah hari atau mengambil hari tengah hari.

Baca Juga: Asal Usul Festival Peh Cun, Hari Mendayung Perahu dan Makan Bakcang

Bakcang, salah kudapan peranakan Tionghoa yang populer di Nusantara. Kudapan ini kerap disajikan dalam perayaan Peh Cun. (Agni Malagina/FIB UI)

"Sebab puncak hari itu dianggap positif. Bulan Wu, tanggal Wu, jam Wu. Mereka percaya dengan kekuatan alam semesta itu bisa menolak bala," papar Ardian. "Kebudayaan ini berlaku di wilayah tertentu seperti Xiamen, Fujian, termasuk orang Hakka sendiri."

Sedangkan budaya masyarakat Tionghoa lain melakukan ritual lain seperti menempel kertas jimat, menaruh lukisan Baize, gambar Zhongkui—yang sudah jarang dilakukan.

Lukisan Baize yang sudah paling jarang dilakukan, identik dengan hewan yang sakti dan mempunyai pengetahuan luar biasa untuk melawan lima siluman beracun. Asal-usulnya dikatikan dengan Kaisar Kuning yang melakukan inspeksi di Laut Timur, dan bertemu dengan makhluk yang bisa berbicara dengan manusia.

Lima hal beracun itu, dikaitkan dengan pandangan tradisional bahwa Wu dalam kalender berkaitan dengan lima hal beracun. Lima siluman itu beracun itu adalah kodok, kelabang, kalajengking, tokek (sebagian menggunakan laba-laba), dan ular beracun. Lima hewan ini dianggap hama yang membuat manusia sakit, terlebih pada masa awal kebudayaan ini kelimanya sangat aktif mengincar penduduk.

Baca Juga: Mitos di Balik Perayaan Peh Cun sebagai Tradisi Masyarakat Tionghoa

Perayaan Peh Cun identik dengan mendayung perahu naga, menyantap bakcang, dan menegakkan telur. Setiap hari kelima pada bulan kelima penanggalan Imlek, diyakini posisi Matahari-Bumi-Bulan berada dalam satu garis lurus, sehingga gravitasi itu membuat telur bisa berdiri. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

 

 

Selain itu juga ada yang menggunakan daun dringo (Acorus calamus) untuk ditempel di atas rumah. Daun ini disebut sebagai changpu yang berbentuk seperti pedang yang dianggap senjata dari guru langit untuk menaklukan siluman.

Tetapi juga bisa dikonsumsi yang memberik khasiat herbal untuk mengatasi demam, malaria, dan sebagai fungisida—menghambat penyakit.

Kemudian ada pula daun gajahan (Clinacanthus nutans) yang disebut sebagai daun Ai.

"Sering dipakai untuk makanan—enak sih kalau dimasak. Dipercaya bisa mengatasi batuk asma. Bahkan digunakan dalam TCM (traditional chinese medicine) untuk moxabasi," kata Ardian. "Uniknya, kalau daun Ai dibakar bersama daun changpu bisa mengusir nyamuk dan serangga. Jadi selain menggantung dua tumbuhan ini, tetapi sudah mengetahui fungsi ini dalam umum dan pengetahuannya, digantungnya [dua tumbuhan ini] di pintu untuk mengusir setan."

Baca Juga: Kisah Teladan Para Tokoh yang Menginspirasi di Balik Festival Peh Cun

Acorus calamus atau daun dringo yang dipercaya sebagai pedang untuk melawan hama bagi masyarakat Tionghoa. (J.F. Gaffard, Autoreille/Wikimedia)

Dalam menolak bala perjodohan juga dilakukan lewat menaruh bunga delima di telinga gadis remaja. Akibatnya, Peh Cun juga dianggap sebagai harinya kaum putri yang dimaksudkan untuk melibatkan anak perempuan mereka dalam festival.

"Dan harus ada upaya untuk menajga hubungan orangtua dan putrinya, terutama anaknya menikah dengan keluarga lain. Sehingga mereka meminta pada saat tertentu gadis-gadisnya kembali untuk 'melapor' ada perlakuan tidak baik atau tidak ada," lanjut Ardian.

"Menaruh bunga delima bisa menjadi kejayaan dan bekerhasilan bila tak mengalami penindasan oleh pihak [keluarga] mertua jika sudah menikah."

 

Ada pula tradisi guofang yang menitipkan anak yang lahir di tanggal lima bulan kelima ke keluarga lain. Awal mula tradisi ini berasal dari kisahnya Meng Changjun atau yang juga disebut Tianwen yang merupakan pejabat Tiongkok di masa lalu.

Setiap anak yang lahir di tanggal lima bulan kelima dianggap membawa celak orangtuanya, terutama saat tingginya sudah sama dengan pintu. Maka masyarakat banyak yang membunuh atau mengusir anaknya karena tak menghendaki tanggal itu.

"Jadi enggak bisa digeser sebelum itu—kan belum ada operasi sesar," tanggap Ardian. "Inilah yang terjadi pada Tianwen yang lahir saat Peh Cun."

Baca Juga: Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan

Bunga delima menjadi simbol keikutsertaan perempuan dalam festival Peh Cun. (Pixabay)

 

Ayah Tianwen menginginkan anaknya dibunuh. Tetapi sang ibu merasa kasihan dan memilih menitipkannya ke keluarga lain. Kisah ini kemudian diikuti oleh masyarakat untuk mencegah keburukan hari Peh Cun.

Ada pula cara lain mencegah keburukan itu seperti meninggikan pintu rumah, papar Ardian.

Itulah beberapa tradisi untuk menolak bala bagi masyarakat Tionghoa saat Peh Cun. Ardian mengakui, ada banyak tradisi lainnya yang tak disebutkannya. Lantaran, setiap masyarakat Tionghoa, bahkan di Tiongkok sendiri, pun beragam meyakini Peh Cun.

Baca Juga: Mengenal Tionghoa Padang dan Proses Asimilasinya di Sumatra Barat