"Bakteri itu tidak memiliki gen yang memungkinkan penularan oleh kutu," ujar Krause-Kyora, yang ikut menulis dalam studi baru tersebut. Selama Black Death, gigitan kutu merupakan sumber utama penularan infeksi.
Jadi, dalam ribuan tahun antara kematian si pemburu-pengumpul dan Black Death, bakteri Yersinia pestis bermutasi sedemikian rupa sehingga memberinya kemampuan untuk melompat antar spesies melalui kutu.
"Perubahan itu adalah kekuatan pendorong utama wabah yang cepat dan meluas," kata Krause-Kyora, seperti dikutip dari Business Insider.
Pria pemburu-pengumpul Zaman Batu itu meninggal di wilayah yang sekarang disebut Latvia. Di dekat tulang-tulang pria itu, para antropolog juga menemukan kerangka pria lain, seorang gadis remaja, dan bayi yang baru lahir, tetapi tidak ada dari ketiganya yang juga terinfeksi bakteri tersebut.
Baca Juga: Data Twitter Bisa Bantu Prediksi Wilayah yang Akan Terdampak COVID-19
Tim Krause-Kyora sebenarnya tidak bertujuan untuk mencari korban wabah kuno dalam penggalian dan penelitian arkeologi tersebut. Mereka semula ingin melihat apakah keempat orang yang terkubur itu saling terkait.
Namun sebelum menyelesaikan analisis genetik yang direncanakan, tim menyaring DNA purba yang diekstraksi dari tulang-tulang dan gigi-gigi untuk mencari jejak patogen. Begitulah cara mereka hingga akhirnya menemukan bakteri tersebut.
Jadi, dalam ribuan tahun antara kematian si pemburu-pengumpul dan Black Death, bakteri Yersinia pestis bermutasi sedemikian rupa sehingga memberinya kemampuan untuk melompat antar spesies melalui kutu.
"Perubahan itu adalah kekuatan pendorong utama wabah yang cepat dan meluas," kata Krause-Kyora, seperti dikutip dari Business Insider.
Baca Juga: Ternyata, Pemakaman Korban Black Death Dilakukan Secara Hati-hati