Nationalgeographic.co.id - Jika terjadi perang, perjanjian internasional melarang beberapa penggunaan senjata. Salah satu perjanjian itu adalah Protokol Jenewa tahun 1925 yang masih bisa diakses di laman PBB, dan terus dikembangkan dalam beberapa resolusi majelis umumnya.
Kisah dilarangnya penggunaan senjata kimia bermula saat pascar revolusi industri dan pada Perang Dunia I.
Pasca revolusi industri, negara-negara Eropa mengembangkan berbagai kemajuan dalam kimia. Banyak pula penemuan bahan baru atau sintesis yang awalnya diharapkan untuk tujuan damai, dan memperbaiki kehidupan sipil. Tetapi kemudian menjadi penggunaan militer pada Perang Dunia I.
Di masa Perang Dunia I juga berkembangnya teknologi militer dengan pesat. Hal itu bisa dilihat, bagaimana penggunaan tank, pesawat, senapan mesin untuk pertama kalinya dalam medan perang. Dan gas beracun juga digunakan sebagai variasi untuk mematikan lawan.
A.P. Padley dalam Anaesthesia and Intensive Care tahun 2016 menulis, bahwa negara-negara Eropa menyadari bahayanya sebelum itu. Bahkan pada 1899, mereka mengadakan kesepakatan dalam Konvensi Den Haag dengan pernyataan bahwa setiap alat termasuk difusi gas yang menyebabkan sesak napas atau merusak, akan dilarang digunakan dalam perang.
Tujuan konvensi itu agar mencegah kerusakaan permanen yang dapat ditimbulkan oleh gas beracun.
Namun, konvensi itu jadi sia-sia lantaran penggunaan gas kimia digunakan pada 20 tahun setelahnya oleh Jerman. Penggunaan itu dipelopori oleh Fritz Haber, seorang ahli kimia Yahudi-Jerman, dan menyeret negaranya menuju kekalahan dan penghinaan di Perang Dunia I.
Usulannya kepada pemerintah Jerman menjadi dilema moral dan etika. Banyak petinggi militer Jerman menganggap pengunaan gas adalah tindakan menjijikkan dan tidak terhormat karena melanggar Konensi Den Haag. Bahkan Clara Haber, istrinya sendiri yang sesama ahli kimia, juga menentang.
Di satu sisi Jerman sedang tergencet dalam perang di dua front, dan hampir putus asa. Usulan Haber sendiri juga demi mengusir pasukan sekutu dari parit-paritnya.
Serangan gas kimia buatan Haber menggunakan klorin. Alasannya, klorin dua setengah kali lebih pada daripada udara, sehingga tetap dekat dengan tanah saat dihempaskan, dan juga tenggelam ke dalam parit, lubang, dan bunker. Gas klorin dapat menyebar dalam waktu singkat dalam tingkat aman.
Baca Juga: Agen Oranye Herbisida Senjata Kimia AS Penghancur Perang Vietnam
April 1915 di reruntuhan Ypres, Beglia, tentara Jerman mengumpulkan 5.700 silinder klorin cair, dan menunggu angin semilir bertiup ke arah musuh. Pukul 17.00, 22 April, 160 ton gas klorin melayang ke arah tentara Perancis dan Aljazair-Perancis.
Mereka menyaksikan dengan heran kabut hijau beraroma seperti lada dan nanas ke arah mereka. Kemudian mereka batuk-batuk, tersedak, mati lemas, dan 'tenggelam' dalam gas, tulis Padley.
Sekitar 800 hingga 1.400 prajurit Perancis dan Aljazair tewas, 4.000 lainnya terluka, dan ribuan orang melarikan diri karena panik. Berita ini terdengar di pihak sekutu, dan membesar-besarkan tingkat mematikan serangan itu untuk propaganda dengan menunjukkan ribuan tentara telah tewas.
Baca Juga: Flu Spanyol, Lambannya Pemerintah Hindia Belanda Menangani Pagebluk
Seketika Haber menjadi popular di Jerman dan digadangkan sebagai pembantu kemenagnan Jerman. Clara yang gagal menghentikan suaminya, mengambil pistol militernya dan menembak dadanya pada 2 Mei 1915. Senjata haber pun digunakan keesokan harinya untuk front melawan Rusia.
Marion Dorsey, sejarawan University of New Hampshire menyebut, Inggris bereaksi dengan kemarahan atas penggunaan gas kimia beracun Jerman.
"Kebijakan Inggris adalah untuk menanggapi dalam bentuk serangan gas Jerman tetapi tidak pernah meningkatkan perang," kata Dorsey, dilansir dari History.
Akhir September 1915, Inggris mencoba memberi serangan kimia klorinnya sendiri di pertempuran Loos, dengan sedikit keberhasilan. Teknisi Inggris menyebarkan gasnya satu jam sebelum infanteri untuk menyerang, tetapi angin bergeser dan membuat kabut klorin kembali ke garis Inggris.
Baca Juga: Granat dari Perang Dunia I Ditemukan Tercampur dengan Kentang Impor
Alih-alih merendam penggunaan zat kimia beracun, baik Jerman dan sekutu malah menemukan bahan kimia yang jauh lebih fatal dan lebih kejam: gas fosgen dan gas mustard.
Fosgen menyebabkan iritasi enam kali lebih mematikan daripada klorin, dan tidak berwarna. Sehingga korban tidak tahu mereka telah terpapar sampai berhari-hari setelah menghirupnya, tetapi paru-paru mereka terisi cairan dan kemudian mati dengan lemas. Jermanlah yang pertama kali menggunakan, dan diikuti sekutu.
Sedangkan gas mustard adalah jenis bahan kimia pembunuh yang sama sekali baru, dengan efek terasa melepuh dan membakar kulit.
Baca Juga: Mandat Britania di Palestina, Awal Mula Konflik Israel-Palestina
Bahkan bisa merembes masuk ke masker gas tentara yang semestinya melindungi pernapasan. Gas mustard bisa merembes lewat seragam wol mereka, dan membakar telapak sepatu bot.
Pada 1918, sekutu menggunakan gas mustard, bahkan Adolf Hilter muda sempat terkena dan buta sementara akibat serangan itu di Ypres.
Melompat pada masa setelah Perang Dunia I berakhir, semua negara membenci efek mengerikan dari senjata kimia dalam pertempuran. Mereka pun siap menerimanya sebagai pandangan baru, bersamaan dengan gerakan anti perang yang muncul pada pertengahan 1920-an.
Menanggapi seruan dunia ini, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mulai bekerja untuk membatas penggunaan bahan kimia dalam perang. Hasilnya sendiri adalah Protokol Jenewa 1925.
Meski demikian pada Perang Dunia II hingga kini, protokol perang ini dilanggar dalam ragam pertempuran. Seperti Nazi Jerman yang menggunakan pestisida dalam Holocaust, bom Napalm di Vietnam oleh Amerika Serikat, atau bom fosfor oleh Israel di Palestina.
Baca Juga: Jejak Kuburan Massal Korban Pembantaian Perang Dunia II di Singapura