Pembantaian Maguindanao di Filipina, Puluhan Wartawan Mati Tewas

By Fikri Muhammad, Rabu, 7 Juli 2021 | 14:32 WIB
Saksi Sukarno Badal, yang mengaku bekerja untuk klan Ampatuan, mengatakan wartawan berada di dalam salah satu kendaraan ketika dihujani peluru. (Philipine Star) ()

Nationalgeographic.co.id—Lima puluh delapan orang tewas saat siang bolong di kota Ampatuan, Maguindanao, Filipina. Mayat mereka buru-buru dikubur di tiga kuburan dangkal di puncak bukit pada 2009.

Sebagian besar korban adalah bagian dari konvoi yang menuju ke kantor KPU setempat untuk mengajukan sertifikat pencalonan Wakil Walikota Buluan saat itu, Esmael "Toto" Mangudadatu. Dia mencalonkan diri melawan Datu Andal Ampatuan Jr , juga dikenal sebagai Unsay yang saat itu adalah walikota Kota Datu Unsay dan putra gubernur petahana, Andal Ampatuan Sr. 

Saksi-saksi penuntut bersaksi melihat Unsay bersenjata lengkap dengan anggota-anggota keluarganya yang diduga sebagai tentara swasta menjaga pos-pos pemeriksaan di kota Ampatuan. 

Penumpang konvoi Mangudadatu yang tidak bersenjata dibawa ke perbukitan Sitio Masalay. Unsay dan anak buahnya kemudian menembak para korban menggunakan senjata api berkekuatan tinggi. Berdasarkan memorandum yang diajukan oleh penutut ke pengadilan mereka disebutkan "membunuh mereka dengan cara yang kompetitif".

Akmad Esmael Abubakar, seorang petani dan warga Sitio Malating, mengaku melihat Unsay menembak seorang wanita di bagian mulutnya. Saksi lain, Norodin Mauyag, mengatakan seorang perempuan lainnya tertembak di antara kedua kakinya.

 

Saksi Sukarno Badal, yang mengaku bekerja untuk klan Ampatuan, mengatakan bahwa para wartawan berada di dalam salah satu kendaraan ketika dihujani peluru.

Unsay dan anak buahnya melarikan diri dari TKP setelah menerima informasi bahwa tentara sedang dalam perjalanan ke daerah itu. Unsay memerintahkan operator backhoe milik pemerintah provinsi untuk mengubur semua mayat dan kendaraan. 

Istri Mangudadatu, Bai Gigi, kerabat dan pendukung perempuan lainnya termasuk di antara mereka yang tewas, bersama dengan 32 pekerja media yang akan meliput pengajuan pencalonan walikota.

Mangudadatu mengatakan kepada pengadilan bahwa keluarga dan penasihatnya memutuskan untuk mengirim istri dan anggota keluarga perempuan lainnya untuk mengajukan sertifikat pencalonannya, yakin bahwa mereka tidak akan dirugikan karena Islam, agama dominan di wilayah otonomi Muslim amat menghormati perempuan. 

Baca Juga: Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru

Datu Andal Ampatuan Jr , juga dikenal sebagai Unsay yang saat itu adalah walikota Kota Datu Unsay dan putra gubernur petahana, Andal Ampatuan Sr. (Getty Images) ()

Mangudadatu, yang juga dari keluarga politik yang berkuasa di Mindanao, mencalonkan diri untuk mengakhiri 20 tahun kekuasaan Ampatuan di Maguindanao.

Keterangan saksi menunjukan bahwa anggota klan Ampatuan bertemu beberapa kali untuk merencanakan pembunuhan Mangudadatu.

Dalam kesaksiannya, Mangudadatu mengatakan bahwa Ampatuan secara pribadi telah memintanya setidaknya dua kali untuk membatalkan tawaran politiknya pada 20 Juli 2009 selama pertemuan dengan Menteri Pertahanan saat itu Gilbert Teodoro dan tiga minggu kemudian dengan Presiden Gloria Macapagal Arroyo.

Magudadatu menolak permintaan itu. Sukarno Badal bersaksi bahwa rencana membunuh Mangudadatu lahir hanya beberapa saat setelah dia pertana kali menolak untuk menuruti permintaan para Ampatuan.

Baca Juga: Kezaliman Terhadap Jurnalis di Awal Kemerdekaan Republik Indonesia

Jauh sebelum diadili karena pertumpahan darah yang terkenal pada 2009 itu, orang Ampatuan sudah dikenal sebagai klan panglima perang yang kuat di Mindanao.

Keluarga dan tentara pribadinya, yang diduga terdiri 5.000 anggota milisi, polisi, dan militer, telah dikaitkan dengan pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, penculikan, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia lainya menurut penyelidikan Human Right Watch.

Terdapat 52 dugaan kejahatan keluarga, namun polisi selalu gagal melakukan penyelidikan yang serius sehingga tidak ada yang pernah dikirim ke penjara. 

Satu kasus yang disebutkan oleh jaksa terjadi pada 1995. Ketika itu para saksi melihat anggota majelis Zaldy Ampatuan menembak Akas Paglala, yang sedang dalam perjalanan untuk mengajukan pencalonannya sebagai walikota Magonoy.

Andal Sr. mulai membangun kerajaan politiknya pada 1970-an setelah deklarasi darurat militer mendiang Presiden Ferdinand Marcos. Ia diangkat menjadi komandan unit paramiliter sebelum terpilih sebagai wakil walikota dan kemudian walikota Magonoy.

Kepala keluarga itu kemudian menjadi gubernur Maguindanao pada tahun 2000. Ia kemudian menamai lima kota dengan nama anggota keluarganya. Yakni Shariff Aguak, sebelumnya Magonoy, nama ayahnya. Begitu juga dengan nama Datu Unsay yang seusai dengan nama anaknya. 

Baca Juga: Pantai Wartawan Rajabasa, Sumber Air Panas yang Bercampur Air Laut