Orang-orang Hadza

By , Senin, 23 November 2009 | 10:23 WIB

“Aku lapar,” kata Onwas sambil berjongkok di depan api unggun, matanya berkedap-kedip tenang dari balik kepulan asap. Para lelaki di sebelahnya bergumam mengiyakan. Saat itu sudah larut malam di suatu tempat di pedalaman alam liar Afrika Timur.!break!

Sebuah kidung yang seperti doa berirama mengalun dari arah perkemahan perempuan. Onwas bercerita tentang sebuah pohon yang ia temukan dalam perjalanannya siang tadi. Para lelaki di sekitar api unggun duduk merapat. Pohon tersebut terletak di tempat yang sulit dicapai, di puncak lereng terjal di padang rumput, jelas Onwas. Namun pohon tersebut dipenuhi babun, tutur Onwas sambil merentangkan kedua lengannya seperti cabang-cabang pohon. Makin banyak gumaman yang terdengar. Bara api melayang naik menuju langit luas berbintang. Kemudian persetujuan tercapai. Semua orang berdiri dan menyambar busur berburu mereka.

Onwas adalah seorang lelaki tua, mungkin sudah di atas 60 tahun— tahun bukanlah satuan waktu yang Onwas gunakan—yang kurus dan bugar seperti lazimnya orang-orang suku Hadza. Tingginya kira-kira satu setengah meter. Rajah alami yang dia peroleh dari kisah hidupnya di alam liar memenuhi dada dan kedua lengannya: parut bekas luka berburu, bekas gigitan ular, bekas luka terkena anak panah dan pisau, serta bekas gigitan kalajengking dan goresan duri tajam. Juga ada bekas luka akibat jatuh dari pohon baobab dan akibat serangan macan tutul. Setengah giginya sudah tanggal. Onwas memakai sandal karet ban bekas serta celana pendek cokelat yang sudah usang. Sebuah pisau berburu terselip di pinggangnya di dalam sarung yang terbuat dari kulit dik-dik, sejenis kijang antelope, yang tak disamak. Dia melepas kaosnya seperti yang dilakukan sebagian besar lelaki lainnya karena ia ingin menyatu dengan gelapnnya malam.

Onwas menatapku dan selama beberapa saat berbicara dalam bahasa asli sukunya, Hadzane. Di telingaku bahasa tersebut terdengar seperti campuran dua kutub bahasa yang aneh—berirama gembira dan lembut dalam satu-dua frase, kemudian terdengar kasar dan mengetuk-ketuk disertai bunyi decakan lidah dan letupan bibir. Ini adalah bahasa yang tidak mirip dengan bahasa lainnya yang masih dipakai: dalam istilah ahli bahasa yaitu bahasa terpencil.

Saya tiba di tanah suku Hadza di Tanzania utara dengan ditemani seorang penterjemah, perempuan Hadza bernama Mariamu. Dia adalah keponakan Onwas. Mariamu pernah mengenyam bangku sekolah selama 11 tahun dan dia adalah satu dari segelintir orang di dunia yang fasih berbahasa Inggris dan Hadzane. Dia menerjemahkan kalimat Onwas: apakah saya ingin ikut?!break!

Untuk dapat sampai di perkemahan tradisional suku Hadza bukanlah pekerjaan yang mudah. Tahun bukan satu-satunya unit waktu yang tidak digunakan suku Hadza. Mereka juga tidak menggunakan satuan jam, hari, minggu, serta bulan. Bahasa suku Hadza tidak mengenal kata untuk angka setelah tiga atau empat. Membuat janji bertemu dengan suku Hadza dapat menjadi urusan yang rumit. Namun saya telah menghubungi pemilik perkemahan wisata yang berada tidak jauh dari wilayah suku Hadza untuk mengetahui apakah dia dapat mengatur agar saya dapat tinggal beberapa waktu dengan suku Hadza yang terkucil. Selama saya menginap di alam liar, si pemilik perkemahan wisata menemui Onwas dan menanyakan kepadanya dalam bahasa Swahili apakah saya boleh berkunjung. Suku Hadza cenderung ramah dan suka berteman. Onwas pun langsung menyetujui. Dia bilang saya akan menjadi orang asing pertama yang pernah hidup di perkemahan mereka. Onwas berjanji akan mengirim anak lelakinya untuk menemui saya di bawah sebuah pohon di batas kawasan liar ketika saya diperkirakan sudah sampai, dalam waktu tiga minggu.

Dengan cukup yakin tiga minggu kemudian, ketika saya dan penterjemah sampai di batas alam liar dengan menumpang Land Rover, sudah menunggu Ngaola, anak lelaki Onwas. Rupanya Onwas telah memerhatikan pergerakan Bulan dan ketika dia merasa sudah tiba waktunya, dikirimkanlah anak lelakinya untuk menunggu di pohon tersebut. Saya bertanya apakah Ngaola telah lama menunggu. “Tidak,” katanya. “Hanya beberapa hari.”

Pada awalnya sangat terlihat jelas bahwa semua orang di perkemahan, sekitar dua lusin, mulai dari bayi hingga orang tua, merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya. Mereka sering memandangi saya, beberapa tertawa dengan canggung. Untuk mengurangi kekakuan, saya membawa sebuah album foto dan memperlihatkannya kepada warga. Onwas tertarik dengan sebuah foto kucing saya. “Seperti apa rasanya?” tanya dia. Sebuah foto menarik perhatian semua orang. Itu adalah foto saya yang sedang melompat masuk ke sebuah lubang es yang dibuat di tengah danau membeku, sebuah perayaan berenang di danau atau laut yang dingin membeku untuk menyambut tahun baru. Para pemburu suku Hadza sepertinya tidak memiliki rasa takut; Onwas secara teratur mengintai macan tutul dan mengejar jerapah. Namun gagasan mengenai cuaca musim dingin membuatnya ketakutan. Dia berlari berkeliling perkemahan dengan membawa foto tersebut, mengatakan kepada semua orang bahwa saya adalah seorang pemberani, dan kejadian ini sangat membantu dalam proses penerimaan saya di tengah suku tersebut. Seorang yang cukup berani untuk berenang di es, pikir Onwas, pasti tidak memiliki kesulitan berhadapan dengan babon liar. Jadi pada malam ketiga kedatangan saya, Onwas bertanya apakah saya mau bergabung dalam perburuan.

Saya mengiyakan. Saya tanggalkan kaos. Warna kulit saya tidak terlalu menyatu dengan kegelapan malam. Saya mengikuti Onwas, 10 pemburu lainnya, dan dua anak lelaki yang lebih muda meninggalkan perkemahan dalam satu barisan. Berjalan melewati wilayah suku Hadza dalam kegelapan malam merupakan hal yang menantang; didominasi semak beronak dan akasia yang berduri, pada siang hari bahkan sulit untuk menghindari tertusuk dan tergores. Sebuah perjalanan panjang di semak-semak Hadza terasa seperti melakukan tato di sekujur badan secara berangsur-angsur. Suku Hadza menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk saling mengorek duri-duri di tubuh mereka dengan ujung mata pisau. !break!

Pada malam hari duri-duri tersebut ada di mana-mana tetapi tak terlihat, dan memilih jalur lintasan sepertinya mustahil. Tidak ada jalan setapak dan hanya sedikit penanda lanskap. Untuk berjalan dengan pasti melintasi bentang alam ini dalam kegelapan tanpa lampu senter dibutuhkan ingatan di luar kepala seperti yang dimiliki seseorang terhadap kamar tidurnya. Hanya saja, ini adalah kamar tidur seluas 2.500 kilometer persegi dengan singa, macan tutul, dan dubuk berkeliaran mencari mangsa dalam kegelapan.

Bagi Onwas, mencari jalan bukanlah masalah. Seumur hidupnya dihabiskan di alam liar ini. Dalam waktu kurang dari 30 detik dia dapat membuat api dengan menggesek-gesekkan dua batang kayu yang digenggamnya. Lewat siulan, dia dapat bercakap-cakap dengan burung pemandu-lebah (Indicatoridae), untuk kemudian si burung memandu ke sebuah sarang lebah yang besar. Onwas tahu segala yang harus diketahui tentang alam liar tersebut, tetapi sama sekali tidak tahu tentang alam di luar itu. Satu kali saya menunjukkan kepada Onwas sebuah peta dunia. Saya membukanya lebar-lebar di atas tanah dan menindih sudut-sudutnya dengan batu. Para pemburu pun berkerumun. Onwas menatap peta itu. Saya menunjukkan Benua Afrika, lalu wilayah Tanzania, lalu wilayah di mana dia tinggal. Saya menunjukkan padanya Amerika Serikat.

Saya bertanya padanya apa yang ia ketahui tentang Amerika Serikat—nama presidennya, ibu kotanya. Onwas menjawab tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak dapat menyebutkan nama pemimpin negaranya. Saya bertanya dengan sesopan mungkin, apakah ia tahu apa saja mengenai sebuah negara, apapun. Dia diam beberapa saat, kelihatannya berpikir keras. Kemudian tiba-tiba berteriak, “London!” Dia tidak dapat mengatakan dengan tepat apakah London itu. Dia hanya tahu bahwa itu adalah sebuah tempat di luar alam liar tempat tinggalnya.

Sekitar 1.000 orang suku Hadza tinggal di tanah warisan leluhur mereka, sebuah dataran luas yang mengelilingi Danau Eyasi yang asin dan dangkal serta dibentengi oleh Lembah Celah Besar (Great Rift Valley), yaitu parit alam raksasa yang membentang dari Suriah hingga Mozambik. Beberapa orang Hadza telah pindah ke dekat pedesaan dan bekerja sebagai buruh tani atau pemandu wisata. Namun kurang lebih seperempat populasi suku Hadza, termasuk yang di perkemahan Onwas tetap hidup sebagai pemburu dan peramu (mencari dan mengumpulkan) makanan sejati. Mereka tidak memiliki ladang, tidak memiliki ternak, tidak punya tempat tinggal tetap. Mereka hanya selalu tinggal di bagian selatan yang sama di lembah tempat ditemukannya fosil tertua bukti manusia pertama yang ditemukan. Uji genetik menunjukkan bahwa suku Hadza mungkin mewakili salah satu dari cabang pertama silsilah manusia, mungkin yang sudah berumur lebih dari 100.000 tahun.!break!