Orang-orang Hadza

By , Senin, 23 November 2009 | 10:23 WIB

Maduru menganggap dirinya bertanggung jawab menjaga saya selama perburuan babun malam itu. Sembari bergerak melewati semak belukar, ia membersihkan ranting akasia setinggi mata yang durinya sebesar tusuk gigi dan berulang kali memeriksa untuk memastikan saya tidak ketinggalan. Onwas memimpin kami ke bukit dimana ia pernah melihat pohon yang dipenuhi babun.

Di sinilah kami berhenti. Kemudian ada isyarat tangan, beberapa celotehan terputus-putus. Saya tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi karena penterjemah tetap tinggal di perkemahan. Perburuan tersebut hanya untuk lelaki. Namun Maduru menepuk bahu saya dan mengisyaratkan agar mengikutinya. Pemburu lainnya menyebar di seputar kaki bukit dan saya mengikuti Maduru ketika ia menghilang ke balik semak dan mulai memanjat. Lereng bukit terlihat tegak lurus—sehingga harus menggunakan kedua tangan untuk memanjat—dan semak belukarnya padat. Duri menggores tangan dan wajah dan darah menetes mengenai mata saya. Kami memanjat. Saya menempel ketat Maduru; saya tidak mau terpisah darinya.

Akhirnya saya mengerti. Kami semua memanjat dari semua sisi, menuju kumpulan babun. Kami mencoba mengejutkan monyet-monyet itu, membuatnya kabur. Dari tempat babun bertengger di puncak bukit, tidak ada tempat untuk kabur kecuali turun. Suku Hadza telah mengepung bukit tersebut sehingga babun akan berlari ke arah pemburu yang telah menunggu. Kemungkinan ke arah saya dan Maduru.

Pernahkah Anda melihat seekor babun dari dekat? Monyet itu punya gigi yang dirancang untuk mengoyak daging. Babun jantan dewasa dapat memiliki bobot lebih dari 35 kilogram. Di sinilah kami, bergerak ke atas bukit, sengaja memancing babun-babun tersebut. Suku Hadza bersenjatakan busur dan panah. Saya bersenjatakan pisau lipat. !break!

Kami bergerak semakin ke atas. Saya dan Maduru keluar dari belukar menuju ke atas bebatuan. Saya merasa seperti baru keluar dari balik selimut. Di langit tampak bulan sabit, angin bertiup sepoi-sepoi. Kami berada di dekat puncak bukit yang terletak hanya beberapa meter di atas gundukan batu besar, mungkin enam meter di atas kepala kami. Pohon babun itu terletak di atas sana, hampir tidak terlihat.

Kemudian saya mendengar suara jeritan yang menggila. Babun-babun itu menyadari ada yang tidak beres. Suaranya melengking tinggi, panik. Saya tidak mengerti bahasa babun, tetapi tidaklah sulit memahaminya. Pergi! Jangan mendekat! Namun Maduru memanjat lebih tinggi lagi, naik ke atas batu datar. Saya mengikuti. Babun-babun telah terkepung dan mereka tampak merasakannya.

Tiba-tiba terdengar suara yang lain. Suara ranting patah di atas kepala. Babun-babun itu turun, menjerit. Maduru diam membeku, bertumpu pada satu lutut, mengambil panah dan merentangkan busur. Dia sudah siap. Saya bersembunyi di belakangnya. Saya berharap, saya sangat berharap, tidak ada babun yang lari ke arah kami. Saya meraih pisau lipat di kantong saya dan membukanya. Pisaunya mungkin sekitar lima sentimeter panjangnya. Rasanya konyol, namun itulah yang saya lakukan.

Suara jeritan semakin rapat. Kemudian tepat di atas kami, terlindung dalam bayangan gelap berlatar langit berbintang, ada seekor babun. Babun itu bergerak cepat sepanjang bibir batu. Maduru berdiri, membidik, mengikuti gerak babun dari kiri ke kanan dengan panah terpasang dan busurnya yang sudah teregang penuh. Setiap otot di tubuh saya menegang. Kepala saya berdenyut panik. Saya menggenggam erat pisau lipat.!break!

Sebab utama suku Hadza mampu mempertahankan gaya hidup mereka begitu lama adalah fakta bahwa tanah air mereka tidak punya daya tarik. Tanahnya tidak subur, air segar langka dan serangganya dapat tak tertahankan. Selama puluhan ribu tahun tampaknya tidak ada orang lain yang ingin hidup di sini sehingga suku Hadza tinggal sendirian. Namun baru-baru ini, tekanan populasi yang terus meningkat membawa banjir penduduk ke wilayah Hadza. Kenyataan bahwa suku Hadza telah memperlakukan alam dengan lembut pada satu sisi menyakitkan mereka sendiri—wilayah tersebut secara umum dipandang oleh orang luar sebagai wilayah tak bertuan dan tak digunakan, tempat yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Suku Hadza yang secara alami bukan suku yang suka berperang, hampir selalu memilih untuk pergi daripada ribut mempertahankan wilayahnya. Namun kini sudah tidak ada lagi tempat untuk pindah.

Saat ini sudah ada penggembala ternak sapi di kawasan liar suku Hadza, penggembala kambing, petani bawang, petani jagung, olahragawan pemburu, dan pemburu liar. Sumur-sumur air tercemar kotoran sapi. Tanaman liar terinjak-injak kaki ternak. Semak belukar dibersihkan untuk perladangan dan air yang sudah langka dipakai untuk mengairinya. Binatang-binatang buruan dipindahkan ke taman-taman nasional yang terlarang bagi suku Hadza. Pohon-pohon beri mati dan pohon-pohon tempat lebah bersarang telah dihancurkan. Selama satu abad belakangan, suku Hadza telah kehilangan 90 persen kepemilikan eksklusif atas tanah air mereka.

Tidak satu pun suku lain yang tinggal di wilayah tersebut—suku Datoga, Iraqw, Isanzu, Sukuma, dan Iramba—hidup sebagai pemburu dan peramu makanan. Mereka tinggal di dalam rumah lumpur kering, seringkali dikelilingi oleh kandang-kandang ternak. Kebanyakan dari mereka merendahkan suku Hadza dan melihatnya dengan pandangan kasihan bercampur jijik: bagian Tanzania yang tak tersentuh peradaban. Saya pernah menyaksikan seorang lelaki suku Datoga melarang beberapa perempuan Hadza mendekati sumur umum sampai sapi-sapinya selesai minum.

Jalan-jalan tanah kini sudah dibuat sampai ke ujung kawasan liar tempat suku Hadza tinggal. Jalan aspal hanya berjarak empat hari jalan kaki. Sinyal telepon selular dapat ditangkap dari berbagai tempat yang tinggi. Sebagian besar warga suku Hadza termasuk Onwas telah belajar bahasa Swahili agar dapat berkomunikasi dengan suku lainnya. Beberapa kaum muda Hadza pernah bertanya apakah saya dapat memberi mereka senjata api untuk mempermudah perburuan. Onwas sendiri, meski jarang menjelajah sampai di luar batas kawasan liar Hadza, dapat merasakan perubahan yang besar sedang mendekat. Hal tu nampak tidak mengganggunya. Seperti yang berulang kali dikatakan kepada saya, dia tidak khawatir tentang masa depan. Dia tidak mengkhawatirkan apapun. Kenyataannya, tidak seorang Hadza pun yang terlihat khawatir. Inilah pola pikir suku Hadza mengejutkan bagi saya yang selalu memiliki kekhawatiran. Apakah besok saya bisa makan? Apakah besok ada binatang yang makan saya? Namun mereka sepertinya hidup hanya untuk hari ini.!break!