Orang-orang Hadza

By , Senin, 23 November 2009 | 10:23 WIB

Gaya memasak suku Hadza sederhana saja. Daging diletakkan langsung di atas api. Tidak ada pemanggang, tidak ada panci. Waktu makan bagi suku Hadza bukanlah merupakaan saat untuk bersopan santun. Ruang pribadi secara umum tidak dikenal; Tidak soal sekeliling api unggun penuh sesak, selalu ada ruang bagi yang ingin bergabung. Bahkan dengan berpangku-pangkuan. Begitu potongan daging selesai dimasak, siapapun bebas mencomot.

Itulah yang terjadi. Ketika daging masak, pisau-pisau dikeluarkan dari sarungnya dan kekacauan dimulai. Ada tangan yang mengambil daging, memotong, menarik, dan suara kunyahan. Cara makan suku Hadza adalah menggigit daging dengan gigimu, lalu gunakan pisau untuk memotong bagianmu. Sikut-menyikut dan dorong-mendorong merupakan hal yang biasa. Tulang dipukul dengan batu dan sumsumnya dihisap. Lemak daging dioleskan ke kulit dan digunakan sebagai pelembap. Tidak ada yang berbicara, tetapi suara kunyahan dan decakan terdengar jenaka.

Saya kelaparan. Segera saya menceburkan diri ke tengah kerumunan dan mencomot daging. Menurut saya, rasa steik daging babun ini tidak buruk. Sedikit alot. Namun karena sudah berhari-hari tidak mengkonsumsi protein, dalam setiap gigitan saya merasakan tubuh saya bersemangat. Bukan daging melainkan lemak murni yang paling didambakan suku Hadza. Meski bagian yang paling banyak diperebutkan adalah daging bagian kaki. Saya mengambil sepotong dan langsung memasukkannya ke mulut. Rasanya seperti mengunyah karet penghapus. Ketika saya memuntahkan daging itu, seorang anak kecil segera mengambil dan memakannya.

Sambil memegang kepala babun, Onwas duduk dengan tenang di luar kerumunan. Dia duduk bersila dan memakan daging pipi, bola mata, daging leher, dan kulit dahi babun dengan menggunakan sandalnya sebagai talenan. Dia menggerogoti tengkorak sampai bersih dan melemparkannya ke tengah api unggun lalu memanggil saya dan beberapa pemburu untuk bergabung merokok.!break!

Sulit untuk mengatakan seberapa besar kesukaan Onwas dan sebagian besar suku Hadza terhadap rokok. Empat hal yang diinginkan setiap lelaki Hadza adalah sebuah busur, beberapa anak panah, sebuah pisau dan pipa rokok yang dibuat dari batu lunak yang berongga. Bahan racikan rokok yang terdiri dari daun tembakau atau ganja didapat dari hasil menukar madu dengan suku lain. Biasanya Datoga. Onwas memiliki sebongkah kecil daun tembakau yang digulung menjadi bola dan disimpan dalam kantung bajunya. Dia mengambil semuanya dan memasukkannya ke dalam pipa, kemudian sambil memegang pipa tegak lurus, dia mengambil sebatang bara api dan menyulut rokoknya. Sambil mengembang-kempiskan pipinya, Onwas menghisap asapnya sebanyak yang ia bisa. Kemudian ia memberikan pipa tersebut ke Giga.

Bagian yang lucu dimulai. Onwas terbatuk, awalnya pelan, kemudian semakin cepat dan disertai cucuran air mata. Ia berusaha menghapus air mata dengan telapak tangan, dan akhirnya, sambil berguling ia meludah dan berusaha menghirup udara segar. Sementara itu Giga telah mulai terbatuk seperti Onwas dan memberikan pipa kepada Maduru yang lalu meneruskannya kepada saya. Tidak beberapa lama, kami semua telah terbatuk-batuk dengan parahnya sambil menangis dan berguling. Sesi merokok berakhir bila orang terakhir telah duduk sambil menyeringai dan membersihkan kotoran dari rambutnya.

Dengan tengkorak babun yang masih di dalam api, Onwas berdiri dan menepuk tanganya. Ia mulai bercerita tentang kisah perburuan jerapah, kisah yang paling disukai Onwas. Saya dapat mengerti jalan ceritanya meski penterjemah saya, Mariamu tidak duduk di sebelah saya. Saya tahu sebab Onwas, seperti banyak orang Hadza lainnya adalah pendongeng yang baik. Tidak ada televisi, papan permainan, atau buku di perkemahan Onwas. Namun ada hiburan. Para perempuan menyenandungkan lagu dan kaum lelaki menceritakan kisah api unggun, seperti pertunjukan Kabuki di alam liar Afrika.

Onwas memanjangkan lehernya dan merangkak berkeliling ketika memerankan jerapah. Ia melompat, menunduk dan berpura-pura melepaskan panah dengan busur ketika memerankan dirinya dalam perburuan. Suara anak panah melesat. Suara binatang meraung. Anak-anak kecil berlari mendekat ke api dan berdiri sambil menyimak, inilah sekolah mereka. Cerita berakhir dengan kematian jerapah, dan puncaknya, sebuah percakapan.“Apakah saya seorang lelaki?” tanya Onwas sambil menggenggam kedua tangannya.“Ya!” teriak mereka. “Kamu laki-laki.”“Apakah saya seorang lelaki?” tanya Onwas lagi dengan suara yang lebih lantang.“Ya!” teriak mereka dengan suara yang sama lantangnya. “Kamu adalah laki-laki!”!break!

Kemudian Onwas mengambil tengkorak dari api. Ia memotongnya seperti membelah kelapa hingga terlihat otak yang mendidih dengan sempurna. Otak tersebut terlihat seperti mie dengan warna putih kekuningan dan asap mengepul. Onwas memegangi tengkorak dan semua lelaki termasuk saya segera mendekat. Kami mencelupkan jemari kami ke dalam sup tengkorak dan menyendok segenggam otak kemudian meneguknya. Dengan ini, malam pun tiba dan cerita berakhir.

Perburuan babun sepertinya menjadi semacam inisiasi bagi saya. Keesokan harinya Nyudu memotong sebatang ranting tebal dari pohon Mutateko, kemudian dengan hati-hati membuatkan saya sebuah busur yang panjang dan terpahat indah. Beberapa lelaki lainnya membuatkan saya anak panah. Onwas menghadiahi saya sebatang pipa. Nkulu mengajari saya memanah. Lalu, saya mulai membawa-bawa busur serta anak panah dan pipa ke mana pun saya pergi (tak ketinggalan peralatan penyaring air, tabir surya, semprotan anti serangga, dan kain pembersih kacamata saya).

Saya juga diundang oleh para lelaki untuk mandi bersama. Kami berjalan menuju genangan dangkal yang berlumpur. Lebih mirip sebuah kubangan yang besar dengan kotoran sapi mengambang, kemudian kami membuka pakaian. Segenggam lumpur dioleskan ke kulit sebagai sabun dan kami memercikkan air ke badan sampai bersih. Meski suku Hadza punya kosa kata untuk bau badan, para lelaki mengatakan mereka lebih suka para perempuan mereka tidak mandi. Bagi para lelaki, semakin jarang wanita mandi, semakin menarik bau badan mereka. Nduku, guru bahasa saya, mengatakan bahwa ia terkadang tidak mandi beberapa bulan meski tidak mengerti kenapa suaminya memintanya begitu. Dari percakapan antara Mille dan Onwas, saya juga mengetahui bahwa bertengkar dengan pasangan atas sesuatu yang sepele mungkin merupakan sifat manusiawi yang universal. “Bukankah sekarang giliranmu mengambil air?” “Kenapa kamu bermalas-malasan, bukannya pergi berburu?” “Jelaskan kenapa daging hasil buruan kemarin dikuliti dengan buruk?” Pernyataan-pernyataan seperti itu ternyata juga ada dalam kehidupan suku ini selama ribuan tahun.

Beberapa hal dari suku Hadza membuat saya iri, terutama kebebasannya yang saya lihat. Bebas dari keinginan untuk memiliki. Bebas dari sebagian besar tugas sosial. Bebas dari aturan keagamaan. Bebas dari banyak tanggung jawab keluarga. Bebas dari jadwal, pekerjaan, atasan yang menuntut, tagihan, kemacetan lalu lintas, pajak, hukum, berita, dan uang. Bebas dari rasa cemas. Bebas untuk kentut dan bersendawa tanpa harus minta maaf, mengambil makanan dan merokok dan berlari bertelanjang dada melewati semak berduri.!break!

Namun saya tidak pernah dapat menjalani hidup seperti mereka. Seluruh hidup mereka bagi saya seperti sebuah tindakan gila. Hidup berkemah berpindah. Hidup yang sangat beresiko. Bantuan medis sangat jauh. Sekali jatuh dari pohon yang tinggi atau sekali digigit ular Mamba hitam berbisa atau sekali diterjang singa dapat membuat Anda mati. Wanita melahirkan di dalam semak hanya dengan berjongkok. Seperlima dari bayi yang dilahirkan meninggal di tahun pertama mereka dan hampir separuh anak tidak berhasil mencapai usia 15 tahun. Mereka harus menghadapi cuaca yang sangat panas dan seringkali kehausan. Mereka harus menghadapi serangan lalat tsetse dan nyamuk penyebar malaria.

Hari-hari saya tinggal bersama suku Hadza mengubah cara pandang saya terhadap dunia. Mereka menanamkan pada diri saya sesuatu yang saya sebut “efek Hadza”. Mereka membuat saya merasa lebih tenang, lebih menikmati waktu yang berjalan, lebih menghargai diri sendiri, sedikit lebih berani, dan tidak terlalu terburu-buru. Saya tidak peduli apakah ini terdengar sentimentil. Saat-saat yang saya lalui dengan suku Hadza membuat saya lebih bahagia. Hal ini membuat saya berharap ada suatu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa kejayaan para pemburu-peramu, meski saya sadar itu hampir-hampir terlambat.

Adalah tubuh saya, lebih dari apapun, yang memberi tahu bahwa sudah saatnya untuk pergi meninggalkan kawasan liar mereka. Saya digigit serangga, tergores duri dan kulit saya terbakar Matahari. Saya merasakan sakit perut serta kelelahan luar biasa. Setelah dua minggu tinggal bersama suku ini, saya memberi tahu mereka bahwa saya harus pergi.

Hanya ada sedikit tanggapan. Suku Hadza bukanlah masyarakat yang sentimentil. Mereka tidak berlama-lama mengucapkan selamat tinggal. Bahkan ketika salah seorang dari mereka meninggal, tidak banyak terjadi keributan. Mereka menggali lubang dan menaruh mayat di dalamnya. Satu generasi sebelumnya mereka bahkan tidak melakukan itu. Mereka hanya meninggalkan mayat di atas tanah untuk dimangsa dubuk. Hingga kini suku Hadza tidak memiliki nisan. Tidak ada acara pemakaman. Tidak ada acara keagamaan yang berkenaan dengan itu, acara apapun itu. Seorang yang baru meninggal mungkin merupakan salah satu orang yang sangat dekat dengan mereka semasa hidupnya. Namun mereka hanya menunjukkan rasa berduka dengan menabur beberapa ranting kering di atas makam. Lalu, mereka beranjak pergi.