Orang-orang Hadza

By , Senin, 23 November 2009 | 10:23 WIB

Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa pertanian tidak pernah memikat suku Hadza. Membudidayakan tanaman memerlukan perencanaan; bibit ditanam sekarang agar tumbuh menjadi tanaman yang belum dapat dimakan selama beberapa bulan. Hewan ternak harus diberi makan dan dijaga selama beberapa bulan sampai siap untuk disembelih. Bagi suku Hadza hal ini tidak masuk di akal. Untuk apa bercocok tanam atau beternak jika alam telah melakukannya untukmu? Jika mereka menginginkan buah beri, mereka tinggal pergi ke semak beri. Jika mereka menginginkan buah baobab, mereka tinggal memetiknya. Madu tinggal diambil di sarang lebah liar di tengah hutan. Dan mereka menyimpan daging di tempat penyimpanan terbesar di dunia, tanah air mereka. Semua itu hanya membutuhkan sedikit pengintaian dan panah yang terbidik dengan baik.

Akan tetapi, ada orang lain yang memikirkan masa depan suku Hadza. Para pejabat dalam pemerintahan Tanzania, contohnya. Tanzania adalah negara yang berorientasi ke masa depan, tak sabar meleburkan diri dalam arus ekonomi global. “Orang liar” yang berburu babun bukanlah sebuah gambaran yang ingin diproyeksikan oleh banyak pemimpin negeri. Salah satu menteri pernah menyebut Hadza sebagai terkebelakang. Jakaya Kikwete, presiden Tanzania pernah mengatakan bahwa suku Hadza “harus diubah”. Pemerintah ingin mereka disekolahkan dan mempunyai tempat tinggal tetap serta memiliki pekerjaan yang pantas.

Bahkan Richard Baalow, salah seorang warga Hadza yang secara de facto menjadi juru bicara suku ini secara umum setuju dengan sasaran pemerintah. Baalow yang memakai nama non-Hadza sebagai nama depannya adalah orang Hadza pertama yang bersekolah. Pada 1960-an keluarganya tinggal di perumahan yang dibangun pemerintah—sebuah upaya untuk membuat suku Hadza menetap yang segera saja gagal. Baalow, 53 tahun, yang fasih berbahasa Inggris ingin agar suku Hadza aktif secara politik untuk memperjuangkan perlindungan hukum terhadap wilayah mereka, dan untuk mencari pekerjaan sebagai pemandu berburu atau penjaga hutan. Dia mendesak anak-anak Hadza untuk masuk SD di wilayah itu yang menyediakan asrama bagi murid-murid suku Hadza selama tahun akademis, kemudian bersedia mengawal mereka kembali ke kawasan liar ketika sekolah usai.

Semua anak usia sekolah di kelompok Onwas yang saya ajak bicara mengatakan tidak tertarik belajar di sekolah. Banyak di antara mereka mengatakan jikapun bersekolah, mereka tidak akan pernah menguasai keahlian yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Mereka hanya akan menjadi orang buangan di antara kaumnya. Jika mereka mencoba peruntungan di dunia modern, apa yang akan terjadi? Para perempuan mungkin dapat bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan para lelaki menjadi buruh kasar. Mereka bilang jauh lebih baik hidup bebas dan makan di alam liar daripada hidup melarat dan kelaparan di kota.!break!

Lebih banyak orang suku hadza yang pindah ke wilayah tradisional Hadza di Mangola, di ujung kawasan liar di mana mereka bekerja memperagakan keahlian berburu di depan turis untuk mendapatkan uang. Kelompok Hadza ini telah membuktikan bahwa budaya mereka menarik minat orang asing dan merupakan sumber penghasilan yang potensial. Namun di antara orang Hadza yang tinggal di Mangola terdapat lonjakan jumlah yang ketagihan minuman keras, penyebaran wabah TB, dan peningkatan yang menyedihkan pada angka kekerasan dalam rumah tangga, termasuk sedikitnya satu laporan mengenai lelaki Hadza yang memukuli istrinya hingga mati.

Meski kaum muda di kelompok Onwas menunjukkan hanya sedikit ketertarikan terhadap dunia luar, dunia luar semakin mendekati mereka. Setelah bertahan selama dua juta tahun, abad berburu dan meramu makanan telah berakhir. Suku Hadza mungkin tetap memakai bahasa mereka; mereka mungkin memperagakan keahlian mereka di depan turis. Namun tinggal masalah waktu sampai akhirnya tidak ada lagi warga tradisional Hadza yang merayap di puncak bukit mengintai babun dengan busur dan panah mereka.

Onwas telah memimpin kami menuju puncak bukit. Sambil memegang erat pisau lipat, saya membungkuk di belakang Maduru ketika seekor babun bergerak di sepanjang batu yang bergerigi. Kemudian, tiba-tiba babun itu berhenti. Monyet besar itu menoleh dan berada sangat dekat dengan kami hingga dapat saling menyentuh. Saya menatap matanya, sangat takut hingga tak berani berkedip selama kira-kira satu detik. Maduru tidak melesatkan panah, mungkin karena jarak yang terlalu dekat dan babun yang terluka dapat menyerang kami—kenyataannya, seringkali racun pada panahlah yang menyebabkan kematian, bukan panahnya. Sejurus kemudian babun itu melompat menjauh ke dalam semak.

Tidak ada yang terdengar selama beberapa detik. Kemudian terdengarlah lolongan panik dan suara jatuh. Suara itu berasal dari sisi yang jauh dari batu dan saya tidak dapat membedakan apakah itu manusia atau babun. Itu suara keduanya. Kami berlari tunggang langgang menembus semak, hingga akhirnya mencapai area terbuka di tengah pepohonan akasia.!break!

Dan kemudian terlihatlah babun itu. Telentang, mulutnya menganga, kaki dan tangannya terentang. Giga memanahnya. Untuk memastikan sudah mati, Giga menyentuh bangkai babun itu dengan ujung kakinya. Maduru bersiul dan berteriak dan sesaat kemudian para pemburu telah berdatangan. Onwas berlutut dan mencabut panah dari bahu babun dan menyerahkannya kembali pada Giga. Para lelaki berdiri mengelilingi babun tersebut, memeriksa. Tidak ada upacara. Suku Hadza tidak percaya ritual. Tampaknya, tidak banyak ruang tersisa dalam kehidupan mereka bagi hal gaib, bagi roh halus dan bagi perenungan tentang hal yang tak dikenal. Tidak ada kepercayaan khusus tentang alam baka. Setiap orang Hadza yang saya ajak bicara mengatakan, mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah mati. Tidak ada pendeta, dukun, atau tabib di suku Hadza. Para misionaris hanya bisa mengubah agama sedikit orang Hadza. Saya pernah menanyakan kepada Onwas tentang Tuhan dan ia berkata, Tuhan adalah sesuatu yang terang membutakan, punya kekuatan yang sangat besar, dan hakiki dalam semua kehidupan. Tuhan, katanya, adalah sang surya.

Ritual terpenting dalam kehidupan suku Hadza adalah tarian epeme yang diadakan pada malam tanpa Bulan. Dalam ritual itu, lelaki dan perempuan dikelompokkan terpisah. Para perempuan bernyanyi sementara para lelaki dengan memakai mahkota bulu dan gelang lonceng di kaki berjalan berkeliling dengan angkuhnya, sambil menghentakkan kaki kanan seirama nyanyian. Semestinya di malam epeme, para leluhur datang dari alam liar dan ikut menari. Satu malam ketika saya menyaksikan epeme, saya melihat lelaki muda Mataiyo diam-diam menghilang ke balik semak bersama seorang perempuan muda. Para lelaki lainnya tertidur setelah giliran menari. Seperti aspek lainnya dalam kehidupan suku Hadza, upacara tersebut tidak resmi, dengan kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk seberapa jauh berpartisipasi.

Karena Tuhan suku Hadza belum akan terbit dalam beberapa jam ke depan, Giga memegang kaki belakang babun dan menyeret bangkai tersebut sepanjang kawasan liar hingga kembali ke perkemahan. Monyet itu lalu ditaruh di dekat api yang dibuat Onwas, sementara Giga duduk diam bersama beberapa lelaki lainnya. Adat suku Hadza melarang pemburu yang berhasil membunuh buruan untuk menyombongkan diri. Ada kepercayaan bahwa keberuntungan memegang peranan penting dalam berburu, bahkan pemanah terbaik pun bisa saja mengalami kesialan. Karena itulah suku Hadza membagi hasil buruan kepada anggota-kelompok lainnya.

Mille, istri Onwas, adalah yang pertama terbangun. Dia mengenakan satu-satunya pakaiannya, kaus tanpa lengan dan kain berpola bunga yang membungkus tubuhnya seperti toga. Dia melihat babun tersebut dan dengan wajah riang yang ditandai anggukan singkat, Mille menambah kayu bakar ke api unggun. Waktunya memasak. Anggota perkemahan lainnya segera akan bangun—semua orang kelaparan—dan Ngaola menguliti babun tersebut dan menggantung kulitnya menggunakan ranting-ranting tajam. Kulit binatang itu akan kering dalam beberapa hari dan bisa menjadi alas tidur yang nyaman. Beberapa lelaki memotong-motong daging babun dan membagi-bagikannya. Onwas sebagai kepala perkemahan mendapat bagian terlezat, kepala babun. !break!