“Aku lapar,” kata Onwas sambil berjongkok di depan api unggun, matanya berkedap-kedip tenang dari balik kepulan asap. Para lelaki di sebelahnya bergumam mengiyakan. Saat itu sudah larut malam di suatu tempat di pedalaman alam liar Afrika Timur.!break!
Sebuah kidung yang seperti doa berirama mengalun dari arah perkemahan perempuan. Onwas bercerita tentang sebuah pohon yang ia temukan dalam perjalanannya siang tadi. Para lelaki di sekitar api unggun duduk merapat. Pohon tersebut terletak di tempat yang sulit dicapai, di puncak lereng terjal di padang rumput, jelas Onwas. Namun pohon tersebut dipenuhi babun, tutur Onwas sambil merentangkan kedua lengannya seperti cabang-cabang pohon. Makin banyak gumaman yang terdengar. Bara api melayang naik menuju langit luas berbintang. Kemudian persetujuan tercapai. Semua orang berdiri dan menyambar busur berburu mereka.
Onwas adalah seorang lelaki tua, mungkin sudah di atas 60 tahun— tahun bukanlah satuan waktu yang Onwas gunakan—yang kurus dan bugar seperti lazimnya orang-orang suku Hadza. Tingginya kira-kira satu setengah meter. Rajah alami yang dia peroleh dari kisah hidupnya di alam liar memenuhi dada dan kedua lengannya: parut bekas luka berburu, bekas gigitan ular, bekas luka terkena anak panah dan pisau, serta bekas gigitan kalajengking dan goresan duri tajam. Juga ada bekas luka akibat jatuh dari pohon baobab dan akibat serangan macan tutul. Setengah giginya sudah tanggal. Onwas memakai sandal karet ban bekas serta celana pendek cokelat yang sudah usang. Sebuah pisau berburu terselip di pinggangnya di dalam sarung yang terbuat dari kulit dik-dik, sejenis kijang antelope, yang tak disamak. Dia melepas kaosnya seperti yang dilakukan sebagian besar lelaki lainnya karena ia ingin menyatu dengan gelapnnya malam.
Onwas menatapku dan selama beberapa saat berbicara dalam bahasa asli sukunya, Hadzane. Di telingaku bahasa tersebut terdengar seperti campuran dua kutub bahasa yang aneh—berirama gembira dan lembut dalam satu-dua frase, kemudian terdengar kasar dan mengetuk-ketuk disertai bunyi decakan lidah dan letupan bibir. Ini adalah bahasa yang tidak mirip dengan bahasa lainnya yang masih dipakai: dalam istilah ahli bahasa yaitu bahasa terpencil.
Saya tiba di tanah suku Hadza di Tanzania utara dengan ditemani seorang penterjemah, perempuan Hadza bernama Mariamu. Dia adalah keponakan Onwas. Mariamu pernah mengenyam bangku sekolah selama 11 tahun dan dia adalah satu dari segelintir orang di dunia yang fasih berbahasa Inggris dan Hadzane. Dia menerjemahkan kalimat Onwas: apakah saya ingin ikut?!break!
Untuk dapat sampai di perkemahan tradisional suku Hadza bukanlah pekerjaan yang mudah. Tahun bukan satu-satunya unit waktu yang tidak digunakan suku Hadza. Mereka juga tidak menggunakan satuan jam, hari, minggu, serta bulan. Bahasa suku Hadza tidak mengenal kata untuk angka setelah tiga atau empat. Membuat janji bertemu dengan suku Hadza dapat menjadi urusan yang rumit. Namun saya telah menghubungi pemilik perkemahan wisata yang berada tidak jauh dari wilayah suku Hadza untuk mengetahui apakah dia dapat mengatur agar saya dapat tinggal beberapa waktu dengan suku Hadza yang terkucil. Selama saya menginap di alam liar, si pemilik perkemahan wisata menemui Onwas dan menanyakan kepadanya dalam bahasa Swahili apakah saya boleh berkunjung. Suku Hadza cenderung ramah dan suka berteman. Onwas pun langsung menyetujui. Dia bilang saya akan menjadi orang asing pertama yang pernah hidup di perkemahan mereka. Onwas berjanji akan mengirim anak lelakinya untuk menemui saya di bawah sebuah pohon di batas kawasan liar ketika saya diperkirakan sudah sampai, dalam waktu tiga minggu.
Dengan cukup yakin tiga minggu kemudian, ketika saya dan penterjemah sampai di batas alam liar dengan menumpang Land Rover, sudah menunggu Ngaola, anak lelaki Onwas. Rupanya Onwas telah memerhatikan pergerakan Bulan dan ketika dia merasa sudah tiba waktunya, dikirimkanlah anak lelakinya untuk menunggu di pohon tersebut. Saya bertanya apakah Ngaola telah lama menunggu. “Tidak,” katanya. “Hanya beberapa hari.”
Pada awalnya sangat terlihat jelas bahwa semua orang di perkemahan, sekitar dua lusin, mulai dari bayi hingga orang tua, merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya. Mereka sering memandangi saya, beberapa tertawa dengan canggung. Untuk mengurangi kekakuan, saya membawa sebuah album foto dan memperlihatkannya kepada warga. Onwas tertarik dengan sebuah foto kucing saya. “Seperti apa rasanya?” tanya dia. Sebuah foto menarik perhatian semua orang. Itu adalah foto saya yang sedang melompat masuk ke sebuah lubang es yang dibuat di tengah danau membeku, sebuah perayaan berenang di danau atau laut yang dingin membeku untuk menyambut tahun baru. Para pemburu suku Hadza sepertinya tidak memiliki rasa takut; Onwas secara teratur mengintai macan tutul dan mengejar jerapah. Namun gagasan mengenai cuaca musim dingin membuatnya ketakutan. Dia berlari berkeliling perkemahan dengan membawa foto tersebut, mengatakan kepada semua orang bahwa saya adalah seorang pemberani, dan kejadian ini sangat membantu dalam proses penerimaan saya di tengah suku tersebut. Seorang yang cukup berani untuk berenang di es, pikir Onwas, pasti tidak memiliki kesulitan berhadapan dengan babon liar. Jadi pada malam ketiga kedatangan saya, Onwas bertanya apakah saya mau bergabung dalam perburuan.
Saya mengiyakan. Saya tanggalkan kaos. Warna kulit saya tidak terlalu menyatu dengan kegelapan malam. Saya mengikuti Onwas, 10 pemburu lainnya, dan dua anak lelaki yang lebih muda meninggalkan perkemahan dalam satu barisan. Berjalan melewati wilayah suku Hadza dalam kegelapan malam merupakan hal yang menantang; didominasi semak beronak dan akasia yang berduri, pada siang hari bahkan sulit untuk menghindari tertusuk dan tergores. Sebuah perjalanan panjang di semak-semak Hadza terasa seperti melakukan tato di sekujur badan secara berangsur-angsur. Suku Hadza menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk saling mengorek duri-duri di tubuh mereka dengan ujung mata pisau. !break!
Pada malam hari duri-duri tersebut ada di mana-mana tetapi tak terlihat, dan memilih jalur lintasan sepertinya mustahil. Tidak ada jalan setapak dan hanya sedikit penanda lanskap. Untuk berjalan dengan pasti melintasi bentang alam ini dalam kegelapan tanpa lampu senter dibutuhkan ingatan di luar kepala seperti yang dimiliki seseorang terhadap kamar tidurnya. Hanya saja, ini adalah kamar tidur seluas 2.500 kilometer persegi dengan singa, macan tutul, dan dubuk berkeliaran mencari mangsa dalam kegelapan.
Bagi Onwas, mencari jalan bukanlah masalah. Seumur hidupnya dihabiskan di alam liar ini. Dalam waktu kurang dari 30 detik dia dapat membuat api dengan menggesek-gesekkan dua batang kayu yang digenggamnya. Lewat siulan, dia dapat bercakap-cakap dengan burung pemandu-lebah (Indicatoridae), untuk kemudian si burung memandu ke sebuah sarang lebah yang besar. Onwas tahu segala yang harus diketahui tentang alam liar tersebut, tetapi sama sekali tidak tahu tentang alam di luar itu. Satu kali saya menunjukkan kepada Onwas sebuah peta dunia. Saya membukanya lebar-lebar di atas tanah dan menindih sudut-sudutnya dengan batu. Para pemburu pun berkerumun. Onwas menatap peta itu. Saya menunjukkan Benua Afrika, lalu wilayah Tanzania, lalu wilayah di mana dia tinggal. Saya menunjukkan padanya Amerika Serikat.
Saya bertanya padanya apa yang ia ketahui tentang Amerika Serikat—nama presidennya, ibu kotanya. Onwas menjawab tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak dapat menyebutkan nama pemimpin negaranya. Saya bertanya dengan sesopan mungkin, apakah ia tahu apa saja mengenai sebuah negara, apapun. Dia diam beberapa saat, kelihatannya berpikir keras. Kemudian tiba-tiba berteriak, “London!” Dia tidak dapat mengatakan dengan tepat apakah London itu. Dia hanya tahu bahwa itu adalah sebuah tempat di luar alam liar tempat tinggalnya.
Sekitar 1.000 orang suku Hadza tinggal di tanah warisan leluhur mereka, sebuah dataran luas yang mengelilingi Danau Eyasi yang asin dan dangkal serta dibentengi oleh Lembah Celah Besar (Great Rift Valley), yaitu parit alam raksasa yang membentang dari Suriah hingga Mozambik. Beberapa orang Hadza telah pindah ke dekat pedesaan dan bekerja sebagai buruh tani atau pemandu wisata. Namun kurang lebih seperempat populasi suku Hadza, termasuk yang di perkemahan Onwas tetap hidup sebagai pemburu dan peramu (mencari dan mengumpulkan) makanan sejati. Mereka tidak memiliki ladang, tidak memiliki ternak, tidak punya tempat tinggal tetap. Mereka hanya selalu tinggal di bagian selatan yang sama di lembah tempat ditemukannya fosil tertua bukti manusia pertama yang ditemukan. Uji genetik menunjukkan bahwa suku Hadza mungkin mewakili salah satu dari cabang pertama silsilah manusia, mungkin yang sudah berumur lebih dari 100.000 tahun.!break!
Apa yang tampaknya dapat ditawarkan oleh suku Hadza—dan mengapa mereka sangat menarik bagi antropolog—adalah gambaran mengenai seperti apakah kehidupan sebelum budaya pertanian lahir 10.000 tahun lampau. Para antropolog tentu berhati-hati dalam melihat masyarakat pemburu dan peramu makanan di zaman sekarang sebagai “fosil hidup,” kata Frank Marlowe, profesor antropologi di Florida State University yang telah menghabiskan 15 tahun terakhir untuk mempelajari suku Hadza. Bagi mereka, waktu tidaklah beku. Namun, suku Hadza telah mempertahankan gaya hidup meramu makanan meskipun lama terpapar oleh lingkungan pertanian di sekelilingnya, dan kata Marlowe, ada kemungkinan bahwa cara hidup suku itu sudah sedikit berubah selama bertahun-tahun.
Selama lebih dari 99 persen kurun waktu sejak manusia genus Homo muncul dua juta tahun lalu, setiap manusia hidup sebagai pemburu dan peramu. Kemudian, ketika pertanian mulai dikembangkan dan hewan mulai diternakkan, penemuan tersebut meletikkan perombakan menyeluruh terhadap tatanan kehidupan di seluruh dunia. Produksi makanan berjalan seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk yang memungkinkan masyarakat pertanian menggusur atau menghancurkan kelompok-kelompok pemburu dan peramu. Dibentuklah desa, kemudian kota, kemudian negara. Dan dalam periode yang cukup singkat, cara hidup berburu dan meramu makanan nyaris tinggal menjadi sejarah. Kini hanya ada segelintir masyarakat seperti itu—beberapa di hutan Amazon, dua kelompok di kutub utara, sedikit di Papua Nugini dan sejumlah kecil kelompok di Afrika—yang mempertahankan berburu dan meramu sebagai cara hidup utama mereka. Walau demikian, kemunculan pertanian yang tiba-tiba memerlukan ongkos. Pertanian mengakibatkan wabah penyakit menular, stratifikasi sosial, masa panceklik, dan perang dalam skala besar. Jared Diamond, pengajar di UCLA sekaligus penulis, menyebut adopsi sistem pertanian tidak lebih dari “kesalahan terburuk dalam sejarah manusia”—sebuah kesalahan yang dia katakan tak pernah berhasil kita perbaiki.
Suku Hadza tidak pernah terlibat perang. Kepadatan penduduknya tidak pernah mencapai jumlah yang dapat terancam serius oleh penyakit menular. Sejarah mereka tidak pernah menunjukkan adanya masa panceklik; bahkan ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang dari kelompok pertanian pernah datang untuk hidup bersama mereka pada masa gagal panen. Pangan suku Hadza hingga sekarang bertahan lebih stabil dan lebih beragam daripada kebanyakan penduduk dunia. Mereka menikmati jumlah waktu senggang yang luar biasa banyaknya. Para antropolog pernah memperkirakan suku Hadza “bekerja”—yaitu aktif mencari makan—selama empat hingga enam jam per hari. Selain itu selama lebih dari ribuan tahun, mereka hanya meninggalkan kerusakan berupa jejak kaki di tanah.
Suku Hadza tradisional seperti Onwas dan teman-teman seperkemahan hidup dengan hampir sepenuhnya bebas dari harta benda. Benda-benda yang mereka miliki seperti panci masak, wadah air, dan kampak dapat dibungkus dalam selembar selimut dan dapat dipikul. Para perempuan Hadza mengumpulkan buah beri, buah baobab, dan menggali umbi-umbian yang dapat dimakan. Kaum lelaki mengumpulkan madu dan berburu. Mengintai babun di malam hari merupakan urusan kelompok dan hanya dilakukan beberapa kali dalam setahun; biasanya, perburuan dilakukan sendiri-sendiri. Mereka akan memakan hampir apapun yang dapat dibunuh, mulai dari burung sampai gnu (sejenis rusa), zebra dan kerbau liar. Mereka juga memakan daging celeng Afrika, babi semak, dan hyrax (mamalia herbivora yang mirip marmut). Mereka menyukai babun; Onwas bercanda bahwa lelaki Hadza tidak dapat menikah sampai ia dapat membunuh lima babon. Pengecualian utama adalah ular. Suku Hadza membenci ular.!break!
Racun yang dilumuri di anak panah pemburu Hadza terbuat dari getah mawar gurun yang dididihkan, cukup kuat untuk melumpuhkan seekor jerapah. Tapi tidak cukup kuat untuk membunuh gajah dewasa. Jika para pemburu melewati bangkai gajah yang baru saja mati, mereka akan merayap masuk ke perut gajah dan memotong daging, organ dalam dan mengambil lemak dan memasaknya di atas api. Kadang kala, alih-alih menarik ke perkemahan, seluruh anggota perkemahan akan pindah mendekati bangkai tersebut.
Perkemahan suku Hadza adalah afiliasi yang longgar dari kumpulan kerabat, saudara ipar, dan teman. Setiap perkemahan punya beberapa anggota inti—dalam perkemahan Onwas, kedua anaknya Giga dan Ngaola seringkali bersama sang bapak, tetapi kebanyakan lainnya datang dan pergi sesuka hati. Suku Hadza tidak mengenal pemimpin resmi. Perkemahan secara tradisional dinamai sesuai nama lelaki tertua di kelompok tersebut (oleh karena itu kelompok yang saya tinggali dinamakan perkemahan Onwas), tetapi penghargaan tersebut tidak disertai dengan pemberian kekuasaan apapun. Kebebasan individu adalah karakteristik suku Hadza. Tidak ada seorang dewasa pun di suku Hadza yang punya otoritas terhadap lainnya. Tidak ada yang lebih kaya; dengan kata lain mereka semua tidak memiliki kekayaan. Hanya ada sedikit kewajiban sosial—tidak ada ulang tahun, tidak ada hari libur keagamaan, tidak ada hari peringatan.
Setiap orang boleh tidur kapanpun ia mau. Beberapa berjaga sampai larut dan tidur pada siang hari yang panas. Dini dan senja hari merupakan saat utama untuk berburu; sebaliknya jika sedang tidak berburu, para lelaki menghabiskan waktu di perkemahan, meluruskan panah, meraut busur panah, membuat tali busur dari ligamen jerapah atau impala, atau memaku mata panah. Mereka menukar madu dengan paku, plastik berwarna, dan manik-manik kaca yang kemudian dibuat menjadi kalung oleh para perempuan. Jika seorang lelaki menerima pemberian kalung, itu merupakan pertanda bagus bahwa ada seorang perempuan yang mengaguminya.
Di Hadza tidak ada pesta pernikahan. Sepasang lelaki dan perempuan yang tidur bersama di sebuah api unggun selama beberapa waktu dapat menganggap diri mereka menikah. Sebagian besar suku Hadza yang saya temui, lelaki dan perempuan, menganut paham monogami dalam satu rentang waktu. Mereka berganti pasangan beberapa tahun sekali. Onwas merupakan perkecualian; ia dan istrinya Mille telah bersama sepanjang usia dewasa mereka dan mereka dikaruniai tujuh anak yang hidup dan beberapa cucu. Ada sekelompok anak kecil di perkemahan yang diasuh oleh seorang perempuan tua bertubuh mungil dan ceria Nsalu. Dia yang menjagai anak-anak di saat orang-orang dewasa berada di alam liar. Terkecuali bayi yang masih disusui, sulit untuk menentukan siapa orang tua dari anak-anak tersebut.!break!
Peran berdasarkan gender terbagi jelas, tetapi bagi wanita tidak ada keterpaksaan untuk mengikat diri pada budaya lain yang berbeda. Perempuan Hadza dalam jumlah cukup besar yang menikah dengan lelaki di luar kelompok tidak lama kemudian kembali, mereka tidak sanggup menerima perlakuan tidak menyenangkan. Di antara suku Hadza, perempuan kerap menjadi pihak yang memulai perpisahan. Hal itu menjadi peringatan bagi kaum lelaki yang menunjukkan dirinya tidak pandai pemburu atau yang telah memperlakukan istrinya dengan buruk. Di perkemahan Onwas, beberapa anggota yang paling berisik dan lancang adalah para perempuannya. Salah satunya adalah Nduku yang mengangkat dirinya sebagai guru bahasa saya dan menghabiskan banyak waktu belajar dengan menggoda saya tanpa ampun. Dia kerap keliling perkemahan menertawakan saya jika saya gagal menghasilkan suara decakan lidah yang khas.
Onwas tahu ada sekitar 20 kelompok Hadza tersebar di alam liar wilayahnya, secara teratur saling bertukar anggota seperti tarian serampang duabelas raksasa. Sebagian besar konflik diselesaikan oleh pihak-pihak yang bertikai hanya dengan berpisah ke kelompok perkemahan yang berlainan. Hasil buruan yang dibawa pulang oleh seorang pemburu dimakan oleh semua orang dalam perkemahannya. Hal itu yang menyebabkan setiap kelompok perkemahan hanya terdiri tidak lebih dari 30 anggota—itu jumlah terbanyak yang masih dapat berbagi satu atau dua binatang buruan dan masih dapat duduk berkumpul dengan nyaman. Saya tinggal di sana saat musim kemarau yang berlangsung enam bulan, dari Mei sampai Oktober. Di musim itulah suku Hadza tidur di alam terbuka, hanya terbungkus selimut tipis di sisi api unggun—berkelompok dua hingga enam orang dengan delapan atau sembilan api unggun menyebar setengah lingkaran menghadap ke area umum yang sudah disapu. Kelompok tidur tersebut beragam mulai dari keluarga, lelaki lajang, perempuan muda (dengan seorang perempuan yang lebih tua sebagai penjaga), dan pasangan. Selama musim hujan mereka membangun tempat berlindung berbentuk kubah kecil terbuat dari ranting-ranting dan ilalang yang dianyam menjadi seperti sarang burung yang terbalik. Untuk membangun sebuah kubah dibutuhkan waktu tidak sampai satu jam. Mereka berpindah perkemahan kira-kira sekali dalam sebulan, ketika persediaan buah beri mulai habis atau hasil perburuan makin sulit didapat atau timbul penyakit keras atau kematian.
Di perkemahan Onwas, tidak ada seorang pun yang tidur sendirian. Onwas menugaskan putranya Ngaola—yang menunggu kedatangan saya selama beberapa hari di bawah pohon—untuk tinggal bersama saya. Ngaola juga mengajak temannya Maduru untuk bergabung. Kami bertiga tidur dalam bentuk segitiga, kaki bertemu kepala, mengelilingi api unggun. Namun jika gigitan nyamuk menggila, saya tidur di dalam tenda.
Ngaola adalah lelaki pendiam dan selalu berhati-hati. Dia juga seorang pemburu yang teramat buruk. Ngaola berumur sekitar 30 tahun dan masih belum menikah; mungkin dia korban aturan membunuh lima babun. Sangat menyakitkan baginya bahwa Giga kakaknya mungkin merupakan pemanah terbaik di perkemahan itu. Sementara Maduru adalah penjelajah alam tulen, khususnya seorang pencari madu yang baik. namun canggung. Ketika obat penawar untuk racun ular diedarkan ke sekeliling kampong, Maduru tidak kebagian. Hal ini sangat mengecewakan baginya, dan Onwas terpaksa menghabiskan satu jam duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya seperti seorang paman yang baik, berusaha menenangkannya.!break!
Maduru menganggap dirinya bertanggung jawab menjaga saya selama perburuan babun malam itu. Sembari bergerak melewati semak belukar, ia membersihkan ranting akasia setinggi mata yang durinya sebesar tusuk gigi dan berulang kali memeriksa untuk memastikan saya tidak ketinggalan. Onwas memimpin kami ke bukit dimana ia pernah melihat pohon yang dipenuhi babun.
Di sinilah kami berhenti. Kemudian ada isyarat tangan, beberapa celotehan terputus-putus. Saya tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi karena penterjemah tetap tinggal di perkemahan. Perburuan tersebut hanya untuk lelaki. Namun Maduru menepuk bahu saya dan mengisyaratkan agar mengikutinya. Pemburu lainnya menyebar di seputar kaki bukit dan saya mengikuti Maduru ketika ia menghilang ke balik semak dan mulai memanjat. Lereng bukit terlihat tegak lurus—sehingga harus menggunakan kedua tangan untuk memanjat—dan semak belukarnya padat. Duri menggores tangan dan wajah dan darah menetes mengenai mata saya. Kami memanjat. Saya menempel ketat Maduru; saya tidak mau terpisah darinya.
Akhirnya saya mengerti. Kami semua memanjat dari semua sisi, menuju kumpulan babun. Kami mencoba mengejutkan monyet-monyet itu, membuatnya kabur. Dari tempat babun bertengger di puncak bukit, tidak ada tempat untuk kabur kecuali turun. Suku Hadza telah mengepung bukit tersebut sehingga babun akan berlari ke arah pemburu yang telah menunggu. Kemungkinan ke arah saya dan Maduru.
Pernahkah Anda melihat seekor babun dari dekat? Monyet itu punya gigi yang dirancang untuk mengoyak daging. Babun jantan dewasa dapat memiliki bobot lebih dari 35 kilogram. Di sinilah kami, bergerak ke atas bukit, sengaja memancing babun-babun tersebut. Suku Hadza bersenjatakan busur dan panah. Saya bersenjatakan pisau lipat. !break!
Kami bergerak semakin ke atas. Saya dan Maduru keluar dari belukar menuju ke atas bebatuan. Saya merasa seperti baru keluar dari balik selimut. Di langit tampak bulan sabit, angin bertiup sepoi-sepoi. Kami berada di dekat puncak bukit yang terletak hanya beberapa meter di atas gundukan batu besar, mungkin enam meter di atas kepala kami. Pohon babun itu terletak di atas sana, hampir tidak terlihat.
Kemudian saya mendengar suara jeritan yang menggila. Babun-babun itu menyadari ada yang tidak beres. Suaranya melengking tinggi, panik. Saya tidak mengerti bahasa babun, tetapi tidaklah sulit memahaminya. Pergi! Jangan mendekat! Namun Maduru memanjat lebih tinggi lagi, naik ke atas batu datar. Saya mengikuti. Babun-babun telah terkepung dan mereka tampak merasakannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang lain. Suara ranting patah di atas kepala. Babun-babun itu turun, menjerit. Maduru diam membeku, bertumpu pada satu lutut, mengambil panah dan merentangkan busur. Dia sudah siap. Saya bersembunyi di belakangnya. Saya berharap, saya sangat berharap, tidak ada babun yang lari ke arah kami. Saya meraih pisau lipat di kantong saya dan membukanya. Pisaunya mungkin sekitar lima sentimeter panjangnya. Rasanya konyol, namun itulah yang saya lakukan.
Suara jeritan semakin rapat. Kemudian tepat di atas kami, terlindung dalam bayangan gelap berlatar langit berbintang, ada seekor babun. Babun itu bergerak cepat sepanjang bibir batu. Maduru berdiri, membidik, mengikuti gerak babun dari kiri ke kanan dengan panah terpasang dan busurnya yang sudah teregang penuh. Setiap otot di tubuh saya menegang. Kepala saya berdenyut panik. Saya menggenggam erat pisau lipat.!break!
Sebab utama suku Hadza mampu mempertahankan gaya hidup mereka begitu lama adalah fakta bahwa tanah air mereka tidak punya daya tarik. Tanahnya tidak subur, air segar langka dan serangganya dapat tak tertahankan. Selama puluhan ribu tahun tampaknya tidak ada orang lain yang ingin hidup di sini sehingga suku Hadza tinggal sendirian. Namun baru-baru ini, tekanan populasi yang terus meningkat membawa banjir penduduk ke wilayah Hadza. Kenyataan bahwa suku Hadza telah memperlakukan alam dengan lembut pada satu sisi menyakitkan mereka sendiri—wilayah tersebut secara umum dipandang oleh orang luar sebagai wilayah tak bertuan dan tak digunakan, tempat yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Suku Hadza yang secara alami bukan suku yang suka berperang, hampir selalu memilih untuk pergi daripada ribut mempertahankan wilayahnya. Namun kini sudah tidak ada lagi tempat untuk pindah.
Saat ini sudah ada penggembala ternak sapi di kawasan liar suku Hadza, penggembala kambing, petani bawang, petani jagung, olahragawan pemburu, dan pemburu liar. Sumur-sumur air tercemar kotoran sapi. Tanaman liar terinjak-injak kaki ternak. Semak belukar dibersihkan untuk perladangan dan air yang sudah langka dipakai untuk mengairinya. Binatang-binatang buruan dipindahkan ke taman-taman nasional yang terlarang bagi suku Hadza. Pohon-pohon beri mati dan pohon-pohon tempat lebah bersarang telah dihancurkan. Selama satu abad belakangan, suku Hadza telah kehilangan 90 persen kepemilikan eksklusif atas tanah air mereka.
Tidak satu pun suku lain yang tinggal di wilayah tersebut—suku Datoga, Iraqw, Isanzu, Sukuma, dan Iramba—hidup sebagai pemburu dan peramu makanan. Mereka tinggal di dalam rumah lumpur kering, seringkali dikelilingi oleh kandang-kandang ternak. Kebanyakan dari mereka merendahkan suku Hadza dan melihatnya dengan pandangan kasihan bercampur jijik: bagian Tanzania yang tak tersentuh peradaban. Saya pernah menyaksikan seorang lelaki suku Datoga melarang beberapa perempuan Hadza mendekati sumur umum sampai sapi-sapinya selesai minum.
Jalan-jalan tanah kini sudah dibuat sampai ke ujung kawasan liar tempat suku Hadza tinggal. Jalan aspal hanya berjarak empat hari jalan kaki. Sinyal telepon selular dapat ditangkap dari berbagai tempat yang tinggi. Sebagian besar warga suku Hadza termasuk Onwas telah belajar bahasa Swahili agar dapat berkomunikasi dengan suku lainnya. Beberapa kaum muda Hadza pernah bertanya apakah saya dapat memberi mereka senjata api untuk mempermudah perburuan. Onwas sendiri, meski jarang menjelajah sampai di luar batas kawasan liar Hadza, dapat merasakan perubahan yang besar sedang mendekat. Hal tu nampak tidak mengganggunya. Seperti yang berulang kali dikatakan kepada saya, dia tidak khawatir tentang masa depan. Dia tidak mengkhawatirkan apapun. Kenyataannya, tidak seorang Hadza pun yang terlihat khawatir. Inilah pola pikir suku Hadza mengejutkan bagi saya yang selalu memiliki kekhawatiran. Apakah besok saya bisa makan? Apakah besok ada binatang yang makan saya? Namun mereka sepertinya hidup hanya untuk hari ini.!break!
Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa pertanian tidak pernah memikat suku Hadza. Membudidayakan tanaman memerlukan perencanaan; bibit ditanam sekarang agar tumbuh menjadi tanaman yang belum dapat dimakan selama beberapa bulan. Hewan ternak harus diberi makan dan dijaga selama beberapa bulan sampai siap untuk disembelih. Bagi suku Hadza hal ini tidak masuk di akal. Untuk apa bercocok tanam atau beternak jika alam telah melakukannya untukmu? Jika mereka menginginkan buah beri, mereka tinggal pergi ke semak beri. Jika mereka menginginkan buah baobab, mereka tinggal memetiknya. Madu tinggal diambil di sarang lebah liar di tengah hutan. Dan mereka menyimpan daging di tempat penyimpanan terbesar di dunia, tanah air mereka. Semua itu hanya membutuhkan sedikit pengintaian dan panah yang terbidik dengan baik.
Akan tetapi, ada orang lain yang memikirkan masa depan suku Hadza. Para pejabat dalam pemerintahan Tanzania, contohnya. Tanzania adalah negara yang berorientasi ke masa depan, tak sabar meleburkan diri dalam arus ekonomi global. “Orang liar” yang berburu babun bukanlah sebuah gambaran yang ingin diproyeksikan oleh banyak pemimpin negeri. Salah satu menteri pernah menyebut Hadza sebagai terkebelakang. Jakaya Kikwete, presiden Tanzania pernah mengatakan bahwa suku Hadza “harus diubah”. Pemerintah ingin mereka disekolahkan dan mempunyai tempat tinggal tetap serta memiliki pekerjaan yang pantas.
Bahkan Richard Baalow, salah seorang warga Hadza yang secara de facto menjadi juru bicara suku ini secara umum setuju dengan sasaran pemerintah. Baalow yang memakai nama non-Hadza sebagai nama depannya adalah orang Hadza pertama yang bersekolah. Pada 1960-an keluarganya tinggal di perumahan yang dibangun pemerintah—sebuah upaya untuk membuat suku Hadza menetap yang segera saja gagal. Baalow, 53 tahun, yang fasih berbahasa Inggris ingin agar suku Hadza aktif secara politik untuk memperjuangkan perlindungan hukum terhadap wilayah mereka, dan untuk mencari pekerjaan sebagai pemandu berburu atau penjaga hutan. Dia mendesak anak-anak Hadza untuk masuk SD di wilayah itu yang menyediakan asrama bagi murid-murid suku Hadza selama tahun akademis, kemudian bersedia mengawal mereka kembali ke kawasan liar ketika sekolah usai.
Semua anak usia sekolah di kelompok Onwas yang saya ajak bicara mengatakan tidak tertarik belajar di sekolah. Banyak di antara mereka mengatakan jikapun bersekolah, mereka tidak akan pernah menguasai keahlian yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Mereka hanya akan menjadi orang buangan di antara kaumnya. Jika mereka mencoba peruntungan di dunia modern, apa yang akan terjadi? Para perempuan mungkin dapat bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan para lelaki menjadi buruh kasar. Mereka bilang jauh lebih baik hidup bebas dan makan di alam liar daripada hidup melarat dan kelaparan di kota.!break!
Lebih banyak orang suku hadza yang pindah ke wilayah tradisional Hadza di Mangola, di ujung kawasan liar di mana mereka bekerja memperagakan keahlian berburu di depan turis untuk mendapatkan uang. Kelompok Hadza ini telah membuktikan bahwa budaya mereka menarik minat orang asing dan merupakan sumber penghasilan yang potensial. Namun di antara orang Hadza yang tinggal di Mangola terdapat lonjakan jumlah yang ketagihan minuman keras, penyebaran wabah TB, dan peningkatan yang menyedihkan pada angka kekerasan dalam rumah tangga, termasuk sedikitnya satu laporan mengenai lelaki Hadza yang memukuli istrinya hingga mati.
Meski kaum muda di kelompok Onwas menunjukkan hanya sedikit ketertarikan terhadap dunia luar, dunia luar semakin mendekati mereka. Setelah bertahan selama dua juta tahun, abad berburu dan meramu makanan telah berakhir. Suku Hadza mungkin tetap memakai bahasa mereka; mereka mungkin memperagakan keahlian mereka di depan turis. Namun tinggal masalah waktu sampai akhirnya tidak ada lagi warga tradisional Hadza yang merayap di puncak bukit mengintai babun dengan busur dan panah mereka.
Onwas telah memimpin kami menuju puncak bukit. Sambil memegang erat pisau lipat, saya membungkuk di belakang Maduru ketika seekor babun bergerak di sepanjang batu yang bergerigi. Kemudian, tiba-tiba babun itu berhenti. Monyet besar itu menoleh dan berada sangat dekat dengan kami hingga dapat saling menyentuh. Saya menatap matanya, sangat takut hingga tak berani berkedip selama kira-kira satu detik. Maduru tidak melesatkan panah, mungkin karena jarak yang terlalu dekat dan babun yang terluka dapat menyerang kami—kenyataannya, seringkali racun pada panahlah yang menyebabkan kematian, bukan panahnya. Sejurus kemudian babun itu melompat menjauh ke dalam semak.
Tidak ada yang terdengar selama beberapa detik. Kemudian terdengarlah lolongan panik dan suara jatuh. Suara itu berasal dari sisi yang jauh dari batu dan saya tidak dapat membedakan apakah itu manusia atau babun. Itu suara keduanya. Kami berlari tunggang langgang menembus semak, hingga akhirnya mencapai area terbuka di tengah pepohonan akasia.!break!
Dan kemudian terlihatlah babun itu. Telentang, mulutnya menganga, kaki dan tangannya terentang. Giga memanahnya. Untuk memastikan sudah mati, Giga menyentuh bangkai babun itu dengan ujung kakinya. Maduru bersiul dan berteriak dan sesaat kemudian para pemburu telah berdatangan. Onwas berlutut dan mencabut panah dari bahu babun dan menyerahkannya kembali pada Giga. Para lelaki berdiri mengelilingi babun tersebut, memeriksa. Tidak ada upacara. Suku Hadza tidak percaya ritual. Tampaknya, tidak banyak ruang tersisa dalam kehidupan mereka bagi hal gaib, bagi roh halus dan bagi perenungan tentang hal yang tak dikenal. Tidak ada kepercayaan khusus tentang alam baka. Setiap orang Hadza yang saya ajak bicara mengatakan, mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah mati. Tidak ada pendeta, dukun, atau tabib di suku Hadza. Para misionaris hanya bisa mengubah agama sedikit orang Hadza. Saya pernah menanyakan kepada Onwas tentang Tuhan dan ia berkata, Tuhan adalah sesuatu yang terang membutakan, punya kekuatan yang sangat besar, dan hakiki dalam semua kehidupan. Tuhan, katanya, adalah sang surya.
Ritual terpenting dalam kehidupan suku Hadza adalah tarian epeme yang diadakan pada malam tanpa Bulan. Dalam ritual itu, lelaki dan perempuan dikelompokkan terpisah. Para perempuan bernyanyi sementara para lelaki dengan memakai mahkota bulu dan gelang lonceng di kaki berjalan berkeliling dengan angkuhnya, sambil menghentakkan kaki kanan seirama nyanyian. Semestinya di malam epeme, para leluhur datang dari alam liar dan ikut menari. Satu malam ketika saya menyaksikan epeme, saya melihat lelaki muda Mataiyo diam-diam menghilang ke balik semak bersama seorang perempuan muda. Para lelaki lainnya tertidur setelah giliran menari. Seperti aspek lainnya dalam kehidupan suku Hadza, upacara tersebut tidak resmi, dengan kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk seberapa jauh berpartisipasi.
Karena Tuhan suku Hadza belum akan terbit dalam beberapa jam ke depan, Giga memegang kaki belakang babun dan menyeret bangkai tersebut sepanjang kawasan liar hingga kembali ke perkemahan. Monyet itu lalu ditaruh di dekat api yang dibuat Onwas, sementara Giga duduk diam bersama beberapa lelaki lainnya. Adat suku Hadza melarang pemburu yang berhasil membunuh buruan untuk menyombongkan diri. Ada kepercayaan bahwa keberuntungan memegang peranan penting dalam berburu, bahkan pemanah terbaik pun bisa saja mengalami kesialan. Karena itulah suku Hadza membagi hasil buruan kepada anggota-kelompok lainnya.
Mille, istri Onwas, adalah yang pertama terbangun. Dia mengenakan satu-satunya pakaiannya, kaus tanpa lengan dan kain berpola bunga yang membungkus tubuhnya seperti toga. Dia melihat babun tersebut dan dengan wajah riang yang ditandai anggukan singkat, Mille menambah kayu bakar ke api unggun. Waktunya memasak. Anggota perkemahan lainnya segera akan bangun—semua orang kelaparan—dan Ngaola menguliti babun tersebut dan menggantung kulitnya menggunakan ranting-ranting tajam. Kulit binatang itu akan kering dalam beberapa hari dan bisa menjadi alas tidur yang nyaman. Beberapa lelaki memotong-motong daging babun dan membagi-bagikannya. Onwas sebagai kepala perkemahan mendapat bagian terlezat, kepala babun. !break!
Gaya memasak suku Hadza sederhana saja. Daging diletakkan langsung di atas api. Tidak ada pemanggang, tidak ada panci. Waktu makan bagi suku Hadza bukanlah merupakaan saat untuk bersopan santun. Ruang pribadi secara umum tidak dikenal; Tidak soal sekeliling api unggun penuh sesak, selalu ada ruang bagi yang ingin bergabung. Bahkan dengan berpangku-pangkuan. Begitu potongan daging selesai dimasak, siapapun bebas mencomot.
Itulah yang terjadi. Ketika daging masak, pisau-pisau dikeluarkan dari sarungnya dan kekacauan dimulai. Ada tangan yang mengambil daging, memotong, menarik, dan suara kunyahan. Cara makan suku Hadza adalah menggigit daging dengan gigimu, lalu gunakan pisau untuk memotong bagianmu. Sikut-menyikut dan dorong-mendorong merupakan hal yang biasa. Tulang dipukul dengan batu dan sumsumnya dihisap. Lemak daging dioleskan ke kulit dan digunakan sebagai pelembap. Tidak ada yang berbicara, tetapi suara kunyahan dan decakan terdengar jenaka.
Saya kelaparan. Segera saya menceburkan diri ke tengah kerumunan dan mencomot daging. Menurut saya, rasa steik daging babun ini tidak buruk. Sedikit alot. Namun karena sudah berhari-hari tidak mengkonsumsi protein, dalam setiap gigitan saya merasakan tubuh saya bersemangat. Bukan daging melainkan lemak murni yang paling didambakan suku Hadza. Meski bagian yang paling banyak diperebutkan adalah daging bagian kaki. Saya mengambil sepotong dan langsung memasukkannya ke mulut. Rasanya seperti mengunyah karet penghapus. Ketika saya memuntahkan daging itu, seorang anak kecil segera mengambil dan memakannya.
Sambil memegang kepala babun, Onwas duduk dengan tenang di luar kerumunan. Dia duduk bersila dan memakan daging pipi, bola mata, daging leher, dan kulit dahi babun dengan menggunakan sandalnya sebagai talenan. Dia menggerogoti tengkorak sampai bersih dan melemparkannya ke tengah api unggun lalu memanggil saya dan beberapa pemburu untuk bergabung merokok.!break!
Sulit untuk mengatakan seberapa besar kesukaan Onwas dan sebagian besar suku Hadza terhadap rokok. Empat hal yang diinginkan setiap lelaki Hadza adalah sebuah busur, beberapa anak panah, sebuah pisau dan pipa rokok yang dibuat dari batu lunak yang berongga. Bahan racikan rokok yang terdiri dari daun tembakau atau ganja didapat dari hasil menukar madu dengan suku lain. Biasanya Datoga. Onwas memiliki sebongkah kecil daun tembakau yang digulung menjadi bola dan disimpan dalam kantung bajunya. Dia mengambil semuanya dan memasukkannya ke dalam pipa, kemudian sambil memegang pipa tegak lurus, dia mengambil sebatang bara api dan menyulut rokoknya. Sambil mengembang-kempiskan pipinya, Onwas menghisap asapnya sebanyak yang ia bisa. Kemudian ia memberikan pipa tersebut ke Giga.
Bagian yang lucu dimulai. Onwas terbatuk, awalnya pelan, kemudian semakin cepat dan disertai cucuran air mata. Ia berusaha menghapus air mata dengan telapak tangan, dan akhirnya, sambil berguling ia meludah dan berusaha menghirup udara segar. Sementara itu Giga telah mulai terbatuk seperti Onwas dan memberikan pipa kepada Maduru yang lalu meneruskannya kepada saya. Tidak beberapa lama, kami semua telah terbatuk-batuk dengan parahnya sambil menangis dan berguling. Sesi merokok berakhir bila orang terakhir telah duduk sambil menyeringai dan membersihkan kotoran dari rambutnya.
Dengan tengkorak babun yang masih di dalam api, Onwas berdiri dan menepuk tanganya. Ia mulai bercerita tentang kisah perburuan jerapah, kisah yang paling disukai Onwas. Saya dapat mengerti jalan ceritanya meski penterjemah saya, Mariamu tidak duduk di sebelah saya. Saya tahu sebab Onwas, seperti banyak orang Hadza lainnya adalah pendongeng yang baik. Tidak ada televisi, papan permainan, atau buku di perkemahan Onwas. Namun ada hiburan. Para perempuan menyenandungkan lagu dan kaum lelaki menceritakan kisah api unggun, seperti pertunjukan Kabuki di alam liar Afrika.
Onwas memanjangkan lehernya dan merangkak berkeliling ketika memerankan jerapah. Ia melompat, menunduk dan berpura-pura melepaskan panah dengan busur ketika memerankan dirinya dalam perburuan. Suara anak panah melesat. Suara binatang meraung. Anak-anak kecil berlari mendekat ke api dan berdiri sambil menyimak, inilah sekolah mereka. Cerita berakhir dengan kematian jerapah, dan puncaknya, sebuah percakapan.“Apakah saya seorang lelaki?” tanya Onwas sambil menggenggam kedua tangannya.“Ya!” teriak mereka. “Kamu laki-laki.”“Apakah saya seorang lelaki?” tanya Onwas lagi dengan suara yang lebih lantang.“Ya!” teriak mereka dengan suara yang sama lantangnya. “Kamu adalah laki-laki!”!break!
Kemudian Onwas mengambil tengkorak dari api. Ia memotongnya seperti membelah kelapa hingga terlihat otak yang mendidih dengan sempurna. Otak tersebut terlihat seperti mie dengan warna putih kekuningan dan asap mengepul. Onwas memegangi tengkorak dan semua lelaki termasuk saya segera mendekat. Kami mencelupkan jemari kami ke dalam sup tengkorak dan menyendok segenggam otak kemudian meneguknya. Dengan ini, malam pun tiba dan cerita berakhir.
Perburuan babun sepertinya menjadi semacam inisiasi bagi saya. Keesokan harinya Nyudu memotong sebatang ranting tebal dari pohon Mutateko, kemudian dengan hati-hati membuatkan saya sebuah busur yang panjang dan terpahat indah. Beberapa lelaki lainnya membuatkan saya anak panah. Onwas menghadiahi saya sebatang pipa. Nkulu mengajari saya memanah. Lalu, saya mulai membawa-bawa busur serta anak panah dan pipa ke mana pun saya pergi (tak ketinggalan peralatan penyaring air, tabir surya, semprotan anti serangga, dan kain pembersih kacamata saya).
Saya juga diundang oleh para lelaki untuk mandi bersama. Kami berjalan menuju genangan dangkal yang berlumpur. Lebih mirip sebuah kubangan yang besar dengan kotoran sapi mengambang, kemudian kami membuka pakaian. Segenggam lumpur dioleskan ke kulit sebagai sabun dan kami memercikkan air ke badan sampai bersih. Meski suku Hadza punya kosa kata untuk bau badan, para lelaki mengatakan mereka lebih suka para perempuan mereka tidak mandi. Bagi para lelaki, semakin jarang wanita mandi, semakin menarik bau badan mereka. Nduku, guru bahasa saya, mengatakan bahwa ia terkadang tidak mandi beberapa bulan meski tidak mengerti kenapa suaminya memintanya begitu. Dari percakapan antara Mille dan Onwas, saya juga mengetahui bahwa bertengkar dengan pasangan atas sesuatu yang sepele mungkin merupakan sifat manusiawi yang universal. “Bukankah sekarang giliranmu mengambil air?” “Kenapa kamu bermalas-malasan, bukannya pergi berburu?” “Jelaskan kenapa daging hasil buruan kemarin dikuliti dengan buruk?” Pernyataan-pernyataan seperti itu ternyata juga ada dalam kehidupan suku ini selama ribuan tahun.
Beberapa hal dari suku Hadza membuat saya iri, terutama kebebasannya yang saya lihat. Bebas dari keinginan untuk memiliki. Bebas dari sebagian besar tugas sosial. Bebas dari aturan keagamaan. Bebas dari banyak tanggung jawab keluarga. Bebas dari jadwal, pekerjaan, atasan yang menuntut, tagihan, kemacetan lalu lintas, pajak, hukum, berita, dan uang. Bebas dari rasa cemas. Bebas untuk kentut dan bersendawa tanpa harus minta maaf, mengambil makanan dan merokok dan berlari bertelanjang dada melewati semak berduri.!break!
Namun saya tidak pernah dapat menjalani hidup seperti mereka. Seluruh hidup mereka bagi saya seperti sebuah tindakan gila. Hidup berkemah berpindah. Hidup yang sangat beresiko. Bantuan medis sangat jauh. Sekali jatuh dari pohon yang tinggi atau sekali digigit ular Mamba hitam berbisa atau sekali diterjang singa dapat membuat Anda mati. Wanita melahirkan di dalam semak hanya dengan berjongkok. Seperlima dari bayi yang dilahirkan meninggal di tahun pertama mereka dan hampir separuh anak tidak berhasil mencapai usia 15 tahun. Mereka harus menghadapi cuaca yang sangat panas dan seringkali kehausan. Mereka harus menghadapi serangan lalat tsetse dan nyamuk penyebar malaria.
Hari-hari saya tinggal bersama suku Hadza mengubah cara pandang saya terhadap dunia. Mereka menanamkan pada diri saya sesuatu yang saya sebut “efek Hadza”. Mereka membuat saya merasa lebih tenang, lebih menikmati waktu yang berjalan, lebih menghargai diri sendiri, sedikit lebih berani, dan tidak terlalu terburu-buru. Saya tidak peduli apakah ini terdengar sentimentil. Saat-saat yang saya lalui dengan suku Hadza membuat saya lebih bahagia. Hal ini membuat saya berharap ada suatu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa kejayaan para pemburu-peramu, meski saya sadar itu hampir-hampir terlambat.
Adalah tubuh saya, lebih dari apapun, yang memberi tahu bahwa sudah saatnya untuk pergi meninggalkan kawasan liar mereka. Saya digigit serangga, tergores duri dan kulit saya terbakar Matahari. Saya merasakan sakit perut serta kelelahan luar biasa. Setelah dua minggu tinggal bersama suku ini, saya memberi tahu mereka bahwa saya harus pergi.
Hanya ada sedikit tanggapan. Suku Hadza bukanlah masyarakat yang sentimentil. Mereka tidak berlama-lama mengucapkan selamat tinggal. Bahkan ketika salah seorang dari mereka meninggal, tidak banyak terjadi keributan. Mereka menggali lubang dan menaruh mayat di dalamnya. Satu generasi sebelumnya mereka bahkan tidak melakukan itu. Mereka hanya meninggalkan mayat di atas tanah untuk dimangsa dubuk. Hingga kini suku Hadza tidak memiliki nisan. Tidak ada acara pemakaman. Tidak ada acara keagamaan yang berkenaan dengan itu, acara apapun itu. Seorang yang baru meninggal mungkin merupakan salah satu orang yang sangat dekat dengan mereka semasa hidupnya. Namun mereka hanya menunjukkan rasa berduka dengan menabur beberapa ranting kering di atas makam. Lalu, mereka beranjak pergi.