Bagai Kukang dalam Sangkar

By , Rabu, 23 November 2011 | 12:08 WIB

Begitu melihat primata yang mungil ini, kita akan segera terpikat. Matanya bulat besar—jenaka dan terkesan malu-malu (karena itu ia kerap disebut pula “malu-malu”). Gerakannya lambat (karena itu ia disebut slow loris dalam Bahasa Inggris) dan seolah-olah jinak, mengundang kita untuk membelai dan menggendong. Bentuk dan ukuran tubuhnya membuat kita dengan mudah membayangkan satwa ini sebagai boneka.!break!

Kesemua daya pikat itu mengantarkan kukang, satwa dalam genus Nycticebus, sebagai salah satu primata yang paling banyak dipeli­hara oleh manusia. Bagaimanapun, hal tersebut tidak cocok dengan fakta ini: kukang adalah satwa yang dilindungi oleh kesepakatan inter­nasional dan undang-undang serta peraturan pemerintah. Tidak boleh diambil dari alam, dipelihara, atau diperdagangkan—kecuali dengan izin khusus. Bahkan berdasarkan perilaku alamiahnya, kukang memang tidak cocok un­tuk dipelihara. Tidak seperti kucing atau anjing yang memiliki karakter atau perilaku yang cocok sebagai hewan peliharaan.

Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wirdateti, kukang tergolong primata yang paling sulit beradaptasi di luar habitatnya. Di alam bebas, rentang hidup kukang antara 15-20 tahun. Namun, jika ia berada dalam pemeliharaan manusia, bisa hidup selama lima tahun sudah sangat luar biasa. Biasanya jauh di bawah usia itu. “Kukang juga sangat sulit berkembang biak karena monogami,” ucapnya. Kukang hanya sekali melahirkan dalam setahun, dengan masa bunting sekitar enam bulan, biasanya satu anak saja. Kalau produktif, induk kukang bisa dua kali melahirkan dalam kurun waktu tiga tahun, namun dapat dikatakan jarang terjadi.

Hal lain yang membuat kukang tak cocok dipelihara adalah fakta bahwa ia nokturnal—beraktivitas pada malam hari. Sedangkan pada siang hari ia menggulung tubuh, meletakkan kepalanya di antara kedua kaki dan berlindung di balik dedaunan untuk tidur. Ia juga tergolong satwa arboreal yang hidup di pepohonan dan bukan di permukaan tanah.

Beberapa tahun lalu, peneliti Jarot Arisona bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Penge­tahuan Alam Universitas Indonesia melakukan penelitian. Salah satu hasilnya: kukang paling sering bergerak pada ranting atau cabang po­hon yang berdiameter 5-10 sentimeter—sesuai ukuran genggam jari-jari tangan dan kakinya. Ini semakin menguatkan pengetahuan kita bahwa kukang lebih suka berada di pepohonan bagian atas.

Sebagai satwa omnivora, setengah diet alami kukang adalah serangga dan hewan-hewan kecil seperti kadal, burung, dan telur burung. Setengah menu lainnya terdiri dari nektar, getah, pelepah pohon, buah-buahan, serta dedaunan. Jenis-jenis makanan itu membentuk komposisi gizi yang seimbang bagi kukang, membuat metabolismenya berjalan baik. Komposisi tersebut hanya bisa dipenuhinya di alam bebas, bukan di dalam kandang. Dalam pemeliharaan manusia, makanan yang diberikan kepada kukang hampir selalu pisang karena ia dianggap tak ubahnya monyet. Kalaupun ada variasi, biasanya madu dan susu yang membuatnya semakin rentan terhadap diabetes menurut sejumlah ahli. Selain itu, kukang tergolong sangat rentan stres yang menyebabkan kekebalan tubuhnya menurun dan mudah mati.

Selama beberapa hari dan malam menelusuri tepian hutan tak jauh dari Kampung Cihuni Dusun Cipunareun, Desa Sukajaya, Sumedang, saya mulai memahami bagaimana satwa nokturnal ini berperilaku. Pada malam hari, dengan bantuan cahaya senter ke arah pepohonan, sesekali kita akan berhasil melihat dua bola mata terkena pantulan cahaya, menyala di antara kegelapan dan rimbunnya dedaunan. Se­­bentar tampak, sebentar menghilang, lalu tam­­pak lagi di arah berbeda. Kukangnya bergerak terus. Memanjat, berhenti lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, bergelantungan meng­­gunakan kedua kaki belakang, atau berjalan dengan keempat kaki sekaligus. Mungkin ia sedang mencari serangga atau nektar.

Lain halnya pada siang hari. Bagi saya, ber­jam-jam bahkan sampai seharian menelusuri jalan setapak di tepi hutan, mengamati pepo­honan bambu dengan saksama, sampai mata terpicing-picing, hasilnya hanyalah pegal-pegal di leher. Walaupun kita berniat mencari ke­beradaannya, satwa ini hampir mustahil terli­hat oleh mata biasa. Hanya berkat pertolongan seorang pemandu cekatan dan berpengala­man, Ade Sopyan, maka saya berhasil melihat beberapa ekor kukang yang sedang meringkuk tidur jauh dalam kerimbunan pohon bambu. Keberhasilan saya itu pun selalu diawali dengan komunikasi yang berulang-ulang dengan Ade:

“Mana, Pak?” “Itu ‘kan ada.” Tangannya menunjuk-nunjuk. “Mana sih?” “Itu, lho. Di balik dahan yang itu. Lihat ‘kan?”“Yang mana, ya?”

Rekan seperjalanan saya yang berpengala­man terlibat dalam sejumlah penelitian ku­kang, Wawan Tarniwan, adalah orang yang memperkenalkan Ade Sopyan. Jaminan yang disebutkan Wawan sebelum menuju Sumedang adalah, bersama Ade, “Pasti kita akan ber­hasil menemukan kukang di habitat alaminya, malam maupun siang.” Dalam beberapa penelitian kukang yang pernah melibatkan Wawan, Ade banyak sekali membantu. Namun, pada mulanya saya tidak ingin menyebutkan nama Ade di sini karena khawatir nanti orang akan datang kepadanya untuk memesan kukang. Alasannya: ia seorang mantan pemburu.

“Itu masa lalu,” katanya menepis kekha­watiran saya. Lelaki berumur 40-an tahun ini mengatakannya dengan nada kocak, ditingkahi tawa kecil, pada suatu sore ketika kami duduk beristirahat di sebuah punggungan bukit setelah suatu sesi pencarian kukang. Sambil menikmati pemandangan berupa rumah-rumah yang kecil dan tampak seperti mainan di kota Sumedang serta persawahan hijau di bawah sana, Ade mengatakan bahwa saya tak perlu khawatir.

“Saya sudah insaf. Lebih baik membantu peneliti,” katanya seraya menoleh ke Wawan. “Seperti tempo hari kita pergi ke mana itu ya, Wan? Banyak kukangnya. Untung saya sudah tobat. Kalau belum, bisa habis kukang di kawasan itu.” Kami bertiga tertawa bersama, menggema dipantulkan lembah di bawah sana.

Dari ayah seorang anak ini saya mengetahui bahwa pada saat ia aktif beberapa tahun lalu, seorang pemburu hanya mendapatkan tujuh ribu rupiah per ekor. Menurutnya, “Waktu itu rasanya sudah lumayan bagi orang desa. Apalagi bukanlah pekerjaan utama. Meskipun hanya sambilan, kalau beruntung, dalam seminggu bisa menangkap beberapa ekor.”