Bagai Kukang dalam Sangkar

By , Rabu, 23 November 2011 | 12:08 WIB

Begitu melihat primata yang mungil ini, kita akan segera terpikat. Matanya bulat besar—jenaka dan terkesan malu-malu (karena itu ia kerap disebut pula “malu-malu”). Gerakannya lambat (karena itu ia disebut slow loris dalam Bahasa Inggris) dan seolah-olah jinak, mengundang kita untuk membelai dan menggendong. Bentuk dan ukuran tubuhnya membuat kita dengan mudah membayangkan satwa ini sebagai boneka.!break!

Kesemua daya pikat itu mengantarkan kukang, satwa dalam genus Nycticebus, sebagai salah satu primata yang paling banyak dipeli­hara oleh manusia. Bagaimanapun, hal tersebut tidak cocok dengan fakta ini: kukang adalah satwa yang dilindungi oleh kesepakatan inter­nasional dan undang-undang serta peraturan pemerintah. Tidak boleh diambil dari alam, dipelihara, atau diperdagangkan—kecuali dengan izin khusus. Bahkan berdasarkan perilaku alamiahnya, kukang memang tidak cocok un­tuk dipelihara. Tidak seperti kucing atau anjing yang memiliki karakter atau perilaku yang cocok sebagai hewan peliharaan.

Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wirdateti, kukang tergolong primata yang paling sulit beradaptasi di luar habitatnya. Di alam bebas, rentang hidup kukang antara 15-20 tahun. Namun, jika ia berada dalam pemeliharaan manusia, bisa hidup selama lima tahun sudah sangat luar biasa. Biasanya jauh di bawah usia itu. “Kukang juga sangat sulit berkembang biak karena monogami,” ucapnya. Kukang hanya sekali melahirkan dalam setahun, dengan masa bunting sekitar enam bulan, biasanya satu anak saja. Kalau produktif, induk kukang bisa dua kali melahirkan dalam kurun waktu tiga tahun, namun dapat dikatakan jarang terjadi.

Hal lain yang membuat kukang tak cocok dipelihara adalah fakta bahwa ia nokturnal—beraktivitas pada malam hari. Sedangkan pada siang hari ia menggulung tubuh, meletakkan kepalanya di antara kedua kaki dan berlindung di balik dedaunan untuk tidur. Ia juga tergolong satwa arboreal yang hidup di pepohonan dan bukan di permukaan tanah.

Beberapa tahun lalu, peneliti Jarot Arisona bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Penge­tahuan Alam Universitas Indonesia melakukan penelitian. Salah satu hasilnya: kukang paling sering bergerak pada ranting atau cabang po­hon yang berdiameter 5-10 sentimeter—sesuai ukuran genggam jari-jari tangan dan kakinya. Ini semakin menguatkan pengetahuan kita bahwa kukang lebih suka berada di pepohonan bagian atas.

Sebagai satwa omnivora, setengah diet alami kukang adalah serangga dan hewan-hewan kecil seperti kadal, burung, dan telur burung. Setengah menu lainnya terdiri dari nektar, getah, pelepah pohon, buah-buahan, serta dedaunan. Jenis-jenis makanan itu membentuk komposisi gizi yang seimbang bagi kukang, membuat metabolismenya berjalan baik. Komposisi tersebut hanya bisa dipenuhinya di alam bebas, bukan di dalam kandang. Dalam pemeliharaan manusia, makanan yang diberikan kepada kukang hampir selalu pisang karena ia dianggap tak ubahnya monyet. Kalaupun ada variasi, biasanya madu dan susu yang membuatnya semakin rentan terhadap diabetes menurut sejumlah ahli. Selain itu, kukang tergolong sangat rentan stres yang menyebabkan kekebalan tubuhnya menurun dan mudah mati.

Selama beberapa hari dan malam menelusuri tepian hutan tak jauh dari Kampung Cihuni Dusun Cipunareun, Desa Sukajaya, Sumedang, saya mulai memahami bagaimana satwa nokturnal ini berperilaku. Pada malam hari, dengan bantuan cahaya senter ke arah pepohonan, sesekali kita akan berhasil melihat dua bola mata terkena pantulan cahaya, menyala di antara kegelapan dan rimbunnya dedaunan. Se­­bentar tampak, sebentar menghilang, lalu tam­­pak lagi di arah berbeda. Kukangnya bergerak terus. Memanjat, berhenti lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, bergelantungan meng­­gunakan kedua kaki belakang, atau berjalan dengan keempat kaki sekaligus. Mungkin ia sedang mencari serangga atau nektar.

Lain halnya pada siang hari. Bagi saya, ber­jam-jam bahkan sampai seharian menelusuri jalan setapak di tepi hutan, mengamati pepo­honan bambu dengan saksama, sampai mata terpicing-picing, hasilnya hanyalah pegal-pegal di leher. Walaupun kita berniat mencari ke­beradaannya, satwa ini hampir mustahil terli­hat oleh mata biasa. Hanya berkat pertolongan seorang pemandu cekatan dan berpengala­man, Ade Sopyan, maka saya berhasil melihat beberapa ekor kukang yang sedang meringkuk tidur jauh dalam kerimbunan pohon bambu. Keberhasilan saya itu pun selalu diawali dengan komunikasi yang berulang-ulang dengan Ade:

“Mana, Pak?” “Itu ‘kan ada.” Tangannya menunjuk-nunjuk. “Mana sih?” “Itu, lho. Di balik dahan yang itu. Lihat ‘kan?”“Yang mana, ya?”

Rekan seperjalanan saya yang berpengala­man terlibat dalam sejumlah penelitian ku­kang, Wawan Tarniwan, adalah orang yang memperkenalkan Ade Sopyan. Jaminan yang disebutkan Wawan sebelum menuju Sumedang adalah, bersama Ade, “Pasti kita akan ber­hasil menemukan kukang di habitat alaminya, malam maupun siang.” Dalam beberapa penelitian kukang yang pernah melibatkan Wawan, Ade banyak sekali membantu. Namun, pada mulanya saya tidak ingin menyebutkan nama Ade di sini karena khawatir nanti orang akan datang kepadanya untuk memesan kukang. Alasannya: ia seorang mantan pemburu.

“Itu masa lalu,” katanya menepis kekha­watiran saya. Lelaki berumur 40-an tahun ini mengatakannya dengan nada kocak, ditingkahi tawa kecil, pada suatu sore ketika kami duduk beristirahat di sebuah punggungan bukit setelah suatu sesi pencarian kukang. Sambil menikmati pemandangan berupa rumah-rumah yang kecil dan tampak seperti mainan di kota Sumedang serta persawahan hijau di bawah sana, Ade mengatakan bahwa saya tak perlu khawatir.

“Saya sudah insaf. Lebih baik membantu peneliti,” katanya seraya menoleh ke Wawan. “Seperti tempo hari kita pergi ke mana itu ya, Wan? Banyak kukangnya. Untung saya sudah tobat. Kalau belum, bisa habis kukang di kawasan itu.” Kami bertiga tertawa bersama, menggema dipantulkan lembah di bawah sana.

Dari ayah seorang anak ini saya mengetahui bahwa pada saat ia aktif beberapa tahun lalu, seorang pemburu hanya mendapatkan tujuh ribu rupiah per ekor. Menurutnya, “Waktu itu rasanya sudah lumayan bagi orang desa. Apalagi bukanlah pekerjaan utama. Meskipun hanya sambilan, kalau beruntung, dalam seminggu bisa menangkap beberapa ekor.”

Kukang yang beberapa kali ditemukan Ade Sopyan selama penelusuran kami di Sumedang adalah spesies kukang Jawa (Nycticebus javanicus)—satu dari tiga spesies kukang yang terdapat di Indonesia, dari total lima spesies di dunia yang diidentifikasi oleh para ahli sampai tahun 2006. Kala empat spesies lainnya berada dalam status rentan terhadap kepunahan, kukang Jawa lebih buruk: berstatus terancam.

Pada masa lalu, para ahli menduga ancaman terbesar terhadap populasi kukang adalah hilangnya habitat. Namun, hasil penelitian Indah Winarti saat melakukan studinya di Primatologi Institut Pertanian Bogor menjelaskan fakta lain. Indah melakukan penelitiannya di Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Sumedang pada hutan-hutan perkebunan di luar wilayah konservasi.

Dari sana diketahui bahwa hutan-hutan kebun yang relatif dekat permukiman penduduk—dan bukan kawasan konservasi—juga merupakan habitat penting bagi kukang Jawa. “Barangkali karena terdapat banyak serangga di hutan kebun yang wilayahnya relatif terbuka dan banyak terkena sinar matahari,” jelas Indah. “Sedangkan pada wilayah konservasi umumnya tutupan hutan lebih rapat, dan mungkin lebih sedikit terdapat serangga. Akan tetapi, hal ini baru dugaan yang memerlukan penelitian lebih lanjut.”

Banyaknya kukang ditemukan di hutan-hutan kebun dapat menjadi salah satu faktor  ancaman, karena satwa ini berada dekat dengan permukiman manusia. Dibanding hilangnya habitat, pada satu-dua dekade belakangan ini memang muncul ancaman lain yang jauh lebih besar bagi kukang: perdagangan satwa—baik sebagai peliharaan maupun terkait dengan mitos pengobatan tradisional.

Bahkan menurut Wildlife Crimes Unit (WCU), organisasi yang memonitor dan memerangi perdagangan satwa, di Indonesia kukang merupakan primata yang paling sering diperdagangkan—hanya dikalahkan oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Akan tetapi ada catatan khusus. Monyet ekor panjang bukanlah satwa dilindungi. Otomatis, kukang naik ke peringkat pertama sebagai primata dengan status dilindungi yang paling sering diperdagangkan.

Pada suatu siang yang terik di kawasan Jatinegara, saya menyaksikan bagaimana kukang diperdagangkan dengan bebas bersama sejum­lah satwa lain yang sebagian di antaranya juga berstatus dilindungi. Setidaknya delapan ekor kukang dipajang oleh dua pedagang yang saya amati (saya hanya mendekati dua lapak yang lokasinya terpisah dari lainnya).

Kesemua primata itu terlihat menggulung diri, menyembunyikan muka dalam kandang-kandang dari kawat. Mereka berusaha tidur. Salah seekor di antaranya bahkan seolah-olah mati, tidak bergerak meskipun ada orang yang menyentuh-nyentuh tubuhnya dengan jari telunjuk. Barulah ketika kandang kecilnya diangkat, si kukang bangun, meregangkan kedua tangan dan kaki dan berusaha mundur ke sudut kandang. Kukang-kukang malang itu dipajang di sebuah trotoar di depan pertokoan yang ramai oleh hilir-mudik orang. Persis di tepi jalan raya yang hampir selalu padat atau bahkan macet. Para pedagang di sana tidak be­gitu suka dagangannya difoto.

“Nanti saya lagi yang kena,” kata seseorang kepada saya. Lainnya langsung mengibaskan tangan dengan ketus, sambil memalingkan wajah ke arah lain, ketika saya menyebut kata “foto”.

Popularitas kukang sebagai satwa peliharaan sendiri tetap menjulang selama beberapa ta­hun belakangan. Sebagai gambaran, sebelum mengerjakan laporan ini, saya melihat beberapa video tentang kukang di dalam rumah, yang di­unggah orang di salah satu situs Internet tempat berbagi video. Video-video itu muncul dari ha­sil pencarian dengan kata kunci “kukang” atau “slow loris”.

Pada salah satu video tampak seekor kukang diletakkan dalam pangkuan majikan yang mengelitiki kedua rusuknya. Si kukang dalam posisi mengangkat kedua tangan, seolah-olah menikmati. Kemudian, pada salah satu situs lain yang merupakan forum diskusi berbahasa Indonesia, topik mengenai kukang berlangsung  hingga ratusan halaman pada kategori my pets (peliharaanku). Di sana para “penyayang” dan pemelihara kuka ng saling bertanya dan berbagi pengalaman memelihara kukang: mulai dari makanan, kesehatan, sampai jual-beli.

Dengan kata kunci yang sama di Twitter, sesekali kita juga akan menemukan tweet mengenai kukang dari para pemelihara. Di antara sejumlah orang yang berkomunikasi di forum Internet, ada yang mengingatkan bahwa kukang berstatus dilindungi. Tetapi ada lainnya yang mengatakan, “Lebih baik dipelihara, bisa sampai beranak, daripada punah.”

Saya menghubungi delapan pemilik kukang, meminta izin untuk memotret mereka bersama kukang peliharaan. Hasilnya: dua orang tidak pernah menjawab, empat orang menyatakan kukangnya sudah mati atau diberikan ke orang lain. Dua orang lainnya bersedia, namun beberapa hari kemudian berubah pikiran. Salah seorang di antara yang membatalkan ini tiba-tiba meyakini bahwa peliharaannya adalah kuskus. Padahal, saya pernah memintanya mengirimkan foto peliharaannya melalui email, yang benar adalah kukang. !break!

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa siapa pun yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memeli­hara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup akan di­pidana penjara maksimal lima tahun dan denda seratus juta rupiah. Selain oleh UU tersebut, kukang juga dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999. Akan tetapi, yang dicantumkan dalam lampiran PP tersebut pada saat itu barulah Nycticebus coucang sementara perkem­bangan taksonomi telah mengidentifikasi total tiga spesies di wilayah Indonesia. Hal inilah yang dikeluhkan para pelestari. Seharusnya dilakukan revisi daftar spesies terkait peraturan dan perun­dang-undangan. Tampak melalui se­jumlah pemberitaan, kalaupun ada pedagang diproses hukum, hukumannya sangat ringan. Kebanyakan hanya satwanya yang disita. Apabila pedagang besar menyewa pengacara, ia bisa bebas kalau yang dijualnya bukanlah Nycticebus coucang.

Dwi Nugroho Adhiasto dari WCU memberi­kan informasi mengenai hasil pemantauannya kepada saya. Selama bertahun-tahun organisasi tersebut melakukan pengamatan di sejumlah pasar satwa—antara lain pasar Jatinegara dan pasar burung Pramuka di Jakarta, pasar Bratang Surabaya, dan pasar burung Yogyakarta. Hasil­nya: volume perdagangan kukang stabil.

Dwi bercerita, setiap hari di pasar Jatinegara tampak 10-20 ekor kukang dijual pada hari kerja. Sementara pada akhir pekan, jumlahnya meningkat, antara 30-40 ekor. Jika hanya menghitung enam kali pengamatan terakhir yang dilakukan dua hari sekali, tampak kukang yang dipajang rata-rata 36 ekor. Jumlah mini­mal yang tampak pada satu hari adalah 21 ekor, sedangkan terbanyak 60 ekor. “Itu tentu  belum termasuk yang disimpan dalam gudang penyimpanan,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa penjualan di pasar Jatinegara merupakan yang paling terbuka—persis seperti saya sak­sikan. Rekor dalam catatan Dwi dan teman-temannya: pada suatu hari, sembilan ekor kukang terjual hanya dalam setengah jam.

Di pasar burung Pramuka, dalam sebulan 150 ekor kukang dipajang, namun jumlah yang terjual tak tercatat. Di pasar Bratang Surabaya 20-30 ekor kukang dipajang dalam satu minggu. Catatan tertinggi di Bratang: sampai 15 ekor terjual dalam sehari pada akhir pekan.

Menurut Dwi, dewasa ini pemburu men­­dapatkan antara 30-50 ribu rupiah per ekor ku­kang (sudah jauh lebih banyak dibanding saat Ade Sopyan aktif). Ketika tiba di Jakarta, harga kukang di kalangan sesama pedagang antara 75-100 ribu rupiah. Ketika sampai ke tangan pembeli, harga sudah di atas itu namun berva­riasi—tergantung profil pembeli.

“Biasanya  300-400 ribu rupiah, namun bisa mencapai dua kali lipat dari itu apabila calon pembeli terkesan banyak uang,” jelas Dwi. “Le­­­bih mahal lagi jika yang dibeli adalah kukang yang bersama anakan.” Masih menurut Dwi,  penyitaan oleh petugas belum menimbulkan efek jera. Sebabnya, yang digerebek hanyalah pedagang, bukannya pemain-pemain besar atau tokoh-tokoh perdagangannya.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang apa saja yang dialami kukang akibat menjadi kor­­ban pemeliharaan manusia, pada kesempatan lain saya mengarah ke Ciapus, kaki Gunung Salak. Di sana terletak kantor International Animal Rescue (IAR), organisasi yang meng­urusi kesejahteraan satwa. Mereka melakukan rehabilitasi terhadap satwa-satwa yang tadinya diperdagangkan atau dipelihara orang, seraya melakukan berbagai upaya penyadartahuan. Mereka juga melakukan persiapan secara fisik maupun perilaku, agar satwa-satwa yang masih baik kondisinya bisa siap untuk dilepasliarkan kembali ke alam.

Ruangan kantor itu berhasil menghangatkan saya dari udara sore di pegunungan yang sejuk dan semakin sejuk karena hujan deras turun. Saya diajak masuk ke dalam kamar medis un­tuk satwa. Tak lama, seekor kukang juga dibawa masuk untuk diperiksa kesehatannya. Lalu ia perlu diberi suntikan.

Pada saat itulah tampak suatu perilaku yang mengundang rasa sayang. Begitu jarum suntik dari dokter hewan menembus kulitnya di dekat pangkal paha, si kukang seketika berteriak de­­ngan suara kecil yang melengking dan bergetar, “Aaaaaa!” Ia mengangkat kedua lengan, membentuk tanda silang menutupi mukanya. Mirip manusia.

“Perilaku seperti itu biasa dilakukan kukang untuk melindungi diri,” jelas Sharmini Julita Paramasivam, dokter hewan. Dengan posisi tersebut, kukang sebenarnya menyiapkan ra­cun, ya, racun, yang diproduksi oleh kelenjar siku bagian dalam. Racun itu tidak berbahaya bagi manusia yang menyentuh. Lain halnya apabila kukang menjilat racun tersebut lalu memasukkannya ke balik kulit manusia me­lalui gigitan dengan taringnya. Sakit sudah pasti. Lebih daripada itu juga dapat menye­babkan bengkak dan demam. Pada manusia yang menderita alergi atau kulitnya sensitif, racun kukang bahkan dapat menyebabkan syok anafilatik (syok akibat reaksi alergi tubuh terha­dap benda asing, berupa kumpulan gejala yang timbul dengan cepat).

“Tak ada primata lain yang memiliki racun seperti kukang,” kata Sharmini sambil menyeka bulu-bulu pasiennya. Namun, lanjut perempuan muda berdarah India ini lagi, “Secara ilmiah be­lum jelas apakah cairan tersebut venom seperti yang biasa terdapat pada bisa ular atau poison seperti pada katak beracun. Jadi untuk semen­tara kita sebut saja toksin. Racun.”

Walaupun memiliki pertahanan diri secara alamiah, kukang tidaklah berdaya menghadapi manusia. Kondisi kukang yang diserahkan ke organisasi ini hampir semuanya menyedih­kan—akibat perdagangan dan pemeliharaan. Sharmini kemudian berkata, “Perhatikan baik-baik, gigi-giginya tidak sempurna lagi karena sudah dipotong.”

Sharmini bercerita, para pedagang yang melakukannya sebelum menawarkan kukang  kepada calon pembeli. Mungkin maksudnya memotong taring saja, agar calon pembeli tak takut digigit. Namun, pada praktiknya, banyak gigi lain ikut terpotong karena alat yang digu­nakan bisa apa saja seperti misalnya pemotong kuku manusia. “Gigi-gigi kukang berukuran sangat kecil, sehingga permukaan dari alat pemotong kuku tidak saja memotong bagian taring tetapi juga gigi-gigi lainnya sampai ke bagian dalam,” jelas Sharmini.

Tanpa taring, hidup seekor kukang tak akan sama lagi. Ia kehilangan salah satu alat pertahanan diri sekaligus alat untuk makan. Itu belum seberapa. Sudah terlalu sering ditemukan, serpihan gigi hasil pemotongan yang serampangan itu tertinggal dalam kulit mulut bagian dalam, menancap, dan segera menimbulkan infeksi.

Saat kukang berada di tangan pedagang, bentuk penyiksaan bukan hanya pemotongan gigi. Saya mendapatkan cerita berikut ini dari banyak orang dan tempatnya bukan lagi di pasar melainkan di tepi jalan raya. Di beberapa ruas jalan Jakarta terkadang muncul pedagang perseorangan yang menawarkan kukang kepada para pengendara. Waktunya selalu pada siang atau sore hari ketika kukang seharusnya tidur.

Si pedagang berdiri di tepi jalan sambil mengacungkan sebatang kayu. Di batang itu berge­layut seekor kukang yang kebingungan. Apalagi ketika sesekali si pedagang sengaja memutar-mutarkan batang kayu itu beserta kukang di atasnya. “Perilaku alami kukang adalah men­ceng­keramkan jari-jari kedua tangannya ketika merasa terancam,” jelas Sharmini. “Karena itulah, dalam keadaan pusing, mengantuk, ke­hilangan keseimbangan, ia seolah ingin meme­gangi lengan manusia. Kesannya, kukang itu jinak dan minta disayang.”

Bagi pedagang, kukang adalah alternatif mendapatkan uang dalam jumlah lumayan (bagi pedagang kecil mungkin sangat membantu pemenuhan kebutuhan dasar). Bagi orang-orang yang memelihara di rumah, kukang adalah sumber kesenangan dan hiburan. Namun, saya tertarik pada apa yang dikatakan oleh orang seperti Karmele Sanchez terkait de­ngan kedua hal ini.

Perempuan muda berdarah Spanyol ini datang ke Indonesia pada 2003 sebagai seorang dokter hewan sukarelawan pada beberapa kantor pusat penyelamatan satwa. Sejak itulah ia melihat betapa kukang Jawa kurang mendapat perhatian walaupun masuk ke dalam daftar 25 spesies primata paling terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature). Kukang tidak begitu banyak mendapat sorotan seperti halnya orangutan, misalnya.

“Kita harus melakukan sesuatu. Mungkin kita adalah generasi terakhir yang memiliki kekuatan di tangan,” ucapnya. Kini Karmele adalah direktur IAR di Indonesia.Ia melanjutkan dengan berapi-api, “Ang­gaplah kita tidak begitu peduli terhadap konservasi. Namun, apakah kita tidak merasa bersalah karena menjual atau memelihara kukang yang kemungkinan besar akan mati dalam pemeliharaan? Bukankah kukang tidak berguna secara langsung seperti halnya sapi yang disembelih untuk dimakan?”

Karmele tiba-tiba menjadi agak sengit keti­ka saya mulai menanyakan fungsi dan peran kukang secara ekologis. Tampak sedikit emo­sional, ia menegaskan, “Satwa apapun pasti memiliki fungsi secara ekologis. Sayang penelitiannya belum begitu banyak. Kenapa kita di Indonesia selalu mempertanyakan fungsi suatu jenis satwa secara ekologis? Apakah fungsi manusia memangnya?”

Setelah agak tenang kembali, Karmele melanjutkan, “Oke, kukang bisa membantu menyebarkan serbuk sari. Bisa juga membantu mengontrol populasi serangga.” Dalam keyakinan orang seperti dia, keseimbangan di alam sangatlah penting karena pada akhirnya, melalui proses dan mata rantai yang panjang dan rumit, juga akan menentukan kelangsungan hidup manusia.

Di tengah segala kekurangan terkait penegakan hukum di negeri ini, para pelestari menyadari ada yang bisa terus mereka lakukan: penyadar­tahuan, penyadartahuan, lalu penyadartahuan lagi. Ketika semakin banyak orang tahu bahwa kukang adalah satwa yang dilindungi, lebih baik dibiarkan hidup di alam, keputusan yang akan diambil oleh masyarakat tidak lagi didasari oleh ketidaktahuan.

Ketika semakin banyak orang tahu ada pili­han yang lebih baik, kita bisa berharap keputusan yang akan diambil adalah keputusan yang baik. Namun, menurut Karmele, masyara­kat melihat ironi. Mereka diberi tahu kukang adalah satwa dilindungi, dan di saat bersamaan  tetap melihat bahwa primata itu bebas diperdagangkan di pasar-pasar dan di tepian jalan. Di Bandung bahkan di depan sebuah pusat perbelanjaan modern.

Stabilnya perdagangan kukang menurut Karmele bukanlah lantaran faktor permintaan yang tinggi. Melainkan, katanya, “Karena di banyak tempat selalu ada kukang dijual. Orang-orang yang datang atau lewat banyak yang merasa kasihan melihat kukang dalam kandang lalu memutuskan untuk membeli.”  

Ketika satu ekor kukang dibeli, penjual akan mencari satu ekor lagi untuk dijual. Itu sudah pasti. Menurut Karmele—dan juga Sharmini—sebenarnya kalau kita benar-benar menyayangi kukang, ini persoalan sederhana: “Lebih baik biarkan kukang mati di pasar. Kalau tidak ada yang membeli, tidak ada yang menjual. Walaupun kasihan, atau justru karena kasihan, jangan membeli kukang.”

Ingatan saya melayang ke suatu pepatah. Menyayangi tidak berarti harus memiliki.