Sharmini bercerita, para pedagang yang melakukannya sebelum menawarkan kukang kepada calon pembeli. Mungkin maksudnya memotong taring saja, agar calon pembeli tak takut digigit. Namun, pada praktiknya, banyak gigi lain ikut terpotong karena alat yang digunakan bisa apa saja seperti misalnya pemotong kuku manusia. “Gigi-gigi kukang berukuran sangat kecil, sehingga permukaan dari alat pemotong kuku tidak saja memotong bagian taring tetapi juga gigi-gigi lainnya sampai ke bagian dalam,” jelas Sharmini.
Tanpa taring, hidup seekor kukang tak akan sama lagi. Ia kehilangan salah satu alat pertahanan diri sekaligus alat untuk makan. Itu belum seberapa. Sudah terlalu sering ditemukan, serpihan gigi hasil pemotongan yang serampangan itu tertinggal dalam kulit mulut bagian dalam, menancap, dan segera menimbulkan infeksi.
Saat kukang berada di tangan pedagang, bentuk penyiksaan bukan hanya pemotongan gigi. Saya mendapatkan cerita berikut ini dari banyak orang dan tempatnya bukan lagi di pasar melainkan di tepi jalan raya. Di beberapa ruas jalan Jakarta terkadang muncul pedagang perseorangan yang menawarkan kukang kepada para pengendara. Waktunya selalu pada siang atau sore hari ketika kukang seharusnya tidur.
Si pedagang berdiri di tepi jalan sambil mengacungkan sebatang kayu. Di batang itu bergelayut seekor kukang yang kebingungan. Apalagi ketika sesekali si pedagang sengaja memutar-mutarkan batang kayu itu beserta kukang di atasnya. “Perilaku alami kukang adalah mencengkeramkan jari-jari kedua tangannya ketika merasa terancam,” jelas Sharmini. “Karena itulah, dalam keadaan pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, ia seolah ingin memegangi lengan manusia. Kesannya, kukang itu jinak dan minta disayang.”
Bagi pedagang, kukang adalah alternatif mendapatkan uang dalam jumlah lumayan (bagi pedagang kecil mungkin sangat membantu pemenuhan kebutuhan dasar). Bagi orang-orang yang memelihara di rumah, kukang adalah sumber kesenangan dan hiburan. Namun, saya tertarik pada apa yang dikatakan oleh orang seperti Karmele Sanchez terkait dengan kedua hal ini.
Perempuan muda berdarah Spanyol ini datang ke Indonesia pada 2003 sebagai seorang dokter hewan sukarelawan pada beberapa kantor pusat penyelamatan satwa. Sejak itulah ia melihat betapa kukang Jawa kurang mendapat perhatian walaupun masuk ke dalam daftar 25 spesies primata paling terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature). Kukang tidak begitu banyak mendapat sorotan seperti halnya orangutan, misalnya.
“Kita harus melakukan sesuatu. Mungkin kita adalah generasi terakhir yang memiliki kekuatan di tangan,” ucapnya. Kini Karmele adalah direktur IAR di Indonesia.Ia melanjutkan dengan berapi-api, “Anggaplah kita tidak begitu peduli terhadap konservasi. Namun, apakah kita tidak merasa bersalah karena menjual atau memelihara kukang yang kemungkinan besar akan mati dalam pemeliharaan? Bukankah kukang tidak berguna secara langsung seperti halnya sapi yang disembelih untuk dimakan?”
Karmele tiba-tiba menjadi agak sengit ketika saya mulai menanyakan fungsi dan peran kukang secara ekologis. Tampak sedikit emosional, ia menegaskan, “Satwa apapun pasti memiliki fungsi secara ekologis. Sayang penelitiannya belum begitu banyak. Kenapa kita di Indonesia selalu mempertanyakan fungsi suatu jenis satwa secara ekologis? Apakah fungsi manusia memangnya?”
Setelah agak tenang kembali, Karmele melanjutkan, “Oke, kukang bisa membantu menyebarkan serbuk sari. Bisa juga membantu mengontrol populasi serangga.” Dalam keyakinan orang seperti dia, keseimbangan di alam sangatlah penting karena pada akhirnya, melalui proses dan mata rantai yang panjang dan rumit, juga akan menentukan kelangsungan hidup manusia.
Di tengah segala kekurangan terkait penegakan hukum di negeri ini, para pelestari menyadari ada yang bisa terus mereka lakukan: penyadartahuan, penyadartahuan, lalu penyadartahuan lagi. Ketika semakin banyak orang tahu bahwa kukang adalah satwa yang dilindungi, lebih baik dibiarkan hidup di alam, keputusan yang akan diambil oleh masyarakat tidak lagi didasari oleh ketidaktahuan.
Ketika semakin banyak orang tahu ada pilihan yang lebih baik, kita bisa berharap keputusan yang akan diambil adalah keputusan yang baik. Namun, menurut Karmele, masyarakat melihat ironi. Mereka diberi tahu kukang adalah satwa dilindungi, dan di saat bersamaan tetap melihat bahwa primata itu bebas diperdagangkan di pasar-pasar dan di tepian jalan. Di Bandung bahkan di depan sebuah pusat perbelanjaan modern.
Stabilnya perdagangan kukang menurut Karmele bukanlah lantaran faktor permintaan yang tinggi. Melainkan, katanya, “Karena di banyak tempat selalu ada kukang dijual. Orang-orang yang datang atau lewat banyak yang merasa kasihan melihat kukang dalam kandang lalu memutuskan untuk membeli.”
Ketika satu ekor kukang dibeli, penjual akan mencari satu ekor lagi untuk dijual. Itu sudah pasti. Menurut Karmele—dan juga Sharmini—sebenarnya kalau kita benar-benar menyayangi kukang, ini persoalan sederhana: “Lebih baik biarkan kukang mati di pasar. Kalau tidak ada yang membeli, tidak ada yang menjual. Walaupun kasihan, atau justru karena kasihan, jangan membeli kukang.”
Ingatan saya melayang ke suatu pepatah. Menyayangi tidak berarti harus memiliki.