Bagai Kukang dalam Sangkar

By , Rabu, 23 November 2011 | 12:08 WIB

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa siapa pun yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memeli­hara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup akan di­pidana penjara maksimal lima tahun dan denda seratus juta rupiah. Selain oleh UU tersebut, kukang juga dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999. Akan tetapi, yang dicantumkan dalam lampiran PP tersebut pada saat itu barulah Nycticebus coucang sementara perkem­bangan taksonomi telah mengidentifikasi total tiga spesies di wilayah Indonesia. Hal inilah yang dikeluhkan para pelestari. Seharusnya dilakukan revisi daftar spesies terkait peraturan dan perun­dang-undangan. Tampak melalui se­jumlah pemberitaan, kalaupun ada pedagang diproses hukum, hukumannya sangat ringan. Kebanyakan hanya satwanya yang disita. Apabila pedagang besar menyewa pengacara, ia bisa bebas kalau yang dijualnya bukanlah Nycticebus coucang.

Dwi Nugroho Adhiasto dari WCU memberi­kan informasi mengenai hasil pemantauannya kepada saya. Selama bertahun-tahun organisasi tersebut melakukan pengamatan di sejumlah pasar satwa—antara lain pasar Jatinegara dan pasar burung Pramuka di Jakarta, pasar Bratang Surabaya, dan pasar burung Yogyakarta. Hasil­nya: volume perdagangan kukang stabil.

Dwi bercerita, setiap hari di pasar Jatinegara tampak 10-20 ekor kukang dijual pada hari kerja. Sementara pada akhir pekan, jumlahnya meningkat, antara 30-40 ekor. Jika hanya menghitung enam kali pengamatan terakhir yang dilakukan dua hari sekali, tampak kukang yang dipajang rata-rata 36 ekor. Jumlah mini­mal yang tampak pada satu hari adalah 21 ekor, sedangkan terbanyak 60 ekor. “Itu tentu  belum termasuk yang disimpan dalam gudang penyimpanan,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa penjualan di pasar Jatinegara merupakan yang paling terbuka—persis seperti saya sak­sikan. Rekor dalam catatan Dwi dan teman-temannya: pada suatu hari, sembilan ekor kukang terjual hanya dalam setengah jam.

Di pasar burung Pramuka, dalam sebulan 150 ekor kukang dipajang, namun jumlah yang terjual tak tercatat. Di pasar Bratang Surabaya 20-30 ekor kukang dipajang dalam satu minggu. Catatan tertinggi di Bratang: sampai 15 ekor terjual dalam sehari pada akhir pekan.

Menurut Dwi, dewasa ini pemburu men­­dapatkan antara 30-50 ribu rupiah per ekor ku­kang (sudah jauh lebih banyak dibanding saat Ade Sopyan aktif). Ketika tiba di Jakarta, harga kukang di kalangan sesama pedagang antara 75-100 ribu rupiah. Ketika sampai ke tangan pembeli, harga sudah di atas itu namun berva­riasi—tergantung profil pembeli.

“Biasanya  300-400 ribu rupiah, namun bisa mencapai dua kali lipat dari itu apabila calon pembeli terkesan banyak uang,” jelas Dwi. “Le­­­bih mahal lagi jika yang dibeli adalah kukang yang bersama anakan.” Masih menurut Dwi,  penyitaan oleh petugas belum menimbulkan efek jera. Sebabnya, yang digerebek hanyalah pedagang, bukannya pemain-pemain besar atau tokoh-tokoh perdagangannya.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang apa saja yang dialami kukang akibat menjadi kor­­ban pemeliharaan manusia, pada kesempatan lain saya mengarah ke Ciapus, kaki Gunung Salak. Di sana terletak kantor International Animal Rescue (IAR), organisasi yang meng­urusi kesejahteraan satwa. Mereka melakukan rehabilitasi terhadap satwa-satwa yang tadinya diperdagangkan atau dipelihara orang, seraya melakukan berbagai upaya penyadartahuan. Mereka juga melakukan persiapan secara fisik maupun perilaku, agar satwa-satwa yang masih baik kondisinya bisa siap untuk dilepasliarkan kembali ke alam.

Ruangan kantor itu berhasil menghangatkan saya dari udara sore di pegunungan yang sejuk dan semakin sejuk karena hujan deras turun. Saya diajak masuk ke dalam kamar medis un­tuk satwa. Tak lama, seekor kukang juga dibawa masuk untuk diperiksa kesehatannya. Lalu ia perlu diberi suntikan.

Pada saat itulah tampak suatu perilaku yang mengundang rasa sayang. Begitu jarum suntik dari dokter hewan menembus kulitnya di dekat pangkal paha, si kukang seketika berteriak de­­ngan suara kecil yang melengking dan bergetar, “Aaaaaa!” Ia mengangkat kedua lengan, membentuk tanda silang menutupi mukanya. Mirip manusia.

“Perilaku seperti itu biasa dilakukan kukang untuk melindungi diri,” jelas Sharmini Julita Paramasivam, dokter hewan. Dengan posisi tersebut, kukang sebenarnya menyiapkan ra­cun, ya, racun, yang diproduksi oleh kelenjar siku bagian dalam. Racun itu tidak berbahaya bagi manusia yang menyentuh. Lain halnya apabila kukang menjilat racun tersebut lalu memasukkannya ke balik kulit manusia me­lalui gigitan dengan taringnya. Sakit sudah pasti. Lebih daripada itu juga dapat menye­babkan bengkak dan demam. Pada manusia yang menderita alergi atau kulitnya sensitif, racun kukang bahkan dapat menyebabkan syok anafilatik (syok akibat reaksi alergi tubuh terha­dap benda asing, berupa kumpulan gejala yang timbul dengan cepat).

“Tak ada primata lain yang memiliki racun seperti kukang,” kata Sharmini sambil menyeka bulu-bulu pasiennya. Namun, lanjut perempuan muda berdarah India ini lagi, “Secara ilmiah be­lum jelas apakah cairan tersebut venom seperti yang biasa terdapat pada bisa ular atau poison seperti pada katak beracun. Jadi untuk semen­tara kita sebut saja toksin. Racun.”

Walaupun memiliki pertahanan diri secara alamiah, kukang tidaklah berdaya menghadapi manusia. Kondisi kukang yang diserahkan ke organisasi ini hampir semuanya menyedih­kan—akibat perdagangan dan pemeliharaan. Sharmini kemudian berkata, “Perhatikan baik-baik, gigi-giginya tidak sempurna lagi karena sudah dipotong.”