Kukang yang beberapa kali ditemukan Ade Sopyan selama penelusuran kami di Sumedang adalah spesies kukang Jawa (Nycticebus javanicus)—satu dari tiga spesies kukang yang terdapat di Indonesia, dari total lima spesies di dunia yang diidentifikasi oleh para ahli sampai tahun 2006. Kala empat spesies lainnya berada dalam status rentan terhadap kepunahan, kukang Jawa lebih buruk: berstatus terancam.
Pada masa lalu, para ahli menduga ancaman terbesar terhadap populasi kukang adalah hilangnya habitat. Namun, hasil penelitian Indah Winarti saat melakukan studinya di Primatologi Institut Pertanian Bogor menjelaskan fakta lain. Indah melakukan penelitiannya di Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Sumedang pada hutan-hutan perkebunan di luar wilayah konservasi.
Dari sana diketahui bahwa hutan-hutan kebun yang relatif dekat permukiman penduduk—dan bukan kawasan konservasi—juga merupakan habitat penting bagi kukang Jawa. “Barangkali karena terdapat banyak serangga di hutan kebun yang wilayahnya relatif terbuka dan banyak terkena sinar matahari,” jelas Indah. “Sedangkan pada wilayah konservasi umumnya tutupan hutan lebih rapat, dan mungkin lebih sedikit terdapat serangga. Akan tetapi, hal ini baru dugaan yang memerlukan penelitian lebih lanjut.”
Banyaknya kukang ditemukan di hutan-hutan kebun dapat menjadi salah satu faktor ancaman, karena satwa ini berada dekat dengan permukiman manusia. Dibanding hilangnya habitat, pada satu-dua dekade belakangan ini memang muncul ancaman lain yang jauh lebih besar bagi kukang: perdagangan satwa—baik sebagai peliharaan maupun terkait dengan mitos pengobatan tradisional.
Bahkan menurut Wildlife Crimes Unit (WCU), organisasi yang memonitor dan memerangi perdagangan satwa, di Indonesia kukang merupakan primata yang paling sering diperdagangkan—hanya dikalahkan oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Akan tetapi ada catatan khusus. Monyet ekor panjang bukanlah satwa dilindungi. Otomatis, kukang naik ke peringkat pertama sebagai primata dengan status dilindungi yang paling sering diperdagangkan.
Pada suatu siang yang terik di kawasan Jatinegara, saya menyaksikan bagaimana kukang diperdagangkan dengan bebas bersama sejumlah satwa lain yang sebagian di antaranya juga berstatus dilindungi. Setidaknya delapan ekor kukang dipajang oleh dua pedagang yang saya amati (saya hanya mendekati dua lapak yang lokasinya terpisah dari lainnya).
Kesemua primata itu terlihat menggulung diri, menyembunyikan muka dalam kandang-kandang dari kawat. Mereka berusaha tidur. Salah seekor di antaranya bahkan seolah-olah mati, tidak bergerak meskipun ada orang yang menyentuh-nyentuh tubuhnya dengan jari telunjuk. Barulah ketika kandang kecilnya diangkat, si kukang bangun, meregangkan kedua tangan dan kaki dan berusaha mundur ke sudut kandang. Kukang-kukang malang itu dipajang di sebuah trotoar di depan pertokoan yang ramai oleh hilir-mudik orang. Persis di tepi jalan raya yang hampir selalu padat atau bahkan macet. Para pedagang di sana tidak begitu suka dagangannya difoto.
“Nanti saya lagi yang kena,” kata seseorang kepada saya. Lainnya langsung mengibaskan tangan dengan ketus, sambil memalingkan wajah ke arah lain, ketika saya menyebut kata “foto”.
Popularitas kukang sebagai satwa peliharaan sendiri tetap menjulang selama beberapa tahun belakangan. Sebagai gambaran, sebelum mengerjakan laporan ini, saya melihat beberapa video tentang kukang di dalam rumah, yang diunggah orang di salah satu situs Internet tempat berbagi video. Video-video itu muncul dari hasil pencarian dengan kata kunci “kukang” atau “slow loris”.
Pada salah satu video tampak seekor kukang diletakkan dalam pangkuan majikan yang mengelitiki kedua rusuknya. Si kukang dalam posisi mengangkat kedua tangan, seolah-olah menikmati. Kemudian, pada salah satu situs lain yang merupakan forum diskusi berbahasa Indonesia, topik mengenai kukang berlangsung hingga ratusan halaman pada kategori my pets (peliharaanku). Di sana para “penyayang” dan pemelihara kuka ng saling bertanya dan berbagi pengalaman memelihara kukang: mulai dari makanan, kesehatan, sampai jual-beli.
Dengan kata kunci yang sama di Twitter, sesekali kita juga akan menemukan tweet mengenai kukang dari para pemelihara. Di antara sejumlah orang yang berkomunikasi di forum Internet, ada yang mengingatkan bahwa kukang berstatus dilindungi. Tetapi ada lainnya yang mengatakan, “Lebih baik dipelihara, bisa sampai beranak, daripada punah.”
Saya menghubungi delapan pemilik kukang, meminta izin untuk memotret mereka bersama kukang peliharaan. Hasilnya: dua orang tidak pernah menjawab, empat orang menyatakan kukangnya sudah mati atau diberikan ke orang lain. Dua orang lainnya bersedia, namun beberapa hari kemudian berubah pikiran. Salah seorang di antara yang membatalkan ini tiba-tiba meyakini bahwa peliharaannya adalah kuskus. Padahal, saya pernah memintanya mengirimkan foto peliharaannya melalui email, yang benar adalah kukang. !break!