Pionir di Celah Dua Loka

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 13:36 WIB

Dahi Werner Kraus berkeringat. Dia tengah mengamati beberapa lukisan usang itu satu demi satu. Sesekali dia mengangkat sebuah lukisan dan memperhatikan detail sapuan kuas, melihat saksama sisi belakang kanvas sambil merabanya, membaliknya, lalu meletakkannya kembali di meja. Kraus termenung, lalu jarinya menunjuk sudut kanan bawah kanvas yang terbubuh tapak nama senimannya: Raden Saleh.

Di bekas Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta itu Kraus duduk serius di sebuah kursi kayu. Di mejanya telah berja­jar sejumlah lukisan potret gubernur jenderal Hindia Belanda karya Raden Saleh. Lukisan itu direplika oleh Saleh dari lukisan autentik yang lebih besar ukurannya dan disimpan di Belan­da. Koleksi lukisan milik museum itu terpajang rapi di din­ding ruangan lembap yang lebih mi­rip tempat pe­nyimpanan ketimbang galeri seni se­buah museum.

Kraus adalah seorang peneliti Pusat Seni Asia Tenggara di Passau, Jer­man. Penelitiannya ten­tang sejarah seni rupa Indonesia telah membawanya kepada sosok Raden Saleh. Pencarian sosok sang seniman ini telah dia selami lebih dari dua puluh tahun.

Nama Raden Saleh tentu akrab bagi keba­­nyakan orang Indonesia. Di Jakarta, namanya di­abadikan sebagai nama jalan tempat bekas rumah besarnya. Di kalangan seniman Nusantara, Saleh dikenang sebagai pelopor seni lukis modern—yaitu menggunakan kanvas, kuas, dan cat dengan gaya Eropa. Dia juga tercatat sebagai salah satu orang Hinda Belanda pertama yang belajar ke Eropa—bahkan tinggal di Eropa selama lebih dari dua puluh tahun sebelum kembali ke Jawa.

"Raden Saleh memang pelopor, bahkan waktu itu satu-satunya pelukis pribumi Hindia Belanda. Pelukis lain baru muncul tiga dekade setelah ke­matiannya. Entah memang tidak ada atau kita yang tidak punya datanya," kata Enin Supriyanto, seorang kurator seni.

berdasarkan tulisan Saleh sendiri di atas gambar dirinya saat di Jerman 1839, dia "Lahir di Semarang, Jawa pada bulan Mei 1811." Saleh kecil tinggal di Terbaya bersama ibunya di rumah seorang paman, Bupati Semarang yang bernama Raden Adipati Surahadi­manggala V. Mungkin ayahnya telah meninggal, sebab tidak pernah dise­but di dalam surat-surat Saleh dan tidak tercatat di dalam dokumen apa pun.!break!

Keluarga Saleh masih keturunan Kyai Ngabehi Kertabasa Bustam, seorang pembantu bupati di Semarang dan pendiri keluarga besar Bustaman. Leluhur mereka keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman Selatan. Di Semarang ada sebuah gang bernama Kampung Bustaman yang menginduk ke Jalan Pekojan. Dulu, kawasan ini adalah kam­­pung orang Khoja—muslim India—dan Arab. Gambaran itu cocok dengan silsilah keluarga Kyai Bustam yang berdarah Arab.

Peneliti dari Prancis, Marie-Odette Scalliet menemukan Raden Saleh dari penelitiannya tentang pelukis Belgia, Antoine Auguste Joseph Payen. Dia memberi tahu saya, bahwa pada usia sembilan tahun, Saleh telah belajar melukis di bawah asuhan Payen di Bogor. "Payen pulang ke Brusel awal 1826 dan atas rujukannya, Saleh menjadi pegawai magang di kantor Residen Pri­angan di Cianjur sambil terus belajar melukis, hingga kepergiannya ke Belanda pada Maret 1829 bersama Jean Baptiste de Linge," kata Scalliet, "Sayangnya, tidak ada catatan yang menjelaskan apa hubungan Saleh dengan De Linge."

Saya menemui Werner Kraus di Menteng, kota taman pertama tinggalan Hindia Belanda, Jakarta Pusat. "Keberangkatan Saleh ke Belanda adalah hal yang aneh," ujar Kraus, "Orang Jawa waktu itu tidak diperbolehkan melintasi lautan. Kalau pun ada, biasanya mereka pergi ke Barat sebagai bu­dak yang dibawa oleh keluarga Eropa. Kita tidak tahu, mengapa dan bagaimana bisa Raden Saleh diperbolehkan ke Belanda."

Berkat rujukan tokoh-tokoh Belanda yang dia kenal di Jawa, Saleh lalu menjadi "Anak Nega­ra". Kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya ditanggung Kementerian Tanah Jajahan. Dia dibimbing pelukis potret Cornelis Kruseman, lalu juga pelukis pemandangan Andries Schelfhout. Selama di Belanda, menurut Kraus, "Dia bingung. Dia diminta melukis potret orang-orang Eropa, badai di lautan yang menggoyang kapal-kapal Belanda, bahkan adegan kisah Alkitab. Se­bagai orang Jawa dan beragama Islam, ini sukar bagi Saleh, dia tidak punya latar belakang pe­ngetahuan atau pengalaman untuk melukisnya. Cukup lama dia tidak tahu harus bagaimana."

Kegalauan pelukis muda itu ter­obati ketika bertemu rombongan sirkus binatang pimpinan Henri Martin, yang mengunjungi Den Haag dari Paris. Saleh membuat banyak sketsa singa dan harimau milik Martin. Di Jerman kelak, sketsa-sketsa itu akan diangkat ke kanvas dan menjadi adikarya Saleh yang paling dicari.

Hati Saleh tertambat di Dresden tatkala dia melawat ke sejumlah museum di Jerman. Periode Dresden adalah masa yang paling penting di dalam perkembangan diri dan kesenian Saleh. Di sini, Saleh seolah terlahir kembali menjadi seniman sesungguhnya. !break!

Dalam surat-suratnya kemudian, Saleh banyak menuliskan kenangan indah tentang Dresden. Dia menikmati sambutan hangat Jerman yang memungkinkan dia bebas berekspresi. Gaya berpakaiannya yang perlente dan kebarat-baratan selama di Den Haag berubah menjadi oriental di Dresden. Dia mengarang sendiri kostumnya, menggabungkan sorban atau peci dengan kemeja dan jaket bermanik-manik, serta memakai jubah.