Pionir di Celah Dua Loka

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 13:36 WIB

Profesor Gottfried Glöckner, yang memiliki tanah tersebut sejak 1970, telah memperbaiki bangunan masjid yang rusak berat itu. Namun, karena tidak tahu bentuk aslinya, bangunan itu jadi sedikit berubah. Suami-istri Tronicke ke­­mudian meneruskan perbaikan dan berusaha mengembalikan ke bentuk aslinya dengan uang mereka sendiri—bahkan mengganti kubah mas­jid yang hancur dengan kubah seng baru pada 1997. Ada satu kutipan dari Raden Saleh di dalam Bahasa Jerman, dan satu kutipan lain beraksara Jawa —yang sudah tak terbaca—tertoreh di atas pintu masuk Masjid Biru, bermakna "Hormatilah Tuhan dan cintailah sesama manusia."

Kisah Raden Saleh dan Masjid Biru tinggalan­nya telah menjadi bagian dari Kota Maxen. So­sok Saleh dan replika masjid dihadirkan di dalam arak-arakan hari jadi Maxen yang ke-750 pada 2005. Seorang mahasiswa Indonesia yang ber­ada di Maxen memerankan Saleh. Dia berjalan bersama Hans Christian Andersen—diperankan oleh orang lain—yang juga pernah menginap di istana Mayor Serre. Replika masjid itu ditem­patkan di atas gerobak. "Siapa yang mau me­­merankan Raden Saleh di arak-arakan hari jadi Kota Maxen tahun depan?" tanya Tronicke me­nutup presentasinya.

Sejak kecil, Saleh ingin ke Eropa. Setelah ke­­sempatan itu datang, dia berkali-kali menolak pulang dan merengek minta uang saat bea­siswanya habis. Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda takut memulangkannya karena inlander yang pintar adalah inlander yang berbahaya.

Akhirnya, Raden Saleh pun menjejak kembali di Batavia, kini Jakarta, pada 1852. Lalu, dia mengunjungi ibunya di Semarang. Kembali ke Batavia, Saleh membeli sebidang tanah di Cikini, di tepi Sungai Ciliwung. Dia telah mendirikan rumah berlantai dua pada 1858 di tanah itu dengan mencontoh Istana Callenberg milik Ernst II, penguasa Saxe-Coburg dan Gotha. Saleh pernah lama menginap di istana itu ketika mengunjungi Coburg pada 1844.

Rumah Saleh dikelilingi kebun luas. Pada 1864, sebagian kebun itu dia hibahkan untuk dijadikan kebun binatang dan taman botani. Taman dibuka untuk umum dengan memungut satu gulden dari setiap pengunjung. Kebun binatang kemudian di­­tutup pada masa pergantian abad. Akhir 1960-an, di taman itu dibangun gedung kesenian yang kini kita kenal sebagai Taman Ismail Marzuki.!break!

Di rumah itu, Saleh tinggal dengan seorang janda bernama Constancia Winckelhagen. Saleh mengenal dia waktu pulang ke Semarang. Mereka tidak menikah karena hukum Belanda tidak memungkinkan lelaki Jawa muslim menikah dengan perempuan kulit putih Kristen. Hubungan me­reka tidak lama. Constancia menikah lagi, seda­ngkan Saleh sibuk merestorasi puluhan lukisan di kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melawat keliling Jawa.

Setelah Raden Saleh pindah ke Bogor, rumah besar di Cikini itu dibeli seorang keturunan Arab. Lalu, pada 1897 bangunan itu dibeli lagi oleh sebuah organisasi Belanda di bidang pelayanan kesehatan. Setahun kemudian di tempat itu dibuka Rumah Sakit Ratu Emma—cikal bakal Rumah Sakit P.G.I. Cikini. Dokter Rosiana K.S., selaku Kepala Hubungan Masyarakat R.S. P.G.I. Cikini, mengizinkan saya untuk melihat-lihat bekas rumah besar Raden Saleh itu. Kini, lantai bawah digunakan untuk kantor direksi dan ruang perawat. Lantai atas awalnya untuk kantor, tetapi sejak 2004 tidak digunakan lagi, karena lantai kayunya sudah lapuk. Gubernur Jakarta juga turut meninjau rumah ini pada 2010, namun tampaknya tidak ada tindak lanjut. "Gedung ini termasuk benda cagar budaya di bawah pengawasan Dinas Museum dan Pariwisata. Kami tidak berwenang melakukan penggantian; harus berdasarkan instruksi dan biaya dari pemerintah," ungkap Rosiana, "Kami hanya dapat melakukan perawatan ringan, seperti mengecat dan membersihkan."

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan bersejarahnya, "Penangkapan Pangeran Dipanagara" yang berukuran 112×178 sentimeter. Kini lukisan itu dipajang di ruang kerja Presiden di Istana Negara, Jakarta. Saleh menyelesaikannya pada 1857 , lalu mempersembahkan lukisan itu kepada Raja Willem III di Den Haag. Peristiwa "terjebaknya" pemimpin Perang Jawa pada 28 Maret 1830 itu sebelumnya pernah dilukis oleh seniman muda Belanda, Nicolaas Pieneman atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Saleh tentunya pernah melihat lukisan ini waktu dia di Eropa.

Seolah tidak sepakat dengan gambaran Pieneman, Saleh membuat banyak kebalikan dari versi Pieneman di dalam lukisannya. Kanvas Saleh besarnya hampir dua kali milik Pieneman. Pieneman melukis dari sisi kanan depan rumah Residen Kedu di Magelang, tempat Dipanagara dijebak, sementara Saleh dari kiri. Saleh menggambarkan Dipanagara tengah menahan amarah, padahal dia tampak lesu dan pasrah di dalam lukisan Pieneman. Soal pemberian judul, Pieneman memakai kata "Penyerahan Diri" sementara Saleh "Penangkapan". Saleh barangkali pernah ke kediaman Residen Kedu itu ketika mengunjungi Magelang pada 1853, sedangkan Pieneman tidak sekali pun pernah ke Hindia Belanda—sebab itu dia melukis anak buah Dipanagara seperti orang Arab.

Sejarawan Inggris dari Oxford University, Peter B.R. Carey, telah mendalami Perang Jawa dan riwayat pemimpinnya. Dia menemukan lukisan tersebut, lalu mencoba menggali sosok pelukis­nya. Ketika di Yogyakarta, Carey menyampaikan sejumlah tafsirnya terhadap lukisan Saleh, bah­wa orang-orang Belanda tampak seperti monster karena kepala mereka dilukis terlalu besar. Saleh sendiri menghadirkan dirinya di dalam lukisan itu sebanyak tiga kali di te­ngah pengikut Dipanagara. "Tidak ada triwarna bendera Be­landa, seolah dilupakan oleh Raden Saleh. Kusir memegang cambuk tetapi cambuk itu patah. Ini satu pagi yang baru, tetapi bukan fajar baru bagi Belanda, melainkan bagi orang pribumi Indone­sia," ungkap Carey. Dia meyakini Saleh melalui lukisan ini telah meramalkan kemerdekaan Indo­nesia. Tafsir seperti itu memunculkan pendapat, bahwa Raden Saleh sedang menunjukkan nasionalismenya.

"Itu absurd," tukas Enin Supriyanto ketika saya minta tanggapannya soal pendapat Carey. "Pertama, waktu itu Indonesia belum ada, lalu nasionalisme itu merujuk ke mana. Kedua, bagaimana bisa kita menyebut Raden Saleh na­sionalis hanya dengan melihat satu lukisan dan tidak memperhatikan lukisan dia yang lain, yang mungkin ada ratusan jumlahnya. Bagaimana kita membandingkannya?"!break!

"Penangkapan Pangeran Dipanagara" baru pulang ke Indonesia pada 1978 setelah 121 tahun milik Kerajaan Belanda. Kepulangan itu meru­pakan pengejawantahan perjanjian kebudayaan antara Indonesia dan Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian benda-benda kebudayaan milik Indonesia yang pada masa lalu telah diambil, dipinjam, atau dipindahtangankan ke Belanda. Adalah almarhum Koesnadi Hardjasoemantri, Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag waktu itu, yang membuat kategorisasi ini.