Pionir di Celah Dua Loka

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 13:36 WIB

Masalahnya, lukisan itu tidak termasuk ke­tiga kategori itu. Sejak semula Raden Saleh telah mempersembahkannya kepada Raja Belanda sehingga lukisan itu tidak pernah menjadi mi­lik Indonesia. Lalu, Hardjasoemantri membuat kategori keempat, benda kebudayaan dari Indo­nesia yang diberikan kepada Belanda. Akhirnya, adikarya Saleh itu akhirnya pulang ke Indonesia sebagai hadiah dari Istana Oranye.

Saya berbincang dengan Mikke Susanto di rumah mungilnya yang nyaman, Godean, Yog­yakarta. Susanto adalah kurator seni dan pengajar di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia. Dia dipanggil menjadi konsultan kuratorial koleksi Museum Istana Kepresidenan pada 2009.

"Ternyata, selama ini lukisan koleksi negara hanya dinilai nol dan satu rupiah. Itu kebijakan Sekretariat Negara sejak zaman Presiden Suhar­to," ungkap Susanto, "Departemen Keuangan juga punya sistem sendiri menaksir nilai aset negara, kecuali lukisan. Jadi, mereka bingung."

Selain "Penangkapan Dipanagara," negara juga punya karya Saleh lainnya, seperti "Antara Hidup dan Mati" dan "Harimau Minum" di Bogor, "Potret Orang Tua Memegang Globe" di Jakarta, dan dua "Berburu Banteng"—masing-masing di Yogyakarta dan Bali. Enam lukisan seharga enam rupiah. "Sekarang semua sudah dinilai sesuai harga yang wajar," ujar Susanto.

Soal kondisi keenam lukisan itu, Susanto kesulitan mencari ungkapan yang tepat. "Secara umum tidak terlalu parah lah, tetapi memang perlu direstorasi." Mengapa tidak direstorasi? "Karena biayanya terlalu mahal. Bagaimana negara dapat mengeluarkan seratus juta rupiah, misalnya, untuk merawat lukisan yang harganya satu rupiah? Ini harus dibenahi terlebih dahulu."!break!

Dalam perjalanan keliling Jawa 1850-an dan 1860-an, Saleh membuat lukisan potret sejumlah penguasa keraton di Jawa. Dia juga menerjemah­kan banyak naskah lokal kuno, mengumpulkan benda-benda pusaka lokal, dan melakukan peng­galian fosil atas biaya dari pemerintah dan bebe­rapa organisasi Belanda. Kontribusi awal Raden Saleh di bidang paleontologi itu diakui oleh peneliti Marie Eugène François Thomas Dubois dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald yang kemudian menemukan fosil Homo erectus di Sangiran, Jawa Tengah.

Raden Saleh membuat sebuah buku pelajaran menggambar untuk anak-anak sekolah pada 1863. Buku itu dicetak dengan teknik litografi sebanyak 120 eksemplar, lantas disebarkan di Jakarta, Bogor, Karawang, Semarang, Madura, Probolinggo, dan Padang. Perpustakaan Nasi­onal masih menyimpan sebanyak 26 dari 44 litograf asli Raden Saleh. Kraus mengatakan, "Buku ini penting karena menandakan dimulainya pelajaran ke­­senian Indonesia."

Museum Keraton Yogyakarta menyimpan empat potret Sultan dan Permaisuri yang dilukis Raden Saleh. Ukurannya besar dan diletakkan di ruang terbuka. Warnanya kusam termakan usia, perlu segera dikonservasi. "Nilainya masing-masing bisa mencapai tiga juta dolar Amerika," kata Kraus.

Saleh menikahi seorang gadis muda dari kalangan ningrat Yogyakarta, Raden Ayu Danudirja pada 1867. Ayahnya seorang pengikut Dipanagara sewaktu Perang Jawa. Setelah menikah, pa­sangan yang usianya terpaut cukup jauh itu pindah ke Bogor. Saleh mengontrak rumah dekat Kebun Raya Bogor, sebelah Hotel Belle Vue milik Garreau Frères, yang kini menjadi Bogor Trade Mall, berlatar pemandangan indah Gunung Salak.

Tujuh tahun kemudian, Saleh membawa istrinya ke Eropa dan tinggal di sana selama empat tahun. Mereka mengunjungi sejumlah kota di Belanda, Jerman, Italia, dan Prancis. Malangnya, Danudirja sakit di Paris—hingga kini tak jelas apa sakitnya. Penyakit itu terus menggerogoti kesehatannya hingga dia pulang ke Bogor. Tampaknya Saleh merasa ajal istrinya kian dekat sehingga dia membeli sepetak tanah untuk makam istrinya.

Namun, Jumat siang, 23 April 1880, Raden Saleh yang paginya masih sehat, mendadak jatuh sakit. Sebelumnya, Saleh melaporkan seorang pelayannya kepada polisi dengan tuduhan pen­curian. Saleh curiga dan menuding pelayan itu meracuni dia lantaran tidak terima dituduh men­curi. Raden Saleh meninggal sore hari itu juga. Pemeriksaan dokter usai kematiannya menun­jukkan telah terjadi penggumpalan darah di pem­buluh jantung sehingga mengganggu peredaran darah—bukan karena racun. Saleh dimakamkan dua hari kemudian di tanah yang dia pilih sendiri untuk makam istrinya di Kampung Empang, Bo­gor. Koran Java Bode edisi 28 April 1880 mengabarkan: "Pada hari Minggoe tanggal 25 April djam 6 pagi maitnja Raden Saleh di­iringi oleh banjak toean-toean ambtenaar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy dan lain-lain toean tanah, ...sampe anak-anak Djawa dari Land­bouwschool semoea antar itoe mait ke koeboer."!break!

Beberapa bulan sepeninggal Saleh, kesehatan Danudirja kian memburuk. Akhirnya janda itu meninggal pada 31 Juli 1880. Pasangan itu tidak memiliki keturunan. Saleh pun tidak membuka sekolah ataupun sanggar sehingga dia tidak punya penerus.

Saya berziarah ke makam Raden Saleh dan istrinya. Awalnya, makam mereka tertutup ilalang tinggi ketika ditemukan tak sengaja oleh Mas Adung Wiryaatmaja pada 1923. Wiryaatmaja kemudian mengurusi makam itu hingga lebih dari enam puluh tahun. Kini, seorang keponakan Wiryaatmaja yang meneruskannya.

Presiden Sukarno memerintahkan makam itu dipugar; mengganti nisan yang bergaya Eropa dengan lazimnya nisan pribumi pada 1953. Lalu, atas gagasan Galeri Nasional Indonesia, makam dipugar lagi pada 2006. Lelakon berikutnya, Presiden Yudhoyono menyerahkan Bintang Maha Putra untuk Raden Saleh kepada Walikota Semarang pada 2010.Sejatinya, Saleh adalah orang yang beruntung. Enin Supriyanto sepakat juga soal ini. Saleh mendapatkan kesempatan untuk mengembang­kan dirinya dan dia sungguh memanfaatkan ke­­­sempatan itu. Namun, dia pun membayar mahal untuk semua itu, dengan menjadi pribadi yang kesepian hingga akhir hayatnya. Di Belanda dia tak leluasa melakukan apa yang dia kehendaki. Di Jerman, dia menyatakan menolak perbudakan dan penjajahan, tetapi tetap tak bisa berbuat apa-apa. Pulang ke Jawa, dia tidak betah—karena "di sini orang hanya membicarakan kopi dan gula, gula dan kopi"—dan ingin kembali ke Eropa.

Bagi Kraus, Saleh adalah orang yang kehilangan jati diri. Peter Carey punya pendapat yang sama. Saleh telah tercerabut dari latar belakang budayanya sebagai orang Jawa, namun juga tidak dapat sepenuhnya diterima di kebudayaan modern Barat. Dia terdidik tetapi bukan ilmuwan. Kaya tetapi bukan juragan. Ningrat tetapi bukan kerabat dekat kerajaan. Keturunan Arab tetapi sudah sekian generasi yang lampau. Semua serba tanggung.

Di sudut Museum Sejarah Jakarta, Kraus memeriksa beberapa lukisan karya Saleh. Dia tengah mempersiapkan pameran tunggal Raden Saleh yang pertama di Jakarta, juga Indonesia, pada Juni 2012. Sejumlah lukisan yang ukuran­nya tak lebih dari kertas A3 itu kondisinya me­milukan. Warnanya memburam—lukisan potret Herman Willem Daendels sampai nyaris meng­hitam. Sebagian lukisan ditempel di permukaan kayu sehingga kanvasnya tidak lagi lentur. Ham­pir semua bagian belakang kanvas ditutup plastik sehingga lembap. Beberapa lukisan berlubang-lubang kecil akibat dimakan serangga. Bahkan, lukisan potret Johannes van den Bosch sobek di bagian dada.

Raut wajah Werner Kraus berubah, seperti awan hitam yang tiba-tiba menggelayut pada pagi hari nan cerah. Irina Vogelsang, asistennya, lalu menepuk pundaknya. "Jangan menangis, Pak!"