Pionir di Celah Dua Loka

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 13:36 WIB

Dahi Werner Kraus berkeringat. Dia tengah mengamati beberapa lukisan usang itu satu demi satu. Sesekali dia mengangkat sebuah lukisan dan memperhatikan detail sapuan kuas, melihat saksama sisi belakang kanvas sambil merabanya, membaliknya, lalu meletakkannya kembali di meja. Kraus termenung, lalu jarinya menunjuk sudut kanan bawah kanvas yang terbubuh tapak nama senimannya: Raden Saleh.

Di bekas Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta itu Kraus duduk serius di sebuah kursi kayu. Di mejanya telah berja­jar sejumlah lukisan potret gubernur jenderal Hindia Belanda karya Raden Saleh. Lukisan itu direplika oleh Saleh dari lukisan autentik yang lebih besar ukurannya dan disimpan di Belan­da. Koleksi lukisan milik museum itu terpajang rapi di din­ding ruangan lembap yang lebih mi­rip tempat pe­nyimpanan ketimbang galeri seni se­buah museum.

Kraus adalah seorang peneliti Pusat Seni Asia Tenggara di Passau, Jer­man. Penelitiannya ten­tang sejarah seni rupa Indonesia telah membawanya kepada sosok Raden Saleh. Pencarian sosok sang seniman ini telah dia selami lebih dari dua puluh tahun.

Nama Raden Saleh tentu akrab bagi keba­­nyakan orang Indonesia. Di Jakarta, namanya di­abadikan sebagai nama jalan tempat bekas rumah besarnya. Di kalangan seniman Nusantara, Saleh dikenang sebagai pelopor seni lukis modern—yaitu menggunakan kanvas, kuas, dan cat dengan gaya Eropa. Dia juga tercatat sebagai salah satu orang Hinda Belanda pertama yang belajar ke Eropa—bahkan tinggal di Eropa selama lebih dari dua puluh tahun sebelum kembali ke Jawa.

"Raden Saleh memang pelopor, bahkan waktu itu satu-satunya pelukis pribumi Hindia Belanda. Pelukis lain baru muncul tiga dekade setelah ke­matiannya. Entah memang tidak ada atau kita yang tidak punya datanya," kata Enin Supriyanto, seorang kurator seni.

berdasarkan tulisan Saleh sendiri di atas gambar dirinya saat di Jerman 1839, dia "Lahir di Semarang, Jawa pada bulan Mei 1811." Saleh kecil tinggal di Terbaya bersama ibunya di rumah seorang paman, Bupati Semarang yang bernama Raden Adipati Surahadi­manggala V. Mungkin ayahnya telah meninggal, sebab tidak pernah dise­but di dalam surat-surat Saleh dan tidak tercatat di dalam dokumen apa pun.!break!

Keluarga Saleh masih keturunan Kyai Ngabehi Kertabasa Bustam, seorang pembantu bupati di Semarang dan pendiri keluarga besar Bustaman. Leluhur mereka keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman Selatan. Di Semarang ada sebuah gang bernama Kampung Bustaman yang menginduk ke Jalan Pekojan. Dulu, kawasan ini adalah kam­­pung orang Khoja—muslim India—dan Arab. Gambaran itu cocok dengan silsilah keluarga Kyai Bustam yang berdarah Arab.

Peneliti dari Prancis, Marie-Odette Scalliet menemukan Raden Saleh dari penelitiannya tentang pelukis Belgia, Antoine Auguste Joseph Payen. Dia memberi tahu saya, bahwa pada usia sembilan tahun, Saleh telah belajar melukis di bawah asuhan Payen di Bogor. "Payen pulang ke Brusel awal 1826 dan atas rujukannya, Saleh menjadi pegawai magang di kantor Residen Pri­angan di Cianjur sambil terus belajar melukis, hingga kepergiannya ke Belanda pada Maret 1829 bersama Jean Baptiste de Linge," kata Scalliet, "Sayangnya, tidak ada catatan yang menjelaskan apa hubungan Saleh dengan De Linge."

Saya menemui Werner Kraus di Menteng, kota taman pertama tinggalan Hindia Belanda, Jakarta Pusat. "Keberangkatan Saleh ke Belanda adalah hal yang aneh," ujar Kraus, "Orang Jawa waktu itu tidak diperbolehkan melintasi lautan. Kalau pun ada, biasanya mereka pergi ke Barat sebagai bu­dak yang dibawa oleh keluarga Eropa. Kita tidak tahu, mengapa dan bagaimana bisa Raden Saleh diperbolehkan ke Belanda."

Berkat rujukan tokoh-tokoh Belanda yang dia kenal di Jawa, Saleh lalu menjadi "Anak Nega­ra". Kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya ditanggung Kementerian Tanah Jajahan. Dia dibimbing pelukis potret Cornelis Kruseman, lalu juga pelukis pemandangan Andries Schelfhout. Selama di Belanda, menurut Kraus, "Dia bingung. Dia diminta melukis potret orang-orang Eropa, badai di lautan yang menggoyang kapal-kapal Belanda, bahkan adegan kisah Alkitab. Se­bagai orang Jawa dan beragama Islam, ini sukar bagi Saleh, dia tidak punya latar belakang pe­ngetahuan atau pengalaman untuk melukisnya. Cukup lama dia tidak tahu harus bagaimana."

Kegalauan pelukis muda itu ter­obati ketika bertemu rombongan sirkus binatang pimpinan Henri Martin, yang mengunjungi Den Haag dari Paris. Saleh membuat banyak sketsa singa dan harimau milik Martin. Di Jerman kelak, sketsa-sketsa itu akan diangkat ke kanvas dan menjadi adikarya Saleh yang paling dicari.

Hati Saleh tertambat di Dresden tatkala dia melawat ke sejumlah museum di Jerman. Periode Dresden adalah masa yang paling penting di dalam perkembangan diri dan kesenian Saleh. Di sini, Saleh seolah terlahir kembali menjadi seniman sesungguhnya. !break!

Dalam surat-suratnya kemudian, Saleh banyak menuliskan kenangan indah tentang Dresden. Dia menikmati sambutan hangat Jerman yang memungkinkan dia bebas berekspresi. Gaya berpakaiannya yang perlente dan kebarat-baratan selama di Den Haag berubah menjadi oriental di Dresden. Dia mengarang sendiri kostumnya, menggabungkan sorban atau peci dengan kemeja dan jaket bermanik-manik, serta memakai jubah.

Di Dresden, tema lukisan Saleh bergeser dari potret dan pemandangan ke perburuan, yang didasarkan pada sketsa-sketsa singa dan harimau yang dia buat di sirkus Martin. Sebab lain, permintaan dari para pembeli lukisan—dia perlu uang karena tidak lagi ditunjang beasiswa dari Belanda. Nantinya, Saleh tak lagi melukis tema perburuan setelah pulang ke Jawa, dia kembali melukis potret dan pemandangan.

Sebuah lukisan Raden Saleh dari masa itu turut ditawarkan dalam lelang pertengahan 2011, setelah cukup lama tak terlacak keberadaannya. Lukisan berjudul "Upaya Terakhir" itu menggambarkan seorang lelaki Arab dengan penuh kecemasan berpegangan pada ranting pohon besar di tepi jurang. Sementara itu kuda yang dia tunggangi, lehernya digigit seekor singa. Lelaki itu mengambil upaya terakhir untuk menyelamatkan diri.

Lukisan itu terjual kepada seorang kolektor di Indonesia seharga 2,79 juta dolar AS atau sekitar 25 miliar rupiah, yang menjadikannya kanvas Raden Saleh termahal yang pernah terjual. "Lukisan itu adalah lukisan Saleh yang paling penting yang dilukis di Eropa. Dibuat pada 1842, lukisan itu kemudian dibeli oleh seorang kolektor dari Leipzig dengan harga yang sangat tinggi waktu itu—setara 670 gram emas 22 karat," ungkap Werner Kraus.

Sayang, kolektor yang mendapatkan adikarya Raden Saleh dengan harga mahal itu itu menolak saya temui. Dia menyarankan agar saya bertemu dengan seorang kolektor lain yang lebih senior.

Berangkat dari saran itu, saya menuju Magelang, Jawa Tengah untuk bertemu kolektor seni pribadi, Oei Hong Djien. Di museum yang dibangun di belakang rumahnya, Oei memiliki koleksi seni rupa modern dan kontemporer Indonesia yang bisa dibilang paling lengkap. !break!

Di Indonesia, setidaknya ada enam kolektor pribadi yang memiliki karya Saleh—kebanyakan diperoleh dari lelang. Menurutnya, ada keinginan dari kolektor Indonesia untuk membawa karya Saleh "pulang" ke Tanah Air, selain tentunya mengejar nilai gengsi sebagai simbol status.

Oei punya satu karya Saleh, yaitu "Potret R.A. Muningkasari," adik pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita, dilukis pada 1864. "Sebab saya punya museum, aspek sejarah menjadi penting. Dan sejarah seni rupa Indonesia modern tidak bisa lepas dari Raden Saleh."

Ketika "Potret R.A. Muningkasari" itu dia beli beberapa tahun lalu, warnanya kusam, kanvasnya kotor dan berjamur. Kini warnanya cerah; baru saja selesai dikonservasi beberapa minggu sebelumnya. "Saya punya konservator langganan, orang Shanghai yang belajar di Antwerp. Sekarang dia tinggal di Singapura," ungkap Oei.

Selina Halim, perempuan lulusan Australia ini adalah konsultan konservasi lukisan dan pelestarian koleksi di Jakarta. Halim menjelaskan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan kala menyimpan karya seni: suhu, kelembapan dan aliran udara, sumber cahaya, hama dan hewan peliharaan, polusi dan keasaman, serta keamanan. "Kalau lukisan sudah terlanjur rusak, pemilik harus segera berkonsultasi dengan konservator yang terlatih dan tepercaya untuk menentukan langkah yang akan diambil. Ini tidak mudah, karena belum tentu suatu teknik dapat diterapkan terhadap semua lukisan."

setelah enam tahun di dresden, Saleh kemudian mengunjungi Paris, pusat kegiatan seni dan budaya Eropa abad ke-19. Saleh bertemu pelukis Horace Vernet yang karyanya banyak mengambil tema hidupan liar Afrika. Dibandingkan karya Vernet, lukisan Saleh sepertinya lebih banyak terpengaruh pelukis besar aliran Romantisisme Prancis, Ferdinand Victor Eugène Delacroix. Misalnya, lukisan Saleh "Berburu Singa," yang dibuat pada 1840, komposisinya mirip sekali dengan lukisan Delacroix "Liberty," yang bertema Revolusi Prancis. Namun demikian, "Raden Saleh tidak pernah menyebut Delacroix," ujar Kraus, "Mungkin sebelumnya dia pernah melihat karya Vernet dan Delacroix di museum."

Saleh sering bolak-balik antara Jerman dan Prancis, hingga kepulangannya ke Belanda pada 1850. Di Dresden, "Saja dapet satoe sobat nama Majoor von Sere lakie binie ... dia bagitoe baik dan tjinta pada saja amper sepertie saja poenja bapa sendirie," kenang Saleh di dalam sebuah surat. Johann Friedrich Anton Serre adalah seorang pensiunan mayor yang mempunyai istana di tengah tanah luas di Maxen, sebuah desa di pegunungan 20 kilometer selatan Dresden. Serre kerap mengundang seniman menginap di istananya, menjadikannya pusat kebudayaan terkemuka di Jerman.!break!

Di sebuah ruang seni di selatan Yogyakarta, saya menghadiri presentasi Jutta Tronicke yang datang dari Dresden. Malam itu Tronicke me­nyempatkan berbagi cerita tentang masa Raden Saleh tinggal di Dresden. Dia berkisah soal pa­viliun kecil mirip masjid di tanah yang dia beli bersama suaminya pada 1995 dari seorang profe­sor Universitas Teknologi Dresden. Paviliun yang dikenal sebagai Masjid Biru telah masuk daftar monumen bersejarah sejak 1996, dibangun oleh Mayor Serre untuk Raden Saleh pada 1848.

Profesor Gottfried Glöckner, yang memiliki tanah tersebut sejak 1970, telah memperbaiki bangunan masjid yang rusak berat itu. Namun, karena tidak tahu bentuk aslinya, bangunan itu jadi sedikit berubah. Suami-istri Tronicke ke­­mudian meneruskan perbaikan dan berusaha mengembalikan ke bentuk aslinya dengan uang mereka sendiri—bahkan mengganti kubah mas­jid yang hancur dengan kubah seng baru pada 1997. Ada satu kutipan dari Raden Saleh di dalam Bahasa Jerman, dan satu kutipan lain beraksara Jawa —yang sudah tak terbaca—tertoreh di atas pintu masuk Masjid Biru, bermakna "Hormatilah Tuhan dan cintailah sesama manusia."

Kisah Raden Saleh dan Masjid Biru tinggalan­nya telah menjadi bagian dari Kota Maxen. So­sok Saleh dan replika masjid dihadirkan di dalam arak-arakan hari jadi Maxen yang ke-750 pada 2005. Seorang mahasiswa Indonesia yang ber­ada di Maxen memerankan Saleh. Dia berjalan bersama Hans Christian Andersen—diperankan oleh orang lain—yang juga pernah menginap di istana Mayor Serre. Replika masjid itu ditem­patkan di atas gerobak. "Siapa yang mau me­­merankan Raden Saleh di arak-arakan hari jadi Kota Maxen tahun depan?" tanya Tronicke me­nutup presentasinya.

Sejak kecil, Saleh ingin ke Eropa. Setelah ke­­sempatan itu datang, dia berkali-kali menolak pulang dan merengek minta uang saat bea­siswanya habis. Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda takut memulangkannya karena inlander yang pintar adalah inlander yang berbahaya.

Akhirnya, Raden Saleh pun menjejak kembali di Batavia, kini Jakarta, pada 1852. Lalu, dia mengunjungi ibunya di Semarang. Kembali ke Batavia, Saleh membeli sebidang tanah di Cikini, di tepi Sungai Ciliwung. Dia telah mendirikan rumah berlantai dua pada 1858 di tanah itu dengan mencontoh Istana Callenberg milik Ernst II, penguasa Saxe-Coburg dan Gotha. Saleh pernah lama menginap di istana itu ketika mengunjungi Coburg pada 1844.

Rumah Saleh dikelilingi kebun luas. Pada 1864, sebagian kebun itu dia hibahkan untuk dijadikan kebun binatang dan taman botani. Taman dibuka untuk umum dengan memungut satu gulden dari setiap pengunjung. Kebun binatang kemudian di­­tutup pada masa pergantian abad. Akhir 1960-an, di taman itu dibangun gedung kesenian yang kini kita kenal sebagai Taman Ismail Marzuki.!break!

Di rumah itu, Saleh tinggal dengan seorang janda bernama Constancia Winckelhagen. Saleh mengenal dia waktu pulang ke Semarang. Mereka tidak menikah karena hukum Belanda tidak memungkinkan lelaki Jawa muslim menikah dengan perempuan kulit putih Kristen. Hubungan me­reka tidak lama. Constancia menikah lagi, seda­ngkan Saleh sibuk merestorasi puluhan lukisan di kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melawat keliling Jawa.

Setelah Raden Saleh pindah ke Bogor, rumah besar di Cikini itu dibeli seorang keturunan Arab. Lalu, pada 1897 bangunan itu dibeli lagi oleh sebuah organisasi Belanda di bidang pelayanan kesehatan. Setahun kemudian di tempat itu dibuka Rumah Sakit Ratu Emma—cikal bakal Rumah Sakit P.G.I. Cikini. Dokter Rosiana K.S., selaku Kepala Hubungan Masyarakat R.S. P.G.I. Cikini, mengizinkan saya untuk melihat-lihat bekas rumah besar Raden Saleh itu. Kini, lantai bawah digunakan untuk kantor direksi dan ruang perawat. Lantai atas awalnya untuk kantor, tetapi sejak 2004 tidak digunakan lagi, karena lantai kayunya sudah lapuk. Gubernur Jakarta juga turut meninjau rumah ini pada 2010, namun tampaknya tidak ada tindak lanjut. "Gedung ini termasuk benda cagar budaya di bawah pengawasan Dinas Museum dan Pariwisata. Kami tidak berwenang melakukan penggantian; harus berdasarkan instruksi dan biaya dari pemerintah," ungkap Rosiana, "Kami hanya dapat melakukan perawatan ringan, seperti mengecat dan membersihkan."

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan bersejarahnya, "Penangkapan Pangeran Dipanagara" yang berukuran 112×178 sentimeter. Kini lukisan itu dipajang di ruang kerja Presiden di Istana Negara, Jakarta. Saleh menyelesaikannya pada 1857 , lalu mempersembahkan lukisan itu kepada Raja Willem III di Den Haag. Peristiwa "terjebaknya" pemimpin Perang Jawa pada 28 Maret 1830 itu sebelumnya pernah dilukis oleh seniman muda Belanda, Nicolaas Pieneman atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Saleh tentunya pernah melihat lukisan ini waktu dia di Eropa.

Seolah tidak sepakat dengan gambaran Pieneman, Saleh membuat banyak kebalikan dari versi Pieneman di dalam lukisannya. Kanvas Saleh besarnya hampir dua kali milik Pieneman. Pieneman melukis dari sisi kanan depan rumah Residen Kedu di Magelang, tempat Dipanagara dijebak, sementara Saleh dari kiri. Saleh menggambarkan Dipanagara tengah menahan amarah, padahal dia tampak lesu dan pasrah di dalam lukisan Pieneman. Soal pemberian judul, Pieneman memakai kata "Penyerahan Diri" sementara Saleh "Penangkapan". Saleh barangkali pernah ke kediaman Residen Kedu itu ketika mengunjungi Magelang pada 1853, sedangkan Pieneman tidak sekali pun pernah ke Hindia Belanda—sebab itu dia melukis anak buah Dipanagara seperti orang Arab.

Sejarawan Inggris dari Oxford University, Peter B.R. Carey, telah mendalami Perang Jawa dan riwayat pemimpinnya. Dia menemukan lukisan tersebut, lalu mencoba menggali sosok pelukis­nya. Ketika di Yogyakarta, Carey menyampaikan sejumlah tafsirnya terhadap lukisan Saleh, bah­wa orang-orang Belanda tampak seperti monster karena kepala mereka dilukis terlalu besar. Saleh sendiri menghadirkan dirinya di dalam lukisan itu sebanyak tiga kali di te­ngah pengikut Dipanagara. "Tidak ada triwarna bendera Be­landa, seolah dilupakan oleh Raden Saleh. Kusir memegang cambuk tetapi cambuk itu patah. Ini satu pagi yang baru, tetapi bukan fajar baru bagi Belanda, melainkan bagi orang pribumi Indone­sia," ungkap Carey. Dia meyakini Saleh melalui lukisan ini telah meramalkan kemerdekaan Indo­nesia. Tafsir seperti itu memunculkan pendapat, bahwa Raden Saleh sedang menunjukkan nasionalismenya.

"Itu absurd," tukas Enin Supriyanto ketika saya minta tanggapannya soal pendapat Carey. "Pertama, waktu itu Indonesia belum ada, lalu nasionalisme itu merujuk ke mana. Kedua, bagaimana bisa kita menyebut Raden Saleh na­sionalis hanya dengan melihat satu lukisan dan tidak memperhatikan lukisan dia yang lain, yang mungkin ada ratusan jumlahnya. Bagaimana kita membandingkannya?"!break!

"Penangkapan Pangeran Dipanagara" baru pulang ke Indonesia pada 1978 setelah 121 tahun milik Kerajaan Belanda. Kepulangan itu meru­pakan pengejawantahan perjanjian kebudayaan antara Indonesia dan Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian benda-benda kebudayaan milik Indonesia yang pada masa lalu telah diambil, dipinjam, atau dipindahtangankan ke Belanda. Adalah almarhum Koesnadi Hardjasoemantri, Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag waktu itu, yang membuat kategorisasi ini.

Masalahnya, lukisan itu tidak termasuk ke­tiga kategori itu. Sejak semula Raden Saleh telah mempersembahkannya kepada Raja Belanda sehingga lukisan itu tidak pernah menjadi mi­lik Indonesia. Lalu, Hardjasoemantri membuat kategori keempat, benda kebudayaan dari Indo­nesia yang diberikan kepada Belanda. Akhirnya, adikarya Saleh itu akhirnya pulang ke Indonesia sebagai hadiah dari Istana Oranye.

Saya berbincang dengan Mikke Susanto di rumah mungilnya yang nyaman, Godean, Yog­yakarta. Susanto adalah kurator seni dan pengajar di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia. Dia dipanggil menjadi konsultan kuratorial koleksi Museum Istana Kepresidenan pada 2009.

"Ternyata, selama ini lukisan koleksi negara hanya dinilai nol dan satu rupiah. Itu kebijakan Sekretariat Negara sejak zaman Presiden Suhar­to," ungkap Susanto, "Departemen Keuangan juga punya sistem sendiri menaksir nilai aset negara, kecuali lukisan. Jadi, mereka bingung."

Selain "Penangkapan Dipanagara," negara juga punya karya Saleh lainnya, seperti "Antara Hidup dan Mati" dan "Harimau Minum" di Bogor, "Potret Orang Tua Memegang Globe" di Jakarta, dan dua "Berburu Banteng"—masing-masing di Yogyakarta dan Bali. Enam lukisan seharga enam rupiah. "Sekarang semua sudah dinilai sesuai harga yang wajar," ujar Susanto.

Soal kondisi keenam lukisan itu, Susanto kesulitan mencari ungkapan yang tepat. "Secara umum tidak terlalu parah lah, tetapi memang perlu direstorasi." Mengapa tidak direstorasi? "Karena biayanya terlalu mahal. Bagaimana negara dapat mengeluarkan seratus juta rupiah, misalnya, untuk merawat lukisan yang harganya satu rupiah? Ini harus dibenahi terlebih dahulu."!break!

Dalam perjalanan keliling Jawa 1850-an dan 1860-an, Saleh membuat lukisan potret sejumlah penguasa keraton di Jawa. Dia juga menerjemah­kan banyak naskah lokal kuno, mengumpulkan benda-benda pusaka lokal, dan melakukan peng­galian fosil atas biaya dari pemerintah dan bebe­rapa organisasi Belanda. Kontribusi awal Raden Saleh di bidang paleontologi itu diakui oleh peneliti Marie Eugène François Thomas Dubois dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald yang kemudian menemukan fosil Homo erectus di Sangiran, Jawa Tengah.

Raden Saleh membuat sebuah buku pelajaran menggambar untuk anak-anak sekolah pada 1863. Buku itu dicetak dengan teknik litografi sebanyak 120 eksemplar, lantas disebarkan di Jakarta, Bogor, Karawang, Semarang, Madura, Probolinggo, dan Padang. Perpustakaan Nasi­onal masih menyimpan sebanyak 26 dari 44 litograf asli Raden Saleh. Kraus mengatakan, "Buku ini penting karena menandakan dimulainya pelajaran ke­­senian Indonesia."

Museum Keraton Yogyakarta menyimpan empat potret Sultan dan Permaisuri yang dilukis Raden Saleh. Ukurannya besar dan diletakkan di ruang terbuka. Warnanya kusam termakan usia, perlu segera dikonservasi. "Nilainya masing-masing bisa mencapai tiga juta dolar Amerika," kata Kraus.

Saleh menikahi seorang gadis muda dari kalangan ningrat Yogyakarta, Raden Ayu Danudirja pada 1867. Ayahnya seorang pengikut Dipanagara sewaktu Perang Jawa. Setelah menikah, pa­sangan yang usianya terpaut cukup jauh itu pindah ke Bogor. Saleh mengontrak rumah dekat Kebun Raya Bogor, sebelah Hotel Belle Vue milik Garreau Frères, yang kini menjadi Bogor Trade Mall, berlatar pemandangan indah Gunung Salak.

Tujuh tahun kemudian, Saleh membawa istrinya ke Eropa dan tinggal di sana selama empat tahun. Mereka mengunjungi sejumlah kota di Belanda, Jerman, Italia, dan Prancis. Malangnya, Danudirja sakit di Paris—hingga kini tak jelas apa sakitnya. Penyakit itu terus menggerogoti kesehatannya hingga dia pulang ke Bogor. Tampaknya Saleh merasa ajal istrinya kian dekat sehingga dia membeli sepetak tanah untuk makam istrinya.

Namun, Jumat siang, 23 April 1880, Raden Saleh yang paginya masih sehat, mendadak jatuh sakit. Sebelumnya, Saleh melaporkan seorang pelayannya kepada polisi dengan tuduhan pen­curian. Saleh curiga dan menuding pelayan itu meracuni dia lantaran tidak terima dituduh men­curi. Raden Saleh meninggal sore hari itu juga. Pemeriksaan dokter usai kematiannya menun­jukkan telah terjadi penggumpalan darah di pem­buluh jantung sehingga mengganggu peredaran darah—bukan karena racun. Saleh dimakamkan dua hari kemudian di tanah yang dia pilih sendiri untuk makam istrinya di Kampung Empang, Bo­gor. Koran Java Bode edisi 28 April 1880 mengabarkan: "Pada hari Minggoe tanggal 25 April djam 6 pagi maitnja Raden Saleh di­iringi oleh banjak toean-toean ambtenaar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy dan lain-lain toean tanah, ...sampe anak-anak Djawa dari Land­bouwschool semoea antar itoe mait ke koeboer."!break!

Beberapa bulan sepeninggal Saleh, kesehatan Danudirja kian memburuk. Akhirnya janda itu meninggal pada 31 Juli 1880. Pasangan itu tidak memiliki keturunan. Saleh pun tidak membuka sekolah ataupun sanggar sehingga dia tidak punya penerus.

Saya berziarah ke makam Raden Saleh dan istrinya. Awalnya, makam mereka tertutup ilalang tinggi ketika ditemukan tak sengaja oleh Mas Adung Wiryaatmaja pada 1923. Wiryaatmaja kemudian mengurusi makam itu hingga lebih dari enam puluh tahun. Kini, seorang keponakan Wiryaatmaja yang meneruskannya.

Presiden Sukarno memerintahkan makam itu dipugar; mengganti nisan yang bergaya Eropa dengan lazimnya nisan pribumi pada 1953. Lalu, atas gagasan Galeri Nasional Indonesia, makam dipugar lagi pada 2006. Lelakon berikutnya, Presiden Yudhoyono menyerahkan Bintang Maha Putra untuk Raden Saleh kepada Walikota Semarang pada 2010.Sejatinya, Saleh adalah orang yang beruntung. Enin Supriyanto sepakat juga soal ini. Saleh mendapatkan kesempatan untuk mengembang­kan dirinya dan dia sungguh memanfaatkan ke­­­sempatan itu. Namun, dia pun membayar mahal untuk semua itu, dengan menjadi pribadi yang kesepian hingga akhir hayatnya. Di Belanda dia tak leluasa melakukan apa yang dia kehendaki. Di Jerman, dia menyatakan menolak perbudakan dan penjajahan, tetapi tetap tak bisa berbuat apa-apa. Pulang ke Jawa, dia tidak betah—karena "di sini orang hanya membicarakan kopi dan gula, gula dan kopi"—dan ingin kembali ke Eropa.

Bagi Kraus, Saleh adalah orang yang kehilangan jati diri. Peter Carey punya pendapat yang sama. Saleh telah tercerabut dari latar belakang budayanya sebagai orang Jawa, namun juga tidak dapat sepenuhnya diterima di kebudayaan modern Barat. Dia terdidik tetapi bukan ilmuwan. Kaya tetapi bukan juragan. Ningrat tetapi bukan kerabat dekat kerajaan. Keturunan Arab tetapi sudah sekian generasi yang lampau. Semua serba tanggung.

Di sudut Museum Sejarah Jakarta, Kraus memeriksa beberapa lukisan karya Saleh. Dia tengah mempersiapkan pameran tunggal Raden Saleh yang pertama di Jakarta, juga Indonesia, pada Juni 2012. Sejumlah lukisan yang ukuran­nya tak lebih dari kertas A3 itu kondisinya me­milukan. Warnanya memburam—lukisan potret Herman Willem Daendels sampai nyaris meng­hitam. Sebagian lukisan ditempel di permukaan kayu sehingga kanvasnya tidak lagi lentur. Ham­pir semua bagian belakang kanvas ditutup plastik sehingga lembap. Beberapa lukisan berlubang-lubang kecil akibat dimakan serangga. Bahkan, lukisan potret Johannes van den Bosch sobek di bagian dada.

Raut wajah Werner Kraus berubah, seperti awan hitam yang tiba-tiba menggelayut pada pagi hari nan cerah. Irina Vogelsang, asistennya, lalu menepuk pundaknya. "Jangan menangis, Pak!"