Pionir di Celah Dua Loka

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 13:36 WIB

Di Dresden, tema lukisan Saleh bergeser dari potret dan pemandangan ke perburuan, yang didasarkan pada sketsa-sketsa singa dan harimau yang dia buat di sirkus Martin. Sebab lain, permintaan dari para pembeli lukisan—dia perlu uang karena tidak lagi ditunjang beasiswa dari Belanda. Nantinya, Saleh tak lagi melukis tema perburuan setelah pulang ke Jawa, dia kembali melukis potret dan pemandangan.

Sebuah lukisan Raden Saleh dari masa itu turut ditawarkan dalam lelang pertengahan 2011, setelah cukup lama tak terlacak keberadaannya. Lukisan berjudul "Upaya Terakhir" itu menggambarkan seorang lelaki Arab dengan penuh kecemasan berpegangan pada ranting pohon besar di tepi jurang. Sementara itu kuda yang dia tunggangi, lehernya digigit seekor singa. Lelaki itu mengambil upaya terakhir untuk menyelamatkan diri.

Lukisan itu terjual kepada seorang kolektor di Indonesia seharga 2,79 juta dolar AS atau sekitar 25 miliar rupiah, yang menjadikannya kanvas Raden Saleh termahal yang pernah terjual. "Lukisan itu adalah lukisan Saleh yang paling penting yang dilukis di Eropa. Dibuat pada 1842, lukisan itu kemudian dibeli oleh seorang kolektor dari Leipzig dengan harga yang sangat tinggi waktu itu—setara 670 gram emas 22 karat," ungkap Werner Kraus.

Sayang, kolektor yang mendapatkan adikarya Raden Saleh dengan harga mahal itu itu menolak saya temui. Dia menyarankan agar saya bertemu dengan seorang kolektor lain yang lebih senior.

Berangkat dari saran itu, saya menuju Magelang, Jawa Tengah untuk bertemu kolektor seni pribadi, Oei Hong Djien. Di museum yang dibangun di belakang rumahnya, Oei memiliki koleksi seni rupa modern dan kontemporer Indonesia yang bisa dibilang paling lengkap. !break!

Di Indonesia, setidaknya ada enam kolektor pribadi yang memiliki karya Saleh—kebanyakan diperoleh dari lelang. Menurutnya, ada keinginan dari kolektor Indonesia untuk membawa karya Saleh "pulang" ke Tanah Air, selain tentunya mengejar nilai gengsi sebagai simbol status.

Oei punya satu karya Saleh, yaitu "Potret R.A. Muningkasari," adik pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita, dilukis pada 1864. "Sebab saya punya museum, aspek sejarah menjadi penting. Dan sejarah seni rupa Indonesia modern tidak bisa lepas dari Raden Saleh."

Ketika "Potret R.A. Muningkasari" itu dia beli beberapa tahun lalu, warnanya kusam, kanvasnya kotor dan berjamur. Kini warnanya cerah; baru saja selesai dikonservasi beberapa minggu sebelumnya. "Saya punya konservator langganan, orang Shanghai yang belajar di Antwerp. Sekarang dia tinggal di Singapura," ungkap Oei.

Selina Halim, perempuan lulusan Australia ini adalah konsultan konservasi lukisan dan pelestarian koleksi di Jakarta. Halim menjelaskan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan kala menyimpan karya seni: suhu, kelembapan dan aliran udara, sumber cahaya, hama dan hewan peliharaan, polusi dan keasaman, serta keamanan. "Kalau lukisan sudah terlanjur rusak, pemilik harus segera berkonsultasi dengan konservator yang terlatih dan tepercaya untuk menentukan langkah yang akan diambil. Ini tidak mudah, karena belum tentu suatu teknik dapat diterapkan terhadap semua lukisan."

setelah enam tahun di dresden, Saleh kemudian mengunjungi Paris, pusat kegiatan seni dan budaya Eropa abad ke-19. Saleh bertemu pelukis Horace Vernet yang karyanya banyak mengambil tema hidupan liar Afrika. Dibandingkan karya Vernet, lukisan Saleh sepertinya lebih banyak terpengaruh pelukis besar aliran Romantisisme Prancis, Ferdinand Victor Eugène Delacroix. Misalnya, lukisan Saleh "Berburu Singa," yang dibuat pada 1840, komposisinya mirip sekali dengan lukisan Delacroix "Liberty," yang bertema Revolusi Prancis. Namun demikian, "Raden Saleh tidak pernah menyebut Delacroix," ujar Kraus, "Mungkin sebelumnya dia pernah melihat karya Vernet dan Delacroix di museum."

Saleh sering bolak-balik antara Jerman dan Prancis, hingga kepulangannya ke Belanda pada 1850. Di Dresden, "Saja dapet satoe sobat nama Majoor von Sere lakie binie ... dia bagitoe baik dan tjinta pada saja amper sepertie saja poenja bapa sendirie," kenang Saleh di dalam sebuah surat. Johann Friedrich Anton Serre adalah seorang pensiunan mayor yang mempunyai istana di tengah tanah luas di Maxen, sebuah desa di pegunungan 20 kilometer selatan Dresden. Serre kerap mengundang seniman menginap di istananya, menjadikannya pusat kebudayaan terkemuka di Jerman.!break!

Di sebuah ruang seni di selatan Yogyakarta, saya menghadiri presentasi Jutta Tronicke yang datang dari Dresden. Malam itu Tronicke me­nyempatkan berbagi cerita tentang masa Raden Saleh tinggal di Dresden. Dia berkisah soal pa­viliun kecil mirip masjid di tanah yang dia beli bersama suaminya pada 1995 dari seorang profe­sor Universitas Teknologi Dresden. Paviliun yang dikenal sebagai Masjid Biru telah masuk daftar monumen bersejarah sejak 1996, dibangun oleh Mayor Serre untuk Raden Saleh pada 1848.