Rupanya, kerukunan hidup beragama saat itu telah terbina dengan baik. Dia juga melukiskan bagaimana orang-orang Majapahit menggemari barang-barang Cina seperti keramik biru, kain sutera berhias benang emas, kesturi, dan manik-manik. Bahkan, Raja Majapahit secara berkala mengirimkan utusan yang mengangkut barang-barang asal Jawa, dan mempersembahkannya kepada Kaisar di Cina.
Berdasarkan temuan keramik menurut periodenya, Eriawati memaparkan, bangunan-bangunan ini dihuni dalam masa yang lebih panjang sekitar abad ke-14 sampai 15. Kemudian hunian berlanjut hingga awal abad ke-16 dengan masa yang lebih singkat. Temuan lain yang tak kalah menarik di sekitar permukiman kuno itu adalah fragmen perhiasan emas dan perunggu, beberapa koin Cina abad ke-12, hingga potongan tulang babi dan kerbau. Kemungkinan berbagai tulang itu menunjukkan jenis satwa yang dulu disantap oleh penghuni permukiman itu.
Saya menanyakan soal bagaimana penyajian santapan zaman Majapahit kepada Lien Dwiari Ratnawati di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Sebagai Kepala Subdirektorat Perlindungan Kekayaan Budaya yang sekaligus penghobi kuliner, Ratnawati selalu menyiapkan aneka kudapan biskuit dan keripik di laci meja kerjanya.
Menurutnya, berbagai prasasti peresmian daerah perdikan Majapahit menyebutkan jenis makanan yang disediakan dalam acara tersebut. Tak diduga, cara penyajian makanan masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang: nasi tumpeng dengan lauk-pauk; seperti daging, kerbau, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lauk diolah dengan diasinkan, diasamkan, diasap, dipanggang, hingga direbus.
“Seperti gunungan, ada sayur-sayurannya,” ungkap Ratnawati. Bahkan, tempat “makannya pakai daun pisang, sama seperti masa sekarang.” Dari prasasti peresmian daerah perdikan pula para ahli arkeologi telah mengungkap tentang sejarah hunian di Majapahit. Tiga buah prasasti tembaga pada masa Pu Sindok—lanjutan dinasti Mataram Kuno—yang ditemukan di Trowulan menunjukkan bahwa desa itu merupakan permukiman berkesinambungan sejak abad ke-10.
Bahkan, Candi Brahu dan Gentong diduga warisan dari dinasti itu. Lalu, Singhasari pada masa Kertanagara juga pernah berjejak berdasar sebuah prasasti yang memperingati penanaman pohon boddhi di Trowulan.
PENERUS SINGHASARI KELAK menentukan takhta Majapahit. Alkisah di akhir abad ke-13 tatkala Singhasari pada masa Kertanagara, terjadilah pemberontakan Jayakatwang, penguasa Kadiri yang menjadi kerajaan bawahan Singhasari. Akibat pemberontakan yang dipicu balas dendam itu Singhasari menemui kehancurannya. Namun, ada kebangkitan kembali berkat menantu Kertanagara sendiri, yaitu Raden Wijaya.
Nama “Majapahit” ditahbiskan ketika Raden Wijaya dan pengikutnya asal Madura tengah mendirikan sebuah permukiman di pinggiran Sungai Brantas, hutan orang-orang Trik. Tatkala para pengikut yang sedang membuka hutan itu kelaparan, mereka makan buah maja yang rasanya pahit. Lalu, lahirlah Majapahit menjadi nama desa.
Sumber naskah Jawa tertua yang menyebutkan daerah bernama Majapahit itu adalah kitab yang baru ditulis pada 1600, Serat Pararaton. Naskah kuno itu tidak menyebutkan Majapahit sebagai ibu kota, melainkan suatu permukiman ketika Raden Wijaya mempersiapkan perjuangannya untuk merebut kembali kejayaan Singhasari.
Akhirnya, Raden Wijaya berhasil merebut kekuasaan dari pemberontak. Kemudian dia bertakhta di Ibu Kota Majapahit sebagai raja yang pertama bergelar Kertarajasa Jayawarddhana pada 10 November 1293, yang diperingati sebagai hari jadi Majapahit. Kelak dia menurunkan raja-raja Majapahit, dan raja-raja penerusnya di Tanah Jawa yang bertakhta hingga hari ini.
“Kita tidak tahu sebenarnya di mana ibu kota itu,” kata Hasan Djafar—ahli arkeologi, epigrafi dan sejarah kuno—yang pernah meneliti soal masa akhir Majapahit. Sejauh ini tidak ada sumber tertulis yang menyebutkan secara tersurat lokasi persisnya Majapahit. Namun menurut Djafar, berita Cina yang ditulis Ma Huan menyebutkan sebuah ibu kota yang terletak sisi barat daya Canggu—pelabuhan kuno di tepian Sungai Mas—sejauh berjalan kaki selama satu setengah hari. “Kalau kita perhitungkan lokasinya sekitar Trowulan sekarang,” ungkapnya.
Dari catatan Ma Huan sepertinya Majapahit telah pindah dari pinggiran Brantas ke daerah agak pedalaman, namun pelabuhan dan sungai masih merupakan jalur utama menuju kerajaan itu. Prasasti Canggu pada 1358 menyebutkan tentang tempat penyeberangan di sungai-sungai besar, seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Pertumbuhan tak hanya di daerah pedalaman, tetapi juga di daerah sepanjang pantai utara Jawa. Djafar berpendapat hal ini membuka peluang Majapahit menjadi kerajaan yang bukan hanya agraris, melainkan juga komersial sebagai kerajaan maritim.