SEBUAH PERMUKIMAN TENTUNYA memiliki ruang. Saya kemudian terbang ke Palembang untuk menemui Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang. Rangkuti pernah mengajukan konsep ruang Ibu Kota Majapahit seluas sembilan kali sebelas kilometer. Tatkala Rangkuti menyisir zona peralihan antara kenampakan kekotaan dan kedesaan Majapahit pada 2003, dia mendapati tiga yoni berukuran besar di tiga desa: Lebak Jabung, Sedah, dan Klinterejo.
Yoni-yoni itu tak hanya berukuran besar, namun juga berukir hiasan raya dan bercerat naga bermahkota. Dia juga menemukan sisa-sisa kompleks pemujaan Siwa di sekitar yoni-yoni tersebut. Setelah menghubungkan titik-titik koordinat ketiga desa itu, dia mendapatkan titik yang keempat berada di Desa Tugu-Badas, sisi barat laut Trowulan. Sayangnya, Rangkuti tidak menemukan yoni berukuran besar dan bercerat naga di Tugu-Badas.
Meskipun demikian, dia menganggap Tugu-Badas mewakili titik penting lantaran adanya temuan batu-batu candi di desa itu. “Yoni itu hanya salah satu komponen,” ungkap Rangkuti. “Komponen lainnya adalah bangunan suci atau pura.” Jika keempat titik tersebut dihubungkan dengan garis akan tampak sebuah kawasan persegi yang sempurna dengan lebar sembilan kilometer dan panjang sebelas kilometer.
Dia menduga bahwa empat titik ini memang sengaja dirancang oleh para penata laksana Majapahait terkait dengan kawasan ibu kota yang mereka bangun. “Ini bukan batas kota sebenarnya,” kata Rangkuti, “tetapi adalah konsepsi tentang penataan ruang Majapahit.”
Di bilangan Jakarta Selatan, saya berkesempatan bertemu dengan Junus Satrio Atmodjo selaku Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia yang pernah terlibat dalam penyusunan Rencana Induk Arkeologi Trowulan pada 1983-1986. Saya bertanya kepadanya apakah temuan empat titik yang dikemukakan Rangkuti suatu kebetulan belaka? “Susah juga kalau itu kebetulan,” jawabnya, “garis-garis itu begitu manis bentuknya. Jarak satu dengan yang lain bisa pas!”
Namun, dia buru-buru menambahkan, terdapat perbedaan antara arah orientasi konsepsi wilayah Ibu Kota Majapahit yang disajikan Rangkuti dan arah orientasi kompleks bangunan Trowulan yang ada didalamnya—permukiman kuno, candi, dan kanal. “Kok bisa punya dua mata angin yg berbeda?” sanggahnya.
Kami akhirnya membicarakan soal karut marutnya pelestarian situs-situs bersejarah di Indonesia. Menurut Atmodjo, kebudayaan dalam pemerintahan sekarang telah membentuk kesempatan seseorang untuk memperkaya diri dan penuh kepentingan politik. “Jadi seharusnya ada politik kebudayaan,” ujarnya. “Kebudayaan itu adalah urusan wajib sedangkan pariwisata itu urusan pilihan.”
Saya jadi teringat pemaparan Mundardjito, bahwa kebijakan politik kebudayaan itu tidak berjalan. Kasus perusakan oleh negara atas tinggalan Majapahit terjadi lagi ketika pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di lahan Museum Trowulan pada 2008. Dia melihat sendiri tatkala pondasi-pondasi bangunan PIM yang rencananya untuk melindungi tinggalan Majapahit itu justru menghancurkan apa yang seharusnya dilestarikan—perusakan sebelumnya: pembangunan Balai Penyelamatan Arca pada awal 1980-an yang kelak diresmikan sebagai Museum Trowulan. Dia pun harus melapangkan dadanya melihat seluruh kronologi lapisan budaya Majapahit kian hari kian tergerus habis. “Itulah hakekat data arkeologi di Trowulan,” ujarnya, “dan, kita harus merekonstruksinya dengan cara apa pun.”
Suatu sore di Bintaro, Tangerang Selatan, saya berkunjung ke studio arsitektur nan asri milik Osrifoel Oesman, lelaki penyuka busana hitam yang kerap mengikat rambutnya. Oesman mungkin satu-satunya sarjana arsitektur yang menekuni studi arkeologi di Indonesia. Pada akhir 1990-an, dia merekonstruksi bangunan hunian situs Kota Majapahit di Trowulan. Dia telah sampai pada kesimpulan bahwa sebagai suatu kota, Majapahit mempunyai tiga kategori ruang.
Pertama, ruang makro yang terletak di luar kanal. Kedua, pusat kota metropolitan yang berada di sepanjang jaringan kanal. Ketiga, permukiman. “Bicara kota tanpa permukiman itu sama saja bohong,” tuturnya. Penggalian arkeologi Situs Segaran dekat Museum Trowulan telah memunculkan informasi bangunan rumah terlengkap sepanjang masa klasik Indonesia. Berdasar temuan arkeologi, etnografi, dan paparan relief-relief candi yang melukiskan rumah masa Majapahit, Oesman bisa membayangkan seperti apa permukiman kota kuno itu.
Ibarat kembali ke masa lalu, kemudian membangunnya kembali di masa kini, menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, terdapat pengelompokan rumah berukuran besar, sedang, dan kecil. Arsitektur Majapahit masih bisa ditemui padanannya dengan rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip Bali, tapi Bali-lah yang mirip Majapahit,” ungkap Oesman dengan tegas.
Rekonstruksi yang dilakukan Oesman telah membuktikan bahwa pola rumah-rumah di Ibu Kota Majapahit mempunyai suatu sistem yang berpola orientasi yang sama, 5-12 derajat dari arah utara. Ternyata kearifan lokal arsitektur tradisional di Majapahit—dan mungkin berlaku untuk tradisi lain—utamanya bukan dalam hal penataan bangunan, melainkan penataan untuk ruang hidup.