Metropolitan yang Hilang

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 10:34 WIB

Saya turut menyaksikan karya rekonstruksi rumah Majapahit dalam pameran ”Majapahit Puncak Peradaban Nusantara Abad 13-14 Masehi” di Museum Nasional pada pertengahan 2007. Dalam pendaran tata lampu nan elok: Rumah dengan skala sesungguhnya berdiri di atas batur, atapnya genting berukel, berdinding anyaman bilah-bilah bambu. Ada dua anak tangga kecil yang mengantarkan penghuninya masuk melewati pintu. Dapur lengkap dengan tempayan berada di samping rumah. Penghuni rumah tampaknya menghindari genangan di halaman rumahnya dengan parit kecil yang mengelilingi rumah dan hamparan susunan kerakal bulat berbingkai batu bata untuk memudahkan air meresap. Sangat arif!

Sambil mengisap kretek, Oesman mengenang peristiwa lima tahun lalu dan berkisah kepada saya. Seminggu sebelum pameran dia dida­tangi oleh seorang anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Dia meminta Oesman untuk memperlebar tangga dan pintu rumah itu hanya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana meresmikan pameran. Oesman menolak dengan alasan rumah itu merupakan hasil rekonstruksi. Namun, pada saat pembukaan akhirnya Presi­den masuk ke rumah tersebut dengan hati-hati. Dia tampaknya terkesan dengan rumah mungil itu lalu bertanya kepada Oesman.  “Kalau begitu konsep Rumah Sangat Sederhanakita masih terlalu besar ya. Itu luasnya berapa?”“Sekitar dua belas meter persegi, Pak.” “Kalau begitu bisa kita kecilin ya RSS itu?” (luas RSS adalah dua puluh satu meter persegi).“Silakan saja, Pak,” ujar Oesman sambil tersenyum hormat.Rumah dalam tradisi tropis seperti Indonesia biasanya berukuran kecil karena menghadapi iklim yang lebih ramah diban­dingkan rumah-rumah di iklim empat musim. “Arsitektur kita itu arsitektur halaman,” kata Oesman kepada saya. “Fungsi rumah itu hanya untuk tidur.”

SUATU SIANG DI BEKAS permukiman tepian kanal kuno. Saya menyambangi Suwadji, seorang penggarap batu bata di Dusun Kamasan, Desa Sentonorejo. Ketika saya datang, lantai kuno—susunan kerakal berpembatas batu bata—yang terhampar di lahan miliknya itu sudah tak utuh lagi. Tanahnya telanjur dibongkar. Seorang buruhnya pernah menemukan jambangan tembikar bermotif gajah dan ikan, namun saat ini sudah dijual kepada seorang warga desa yang sering berkeliling mencari barang antik. “Begitu ketemu, saya jual laku Rp200.000,” kenangnya.

Banyak juga pemburu barang antik luar kota bermain di situs ini. Yoesoep, pemuda desa yang bekerja di linggan Sentonorejo, tahun lalu didatangi beberapa orang bermobil yang mengaku dari BP3, tanpa surat identitas atau surat tugas. Mereka membeli temuan Yoesoep berupa piring seladon bercorak ikan dan lima ratus batu bata kuno ukuran besar senilai Rp10,5 juta. “Kami tahu itu memang merusak, tapi ini urusan perut. Itu tidak bisa ditunda!” ungkap Yoesoep ketika saya tanya mengapa dia masih menggali tanah untuk membuat batu bata.

Tanpa kegiatan penambangan tanah untuk batu bata, Trowulan pun kian rusak. Pertumbuhan penduduk juga telah meningkatkan permintaan tanah untuk permukiman di desa itu, juga permakaman. Pada 2008 seorang mantan gubernur dan petinggi militer di Jawa Timur membangun kompleks permakaman keluarga di kawasan yang padat temuan arkeologisnya. Kompleks makam itu seluas delapan ribu meter persegi yang berdampingan dengan situs sejumlah umpak persegi delapan di Pendopo Agung. Apakah tidak ada perlindungan dari negara terhadap kawasan ini?

“Dasarnya kita melarang apa?” ungkap Aris Soviyani selaku Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur (BP3) ketika saya menanyakan pembangunan permakaman tersebut dan maraknya pendirian bangunan di kawasan Trowulan. “Secara legal formal tidak ada yang disalahkan. Kenapa harus diributkan?”

“Kawasan Trowulan itu belum ada statusnya hukumnya,” kata Soviyani. “Sekarang BP3 tidak mempunyai kewenangan menetapkan cagar budaya bergerak maupun tidak bergerak.” Dia sadar terdapat lebih dari tiga ribu titik pembuatan batu bata yang berkait dengan perut warga Trowulan. Namun, sebagai pelestari dia tak kuasa untuk menghentikan perusakan karena menurutnya dia tidak punya alat untuk menegakkan hukum. Jika pemerintah menganggap penting Trowulan, Soviyani berpendapat, sebaiknya kawasan itu segera dibebaskan dari segala aktivitas penduduk.

“Saya tidak setuju pendapat itu,” ujar Mundardjito di kediamannya, Rawamangun, Jakarta Timur, ketika saya minta tanggapan tentang pendapat Soviyani. Menurutnya,  siapa saja yang menemukan benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang “diduga cagar budaya” wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang. “Setiap orang dilarang melakukan pencarian benda cagar budaya atau yang diduga cagar budaya tanpa seizin pemerintah,” katanya sambil menunjuk beberapa butir landasan hukum. “Ketentuan pidananya kuat.”

Mundardjito menambahkan bahwa pemerintah tidak harus membebaskan kawasan Trowulan atau memindahkan semua penduduknya. Namun, yang terpenting, pemerintah harus mempunyai peraturan untuk menata dan melindungi kawasan itu. “Dikuasai pemerintah itu tidak berarti harus dibeli,” ujarnya.

Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya menjumpai Surya Helmi selaku Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Kawasan Trowulan, menurut penjelasan Helmi, saat ini sedang menunggu proses penetapan—yang tak bisa ditentukan waktunya—sebagai Kawasan Strategis Nasional mengingat cakupan situs yang luas dan sangat signifikan untuk sejarah.

Nantinya, apabila kawasan strategis itu terwujud, pemerintah daerah wajib mencarikan solusi bagi masyarakat yang bekerja sebagai pembuat batu bata untuk pindah ke sektor pekerjaan lainnya. Helmi berharap kepada para kepala daerah supaya tak hanya berorientasi untuk meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga turut menjaga nilai budaya kawasan ini. “Otonomi daerah itu sudah jelas,” kata Helmi, “pemerintah daerah berkewajiban menganggarkan dana untuk pelestarian cagar budaya di daerahnya.”

Helmi, melalui pendekatan persuasifnya kepada masyarakat, menginginkan situs Trowulan tidak lagi seakan-akan hanya milik satu lembaga. Situs ini harus mendatangkan kesejahteraan seluas-luasnya untuk masyarakat Trowulan. “Kita mencoba memberikan pengertian dan kompensasi insentif bagi para pelestari.”

Tak semua pembuat batu bata di Trowulan menghancurkan tembok-tembok kuno atau menjual temuan ke pemburu barang antik. Ruskan, pembuat batu bata berusia 65, menemukan bangunan air dari batu bata ketika sedang menambang tanah di belakang rumahnya, Nglinguk Wetan, Desember 2009. Atas kesadarannya, dia melaporkan ke BP3 dan merawat temuan yang mirip kolam seluas lapangan bola voli itu. Ruskan pun rela tidak melanjutkan penambangan tanah lagi karena lahannya berada di situs bersejarah. Bahkan, dia memilih membeli tanah dari luar Trowulan untuk bahan baku. “Saya rawat, tidak akan saya jual,” ujar Ruskan dengan bahasa Jawa halus. “Kalau perlu saya melakukan pekerjaan lain.”

Tulus Andrias sedang sibuk di bengkelnya ketika saya bertandang. Dia menemukan enam belas peralatan kuno dari besi dan gading di galian untuk bahan batu bata belakang rumahnya di Kemasan pada April 2010. Dia juga melaporkan atas temuan enambelas sumur kuno di lokasi yang sama. Andrias diganjar ucapan terima kasih sebesar Rp2,5 juta dari BP3. Di linggannya yang masih mengepul dia menghampiri saya dan berucap lirih tentang apa yang sudah dipikirkannya sejak dulu, tetapi tak sampai hati mengatakannya: “Aku punya anak laki-laki apakah bisa dikaryakan di museum?”

Misdi lelaki berusia 61, mantan buruh linggan Andrias, menemukan tinggalan Majapahit yang menggegerkan seisi desa. Pada Agustus 2003, sebuah mata tombak besi tak sengaja tercangkul. Tombak itu berhiaskan ukiran gajah dan babi sepanjang 66 sentimeter yang sebagian berlapis emas. Misdi menerima imbalan jasa sebesar Rp9 juta karena telah menyerahkan temuan itu kepada BP3. “Saya sekarang kerja di Museum Trowulan sejak 2005 sebagai pegawai honorer merawat taman dan koleksi,” kata Misdi.

Kisah-kisah pelestari tadi mungkin teladan kecil betapa pentingnya pemahaman antara harapan pemerintah dan kepedulian masyarakat. Saya bertemu lelaki muda Koordinator Museum Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho. Menurutnya, masyarakat Trowulan sebenarnya punya kepedulian, namun telanjur dijustifikasi sebagai agen perusak. Nugroho menduga bahwa hal itu terjadi karena mereka terlalu lama tidak turut dilibatkan dalam kegiatan pemeliharaan.

Sejak 1986 Trowulan telah mempunyai Rencana Induk Arkeologi, namun yang terlupakan saat itu—dan hingga kini—adalah aspek sosial budaya masyarakat. Akibatnya ba­nyak muncul permasalahan antara pelestarian dan aktivitas masyarakat. “Apa yang masyarakat lakukan—melaporkan temuan—itu memerlukan perhatian dan penghargaan lebih dari kita,” ung­kap Nugroho, “dan kadang hal itu terlupakan.”

PAGI TERAKHIR DI KEGIATAN lapangan Sentonorejo, tim ahli arkeologi berhati-hati melapisi reruntuhan permukiman kuno di semua kotak ekskavasi dengan lembaran-lembaran plastik. Lalu, mereka menimbunnya kembali dengan tanah. Ketiadaan pembebasan tanah untuk perlindungan cagar budaya, berarti tiada pula jaminan bahwa reruntuhan dinding kuno itu masih lestari tatkala mereka kembali lagi melanjutkan penelitian tahun depan.

“Sebagian besar temuan struktur itu masih bisa kita lihat, namun hanya bisa di atas kertas,” ungkap Eriawati di ruang kerjanya. Dia membawa gulungan kertas lebar lalu menggelarnya di hadapan saya. Gulungan itu menggambarkan denah bangunan yang hanya sepotong-sepotong dan tak utuh, mirip permainan teka-teki susun gambar. Eriawati mereka-reka bahwa dulu di Sentonorejo pernah berdiri permukiman istimewa dengan berbagai bangunan ukuran besar dan saling berdampingan pada wilayah yang berkonteks.

Keyakinan Eriawati itu diperkuat dengan temuan peralatan dan unsur rumah nan mewah, juga jaringan kanal kuno yang pernah mengelilinginya. Tak jauh dari lokasi ekskavasi terdapat situs tinggalan yang telah ditampak-ulangkan oleh para ahli arkeologi sejak tiga puluh tahun yang lalu di Sentonorejo. Seluruh temuan tersebut juga menunjukkan sisa-sisa bangunan istimewa yang berada di kawasan yang dulunya dikelilingi kanal. “Saya tidak bermain di interpretasi, tetapi temuan,” ujarnya dengan optimistis. “Dari temuan itu kami yakin bahwa Sentonorejo itu bagian kompleks keraton, tetapi di mana istananya kami belum tahu.”

Entah sejak kapan kompleks permukiman kuno Majapahit ini terkubur akibat bencana alam bersama jaringan kanalnya, lalu hilang dari ingatan peradaban. Kini remah-remah kemegahan yang menyeruak itu tampaknya kian surut hingga suatu saat mungkin tak tersisa lagi selain dongeng. Ibarat ketidaksiapan masa kini untuk menyambut datangnya masa lalu, akankah kegalauan sejarah berulang?

Inilah yang membuat Eriawati frustrasi karena selalu kalah cepat dengan para pembuat batu bata dan pembangun rumah-rumah baru. “Saya prihatin,” sebuah kalimat ringan dalam tulisan, namun Eriawati mengucapkannya bersungguh-sungguh, “mimpi kalau kita bisa merekonstruksi Kota Majapahit.”