Metropolitan yang Hilang

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 10:34 WIB

Para penata laksana Majapahit berpikir untuk merevitalisasi fungsi danau alam dan membuat jaringan kanal-kanal­—juga penampungan air baru. Jaringan itu membentang dan bersilangan sehingga membentuk bidang-bidang persegi di ibu kota itu. Lima jalur kanal melintang utara-selatan, sementara tujuh lainnya membujur barat-timur yang salah satunya berujung di petirtaan Candi Tikus. Menurut Riyanto, jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan, panjangnya bisa mencapai sekitar 26 kilometer! “Majapahit memang dikenal jago dalam manajemen teknologi air.”Saat ini kenampakan jalur-jalur kanal itu memang tak seindah dan tak sekentara peta ha­sil survei Riyanto.

Kini, bekas jaringan kanal itu telah menjelma menjadi sawah, permukiman, kebun tebu, dan lapangan parkir situs perma­kaman muslim zaman Majapahit. “Kita perki­rakan kanal-kanal itu awalnya berukuran delapan sampai lima belas meter lebarnya,” ujarnya, “sekarang sudah ada yang mencapai enam puluh hingga tujuh puluh meter.”Hal yang membuat saya terpesona, sebuah kolam raksasa berdinding batu bata tinggalan Majapahit masih bisa disaksikan hingga sekarang. “Segaran” demikian warga menyebutnya, yang bermakna laut buatan. Luas kolam itu 6,5 hektare atau enam kali lapangan sepak bola! “Mungkin itu adalah kolam artifisial terbesar di dunia,” ungkap Riyanto.

Bagaimana membuktikan bahwa jaringan kanal-kanal di Trowulan itu berasal dari zaman Kerajaan Majapahit? Menurut Riyanto, arah orientasi jaringan kanal-kanal kuno itu sama persis dengan arah bangunan zaman Majapahit. Hasil survei di jalur kanal juga tidak menunjukkan adanya temuan arkeologis. “Kanal dibangun awal, kemudian bangunan menyesuaikan.”

Riyanto juga menolak anggapan bahwa kanal-kanal tersebut dibangun pada masa Hindia Belanda. Dia berpendapat bahwa saluran irigasi yang dibangun Belanda untuk perkebunan tebu sekitar Trowulan itu sebetulnya melanjutkan fungsi kanal-kanal kuno. “Sekecil apapun ba­ngunan yang dibuat Belanda pasti ada arsipnya,” kata Riyanto bersemangat. Namun, “kanal-kanal ini tidak ada arsipnya sama sekali di Belanda.”

Dugaan bahwa kanal-kanal tersebut tinggalan Majapahit diperkuat dengan uraian Prapanca dalam Nagarakertagama. Sang pujangga itu menggambarkan Keraton Majapahit pada pupuh VIII: “Tersebut keajaiban kota, tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap lapangan luas , bersabuk parit.”  Menurut Riyanto, kata-kata “tembok batu merah” dan “bersabuk parit” itu mengisyaratkan perwujudan kanal di bagian Kota Majapahit.

Pernyataan pertama yang menunjukkan jalur-jalur kanal kuno itu dicetuskan oleh Karina Arifin pada 1983, kini ahli arkeologi di Universitas Indonesia. Berdasar citra foto udara awalnya jalur-jalur itu ditafsirkan sebagai jalan raya, namun pengamatannya di lapangan membuktikan bahwa itu adalah bekas jalur kanal. Buktinya, Arifin menemukan tumpukan batu bata kuno yang diduga adalah dinding penguat kanal. Selain itu, letaknya lebih rendah daripada permukiman. ”Setelah dibor sampai empat meter ternyata itu lapisan sedimentasi,” kenang Arifin. ”Jadi dulunya itu mestinya kanal, bukan pengerasan jalan.”

Dalam sebuah diskusi awal tahun ini di Museum Nasional, para ahli arkeologi mema­parkan hasil penelitiannya tentang Majapahit. Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Mundardjito mengisahkan penga­lamannya menyelisik Trowulan selama tiga puluh tahun lebih kepada saya. Seiring melimpahnya temuan, kini dirinya mulai yakin bahwa Trowulan itu dulunya adalah sebuah ibu kota. Alasannya, tidak ada lagi kawasan kuno yang menyamai ragam temuan dan teknologi masyarakatnya. “Berarti inilah ibunya, yang lain anaknya,” ujarnya terkekeh.Indonesia memiliki banyak kerajaan tua sebelum Majapahit berdiri, tetapi kerajaan-kerajaan itu tak satu pun yang menyisakan tinggalan kota kunonya. “Yang ada, ya hanya di Trowulan”, ungkap Mundardjito, “inilah kota kuno satu-satunya!”

Menurut Mundardjito, kanal-kanal Majapahit merupakan teknologi adaptasi masyarakat terhadap musim yang bersifat ekologi. Mereka berhasil mengalirkan air limpahan dari kota ke dalam jaringan kanal. Sebaliknya pada musim kemarau, deposit air dalam tanah selalu tersedia sehingga sumur-sumur warga tak pernah kehabisan air. “Tidak seperti Jakarta, kanal barat dan kanal timur tidak dipertemukan sehingga limpahannya sampai ke tempat presiden,” ujarnya. “Tetapi, masalah limpahan air di Majapahit tidak sampai ke tempat raja karena kanal-kanal tersebar merata di permukiman.”

Sejumlah enam danau alam telah direvitalisasi oleh pemerintah Majapahit sebagai waduk untuk pengairan sawah. Jaringan kanal di Majapahit saling berkait dengan waduk, sungai, curah hujan, kolam, dan drainase di bawah permukaan tanah. “Itu suatu sistem yang sangat luar biasa,” ungkap Mundardjito. “Jangan melihat kanal sebagai satu hal saja!” Kepadatan temuan tembikar dan keramik asing pun berada di kawasan dekat jaringan kanal-kanal, bukan daerah pinggiran. Ragam jenis temuan arkeologi itu sangat banyak dan karya ukirannya pun sangat indah yang menunjukkan kehidupan perkotaan. Mundardjito menduga para artisan itu dilindungi dan dipelihara raja. “Tidak pernah kita menemukan situs lain dengan kualitas dan jumlah yang luar biasa” ungkap Mundardjito dengan bergelora. “Nah, itu menandakan ibu kota!”

Djafar yang duduk di sebelahnya menambah­kan, Ibu Kota Majapahit bersistem mandala, artinya di sinilah pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja yang dikelilingi para pejabatnya. Struktur pemerintahan Majapahit itu terdiri atas kerajaan-kerajaan daerah. Raja-raja daerah itu disebut “paduka batara” atau bhre yang umumya para kerabat raja. “Seperti republik kita dengan provinsinya,” ujar Djafar, “raja daerah itu semacam gubernur.” 

“Penanda sebuah kota yang besar itu harus ada monumental works,” ungkap Mundardjito. Dia menunjukkan Trowulan masih memiliki sisa-sisa bangunan permukiman dan bukti bangunan monumental lainnya seperti kompleks candi Hindu dan Buddha di sisi utara, sistem jaringan kanal dan waduk, gapura-gapura, dan sebuah kolam buatan berukuran raksasa. “Tetapi, jika ini hancur semua, kita hanya punya cerita. Tidak punya bukti,” dia berhenti sesaat lalu berkata, “itu namanya negara dongeng.”

Uniknya, tidak seperti bangunan kerajaan lainnya, Ibu Kota Majapahit tidak memiliki tembok kota. Kesimpulan itu diperoleh Mundardjito usai menyisir Trowulan dalam Indonesian Field School of Archaeology 1991-1993. “Esensinya, temuan tembok kota itu tidak ada,” katanya. Ibu kota ini “luar biasa sekali dan luasnya sembilan kali sebelas kilometer!”