Metropolitan yang Hilang

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 10:34 WIB

Pada masa Raja Hayam Wuruk ketika Ma­japahit mencapai masa keemasannya, “Prapanca menuliskan gambaran Nusantara dengan begitu detailnya dengan menyebutkan berbagai kepulauan,” tutur Djafar. Dia mengacu pada sumber sejarah Kakawin Nagarakertagama yang sesungguhnya berjudul Desawarnana. Karya pujasastra ini digubah oleh Rakawi Prapanca pada 1365, seorang pujangga Majapahit yang kelak menjadi “pelopor sejarawan modern dan jurnalis pionir di Indonesia.”

Lalu, saya menanyakan kepada Djafar tentang sesuatu yang telah menjadi panutan umum: bahwa Majapahit mempunyai wilayah Nusantara yang teritorinya seperti Republik Indonesia. “Itu omong kosong!” ujar Djafar, “tidak ada sum­ber yang mengatakan seperti itu.” Dia meng­ingatkan, semuanya harus kembali ke sumber tertulisnya. “Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa, itu pun hanyaJawa Timur dan Jawa Tengah.”

“Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna “nusa” adalah “pulau-pulau atau daerah”, sedangkan “antara” adalah “yang lain.” Jadi Nusantara pada masa Majapahit di­artikan sebagai “daerah-daerah yang lain”—karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit. Djafar berpendapat, Nusantara merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama demi keamanan dan perdagangan regional. Mereka berkoalisi sebagai mitra satata—sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama. “Ja­ngan diartikan kepulauan di antara dua be­nua,” ujarnya. “Bukan pula nusa yang lokasinya di antara."!break!

Sebagai kerajaan adidaya, Majapahit berkepentingan untuk mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai daerah tujuan pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam untuk perdagangan. Namun demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu memberikan upetinya kepada Majapahit seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.

“Tidak ada satu kata pun dalam Nagarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majapahit,” ujar Djafar. Berdasar uraian Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar setiap tahunnya. Para penguasa yang  diundang ada yang memberikan hadiah-hadiah kepada Raja Majapahit, dan  menurut Djafar hadiah itu bukanlah upeti. “Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu merdeka.”

Lalu mengapa sampai ada anggapan bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit? “Barangkali karena founding fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Djafar lirih. “Kemudian Muhammad Yaminmenggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”

Di sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya menemukan karya Yamin yang dimaksud Djafar. Salah satu tokoh pendiri negara Indonesia  itu pernah menulis sebuah buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah Republik Indonesiaberjudul “Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit.” Tentang peta ini Djafar mengungkapkan, “gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”

Yamin, dalam buku itu, juga menampilkan fo­­to sekeping terakota berwujud wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal. Yamin de­ngan keyakinan ilmu firasatnya menuliskan di bawah foto sosok itu, “Gajah Mada... Rupanya pe­nuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.” Namun, belakangan saya melihat kepingan itu di Museum Trowulan, yang memiliki koleksi Maja­­pahit terlengkap. Sejatinya itu bagian dari ce­lengan kuno dan tak berkaitan de­­ngan Gajah Mada. Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal dengan wajah seperti dalam buku Yamin itu telah berdiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Kebayoran Baru. “Itu skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Djafar.

SELAGI PAGI MEREBAH DI CANDI TIKUS, Gunung Penanggungan, Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro sedang menggulung kelambu halimunnya. Saya menemani Sugeng Riyanto, seorang rekan satu tim dengan Eriawati, yang melakukan survei potensi tinggalan arkeologi sepanjang kanal Majapahit. Jaringan kanal kuno itu dipengaruhi oleh dua sungai besar yang mengapit Ibu Kota Majapahit, Sungai Brangkal dan Sungai Gunting. Keduanya mendapatkan sumber air di gunung-gunung sisi selatan dan bersama-sama bermuara di Sungai Brantas, sisi utara ibu kota.  Candi Tikus yang kami datangi merupakan salah satu bangunan air tinggalan Majapahit.

Candi Tikus sejatinya merupakan petirtaan kuno yang dibangun sekitar abad 13-14. Arsitekturnya merepresentasikan Gunung Mahameru di India. Dalam mitologi Hindu, gunung tersebut merupakan tempat suci bagi para dewa dan sumber dari kehidupan alam semesta. Pancuran-pancuran mengalirkan air yang menyimbolkan air suci amertamantana atau air kehidupan. Pada zaman kemegahannya, petirtaan ini mendapatkan air dari sisi selatan, lalu air dialirkan ke utara lewat dasar lantai ke kanal-kanal Majapahit.

Umumnya pengunjung heran mengapa dinamakan Candi Tikus. Papan informasi di dekat kantor juru pelihara akhirnya menjelaskan rasa penasaran itu. Jadi, suatu hari pada 1914 tatkala warga desa tengah membinasakan hama tikus, sebuah gundukan tanah yang diduga sarang tikus alhasil menjadi tujuan amukan warga. Ketika warga menggerataknya, tersingkaplah sebuah bangunan batu bata yang hingga kini dikenal sebagai Candi Tikus. Ah, Candi yang malang, pikir saya usai membaca riwayatnya. Pastinya dulu dia diagungkan sebagai petirtaan suci, tetapi kini dikenang dengan nama satwa pengerat nan menjijikkan.

Di sisi utara petirtaan itu Riyanto meng­ham­piri tebing tanah di pinggir sawah. Lalu, dia menunjukkan kepada saya suatu bukti bahwa daerah yang kita pijak itu dulunya bagian dari jaringan tata kelola air kuno. Riyanto berkata, “Lihat, lapisan pasir dan kerakal ini membuktikan bahwa di sini dulu daerah aliran air.”  Kami merasa seperti menemukan kembali suatu kearifan lokal dari zaman Majapahit. Pemerintah kerajaan tampaknya sangat sadar dan tanggap dengan gejala alam yang dihadapinya. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah kipas aluvial–dataran yang terbentuk dari bahan-bahan erosi lereng gunung. Ketika musim hujan, air akan meluap ke dataran sekitarnya yang lebih rendah. Sebaliknya, sungai-sungai berkurang debit airnya kala musim kemarau.