Hari Perhitungan

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 11:22 WIB

Lelaki itu disalib, kata Um Muhammad. Mata hitam wanita ini mengintip melalui celah cadar hitamnya. Dia janda beranak dua, usianya 30-an. Setelah meninggalkan bahaya dan kekacauan, pagi ini dia berada di ruang guru sekolah dasar di lingkungan Seera di Aden, kota pelabuhan di Yaman selatan. Anak-anaknya—Ibrahim, 10, dan Fatima, 7—duduk di kursi kayu di samping ibu mereka.

Sekolah ini dialihfungsikan menjadi pusat pe­ngungsi—sekitar 530 pria, wanita, dan anak-anak di tiga lantai. Puluhan pendatang menunggu didaftar oleh seorang relawan yang mengetikkan nama mereka pada laptop berdebu.Um Muhammad terlalu takut untuk mengungkapkan nama sebenarnya, tetapi tidak terlalu takut untuk menyuarakan pikirannya.

Dia menunjukkan video ponsel berisi rekaman tiga minggu sebelumnya pada Januari lalu, dalam perjalanan pulang ke Zinjibar untuk mengambil beberapa barangnya. Video itu menampilkan seorang lelaki berjanggut tergantung pada tiang lampu jalan. Tangannya dipaku pada palang kayu. Berbicara dengan suara melengking yang teredam oleh cadar hitamnya, Um Muhammad berkata bahwa lelaki itu anggota al-Qaeda, dituduh memata-matai pemerintah Yaman. “Dia tergantung di sana selama tiga hari. Ini peringatan bagi rakyat: Setiap pengkhianat akan dibunuh seperti ini.”

Negara lain di Timur Tengah lebih banyak menderita kekerasan dibandingkan Yaman selama revolusi Arab Spring, seperti Libia pimpinan Muammar Qaddafi, atau Suriah pimpinan Bashar al-Assad. Tetapi, negara yang berpenduduk 24 juta jiwa ini bangkit dari revolusi rakyatnya dalam kondisi labil. Jauh di utara, al-Houthi, sebuah gerakan politik berbasis Syiah, mengobarkan pemberontakan enam tahun melawan peme­rintah Yaman, dan sekarang menguasai wilayah yang besar. Ini terjadi walaupun  pemimpinnya mengisyaratkan keinginan untuk berpartisipasi dalam dialog nasional. Jauh di selatan, Aden dan distrik di sekitarnya dikepung oleh al-Hirak, gerakan separatis yang ingin wilayah itu merdeka.

Kemudian di sebelah timur Aden, al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) sedang melancarkan kampanye pemberontakan dan teror. Organisasi ini dibentuk pada tahun 2009 melalui penggabungan al-Qaeda cabang Yaman dan Arab Saudi, dan menguat pada masa pemberontakan rakyat yang mengguncang Yaman antara Januari dan November 2011.

Setelah unjuk rasa massal menyerukan agar Presiden Ali Abdullah Saleh mundur, AS dan negara-negara Teluk Persia mendesak pemimpin yang sudah lemah itu untuk mengundurkan diri. Pada Mei 2011 militan al-Qaeda mengusir pasukan pemerintah dari Zinjibar, ibu kota Provinsi Abyan. Inilah wilayah sepanjang 240 kilometer yang memiliki benteng gunung dan garis pantai strategis di tepi Laut Arab.

Lebih dari 130.000 pengungsi dari Abyan masuk ke Aden selama setahun terakhir. Ekstremis AQAP kini menguasai beberapa bagian dalam tiga provinsi dan melancarkan serangan teroris di wilayah lain termasuk provinsi timur yang kaya minyak, Hadramaut, dan ibu kotanya, Sanaa. Orang Islamis bersenjata melakukan patroli di wilayah itu dengan truk.!break!

Sejauh ini AS telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk mempersenjatai dan melatih Central Security Forces Yaman untuk melawan al-Qaeda serta melakukan serangan udara terhadap para pemimpin militan.Selain al-Qaeda dan kaum separatis, Abed Rabbo Mansour Hadi—mantan wakil presiden yang terpilih sebagai presiden pada Februari 2012 untuk masa transisi dua tahun—menghadapi masalah dalam negeri yang parah.

Dengan pendapatan per kapita sekitar sepuluh juta rupiah, Yaman adalah salah satu negara termiskin di Arab. Perekonomian yang sudah kesulitan dibebani lagi oleh lebih dari setengah juta imigran Somalia yang putus asa. Persediaan air Yaman hampir surut, dan pasokan minyak diperkirakan akan habis sebelum tahun 2022. Populasinya muda dan bertumbuh; pemuda pengangguran mengancam stabilitas. Hadi bertindak dengan berani untuk mengukuhkan kendali atas militer, menyingkirkan politikus keluarga Saleh, dan memulai dialog nasional tentang masyarakat madani. Tetapi kendalinya atas kekuasaan tetap tak menentu.

Menghadapi berbagai tantangan serius ini, masyarakat seperti apa yang akan berkembang di Yaman? Apakah akan menjadi bangsa modern, berdasarkan aturan hukum? Ataukah negara yang lebih anarkis lagi, terkoyak oleh konflik suku, etnis, dan agama, serta menjadi ancaman bagi keamanan dunia Barat?

DULU, YAMAN tidak morat-marit seperti ini. Ahli geografi Yunani-Romawi Ptolemaeus menyebutnya Eudaimon Arabia—Arab yang Bahagia—mengagumi stabilitas dan kemakmurannya. Raja-raja Saba pra-Islam memperluas kerajaan melalui Tanduk Afrika. Pada abad kedua mereka membangun keajaiban arsitektur seperti istana pencakar langit di Ghumdan, yang dipuja-puja oleh penyair Arab abad pertengahan.

Setelah Islam menyebar ke wilayah itu pada tahun 630-an, Arab yang Bahagia berfluktuasi antara periode persatuan dan perpecahan yang dalam. Pada abad ke-19, bangsa Utsmaniyah di utara kemudian bangsa Inggris di selatan, mencoba menguasainya. Tetapi hal ini digagalkan oleh suku-suku Yaman yang melawan, juga geografinya—lembah sempit, pegunungan memusingkan, dan Rub’ al-Khali, salah satu padang pasir paling tandus di dunia di sepanjang perbatasannya dengan Arab Saudi.

Saleh—perwira militer yang berpendidikan rendah tapi cerdik—adalah pemimpin terakhir yang mencoba menjinakkan Yaman. Saat meraih kekuasaan pada 1978, dia memerintah Yaman Utara; 12 tahun kemudian dia mengawasi penyatuan utara dan selatan. Dia menjalin ikatan dengan para syekh suku dan pemimpin Islam, membeli kesetiaan dengan suap dan perlindungan. Dia mengakrabi Saddam Hussein, dan setelah peristiwa 11 September dia mendekati AS.