Hari Perhitungan

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 11:22 WIB

HANYA 160 KILOMETER di barat laut Aden terdapat Taizz, kota yang sebagai jantung revolusi, membangkitkan harapan untuk mewujudkan Yaman yang sangat berbeda. Taizz berkembang seiring jalur perdagangan ke pantai Laut Merah hingga menjadi pusat perdagangan, industri, dan pendidikan. Namun, kota Yaman yang paling liberal dengan rasa sukuisme paling rendah ini dipinggirkan oleh Saleh, dan kota itu pun memudar. Unjuk rasa pertama terjadi di sini, pada Februari 2011. Setahun kemudian pawai unjuk rasa masih diadakan setiap salat Jumat selesai.

Pada suatu hari Jumat saya menyaksikan ribuan lelaki, perempuan, dan anak-anak melambaikan bendera untuk mendukung pihak oposisi Suriah dan mengacungkan jari membentuk V. Di Garden City—kompleks menyenangkan yang berisi kafe, taman bermain, dan taman hiburan dalam bayangan Qalat al-Qahira, sebuah benteng Utsmaniyah bersayap banyak yang bertengger di tebing—saya bertemu dengan salah seorang pemimpin gerakan pro-demokrasi di Taizz, yang kini berupaya agar tetap relevan.

Belkhis al-Abdeli berusia 31 tahun, meski jika dilihat sekilas dia masih seperti remaja putri. Tubuhnya mungil, dengan pipi tembam dan mata gelap yang dibingkai oleh jilbab hijau. Kalau menyinggung topik politik kepada al-Abdeli—atau hak perempuan—senyum hangatnya pun hilang. Matanya berkilat, dan tangannya menusuk-nusuk udara saat dia berbicara. “Saya benci cadar,” katanya, menambahkan bahwa ia tidak pernah menyetujui aturan sosial ketat yang menempatkan kaum perempuan Yaman sebagai warga kelas dua. Menurutnya, perempuan semestinya boleh memilih, ingin menutupi atau menampakkan wajah—“tetapi sebagian besar perempuan di Yaman tidak diberi pilihan.” Al-Abdeli tidak bersuami dan tidak menyesalinya. “Kata kerabat saya, ‘Kau sudah tidak punya peluang lagi menikah.’ Saya tidak masalah.”

Pada hampir semua indikator—kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi—kaum perempuan di Yaman masih tertinggal. Tingkat pernikahan anak termasuk yang tertinggi di dunia, dan 60 persen perempuan Yaman buta huruf. Angka kematian bayi juga termasuk yang terburuk di dunia, akibat kurangnya perawatan kesehatan pra- dan pascakelahiran. Tidak seperti lelaki, perempuan tidak bisa bercerai dengan mudah, dan hak yang terbatas atas harta benda dan warisan. Negara ini menempati peringkat terbawah di antara 135 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Dunia versi Forum Ekonomi Dunia.

Al-Abdeli adalah seorang asisten profesor akuntansi di universitas di Taizz, dan dia menikmati lebih banyak kebebasan daripada sebagian besar kaum perempuan di negara itu. Menurutnya, ini karena dia dibesarkan di Taizz dan memiliki ayah berpikiran terbuka yang “tidak pernah kuliah tetapi berpengetahuan luas tentang dunia.” Dia juga penyair yang selama bertahun-tahun mengungkapkan kebenciannya terhadap rezim Ali Abdullah Saleh secara terbuka.

“Saya menuangkan sebagian impian saya dalam puisi dan menanamkannya di benak mahasiswa saya,” katanya. Ketika Hosni Mubarak jatuh di Mesir, al-Abdeli punya harapan baru. “Saya merasa di sini juga pasti terjadi revolusi. Sejak hari pertama saya ingin ikut unjuk rasa, tetapi ayah saya menyarankan tidak. Katanya, ‘Rezim ini berdarah.’ Jadi saya ikut beberapa hari kemudian.”

Dalam sebuah kamp bernama Freedom Square, al-Abdeli terpilih menjadi anggota dewan kepemimpinan. Pada bulan April 2011 dia mendirikan gerakan sendiri, Forum demi Perubahan, yang tumbuh hingga beranggota ratusan orang. Dia menyelenggarakan seminar dan memimpin pengunjuk rasa di jalan-jalan Taizz setelah salat Jumat. Seorang orator berapi-api, dia berbicara penuh semangat tentang perlunya membasmi KKN dan menjamin hak setara bagi kaum perempuan.!break!

Suasana memanas pada malam 29 Mei, ketika penyerang tak dikenal (yang diyakini banyak orang adalah pasukan keamanan Saleh) membakar ratusan tenda di Freedom Square dan membunuh 50 pengunjuk rasa. Setelah pembantaian itu, syekh yang paling berkuasa di wilayah itu, Hamoud al-Mikhlafi, mengumumkan bahwa dia akan menjadi pelindung para pengunjuk rasa, dan ratusan anggota milisi datang ke Taizz dari daerah pedesaan untuk membela mereka.

Garda Republik dan pasukan pro-Saleh lain berusaha menumpas pemberontakan itu. Pada saat itu al-Abdeli meringkuk bersama orang tua dan saudaranya di ruang bawah tanah di rumah keluarga sementara mortir dan peluru artileri berjatuhan di sekeliling mereka.

Kini kota yang telah lama dianggap sebagai kota Yaman yang rasa sukuismenya paling rendah itu tergantung pada perlindungan al-Mikhlafi dan kalangannya. Milisinya menguasai banyak jalan. Keanggotaannya di al-Islah, partai Islam utama di negara itu yang mencakup berbagai golongan dari Ikhwanul Muslimin yang moderat sampai Salafiyah yang ultrakonservatif, telah mengangkat pamor kaum Islamis.

Pada unjuk rasa Jumat yang saya hadiri, pembicaranya selalu anggota partai Islam. Demokrat sekuler seperti al-Abdeli berada di luar struktur kekuasaan, tetapi ia tetap pergi ke Freedom Square beberapa kali seminggu. “Kami ingin revolusi sungguhan,” katanya bersemangat.

SETELAH MENINGGALKAN GARDEN CITY, saya berkendara sore hari ke vila al-Mikhlafi di puncak bukit, yang bopeng dengan lubang peluru dari pertempuran tahun lalu. Belasan penjaganya sedang berpatroli di jalan di depan, membawa AK-47. Al-Mikhlafi sedang mengunyah qat di ruang tamu yang penuh asap di lantai dasar. Ruang ini dijejali sekitar seratus anggota suku yang duduk dua baris berhadapan sambil mengunyah qat, bersandar pada dinding putih ruang sempit.

Senjata disandarkan pada dinding, dan karpet biru-cokelat diseraki daun dan tangkai qat serta asbak yang meluap. Al-Mikhlafi mengajak saya ke ruangan pribadi di seberang halaman untuk berbincang. Dia pernah menjadi petugas keamanan di pemerintahan Saleh, bertanggung jawab mengumpulkan informasi tentang musuh rezim. “Saya menasihatinya—agar lebih sering berdialog dengan rakyat, menerapkan demokrasi nyata—tetapi dia tak menghiraukan,” kata sang syekh.

Ia adalah seorang pria tampan dengan jenggot hitam tipis, mata lembut, dan rambut keriting beruban yang menonjolkan bentuk kepalanya yang persegi. Al-Mikhlafi menyebut dirinya “pembela demokrasi.” Tetapi, kaum demokrat sekuler Taizz mengatakan bahwa kesetiaannya kepada partai Islam dan kebiasaannya menyelesaikan konflik dengan unjuk kekuatan militer menyiratkan bahwa membangun masyarakat madani bukanlah prioritas utama dalam agendanya. Taizz berada di ambang perseteruan.

Al-Abdeli dan gerakan pro-demokrasinya berharap dapat membangun masyarakat baru yang berdasarkan transparansi dan aturan hukum. Tetapi, saat ini al-Mikhlafi dan orang-orang seperti dia yang sedang memegang kendali. Yaman masih milik orang-orang bersenjata.