Hari Perhitungan

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 11:22 WIB

Lelaki itu disalib, kata Um Muhammad. Mata hitam wanita ini mengintip melalui celah cadar hitamnya. Dia janda beranak dua, usianya 30-an. Setelah meninggalkan bahaya dan kekacauan, pagi ini dia berada di ruang guru sekolah dasar di lingkungan Seera di Aden, kota pelabuhan di Yaman selatan. Anak-anaknya—Ibrahim, 10, dan Fatima, 7—duduk di kursi kayu di samping ibu mereka.

Sekolah ini dialihfungsikan menjadi pusat pe­ngungsi—sekitar 530 pria, wanita, dan anak-anak di tiga lantai. Puluhan pendatang menunggu didaftar oleh seorang relawan yang mengetikkan nama mereka pada laptop berdebu.Um Muhammad terlalu takut untuk mengungkapkan nama sebenarnya, tetapi tidak terlalu takut untuk menyuarakan pikirannya.

Dia menunjukkan video ponsel berisi rekaman tiga minggu sebelumnya pada Januari lalu, dalam perjalanan pulang ke Zinjibar untuk mengambil beberapa barangnya. Video itu menampilkan seorang lelaki berjanggut tergantung pada tiang lampu jalan. Tangannya dipaku pada palang kayu. Berbicara dengan suara melengking yang teredam oleh cadar hitamnya, Um Muhammad berkata bahwa lelaki itu anggota al-Qaeda, dituduh memata-matai pemerintah Yaman. “Dia tergantung di sana selama tiga hari. Ini peringatan bagi rakyat: Setiap pengkhianat akan dibunuh seperti ini.”

Negara lain di Timur Tengah lebih banyak menderita kekerasan dibandingkan Yaman selama revolusi Arab Spring, seperti Libia pimpinan Muammar Qaddafi, atau Suriah pimpinan Bashar al-Assad. Tetapi, negara yang berpenduduk 24 juta jiwa ini bangkit dari revolusi rakyatnya dalam kondisi labil. Jauh di utara, al-Houthi, sebuah gerakan politik berbasis Syiah, mengobarkan pemberontakan enam tahun melawan peme­rintah Yaman, dan sekarang menguasai wilayah yang besar. Ini terjadi walaupun  pemimpinnya mengisyaratkan keinginan untuk berpartisipasi dalam dialog nasional. Jauh di selatan, Aden dan distrik di sekitarnya dikepung oleh al-Hirak, gerakan separatis yang ingin wilayah itu merdeka.

Kemudian di sebelah timur Aden, al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) sedang melancarkan kampanye pemberontakan dan teror. Organisasi ini dibentuk pada tahun 2009 melalui penggabungan al-Qaeda cabang Yaman dan Arab Saudi, dan menguat pada masa pemberontakan rakyat yang mengguncang Yaman antara Januari dan November 2011.

Setelah unjuk rasa massal menyerukan agar Presiden Ali Abdullah Saleh mundur, AS dan negara-negara Teluk Persia mendesak pemimpin yang sudah lemah itu untuk mengundurkan diri. Pada Mei 2011 militan al-Qaeda mengusir pasukan pemerintah dari Zinjibar, ibu kota Provinsi Abyan. Inilah wilayah sepanjang 240 kilometer yang memiliki benteng gunung dan garis pantai strategis di tepi Laut Arab.

Lebih dari 130.000 pengungsi dari Abyan masuk ke Aden selama setahun terakhir. Ekstremis AQAP kini menguasai beberapa bagian dalam tiga provinsi dan melancarkan serangan teroris di wilayah lain termasuk provinsi timur yang kaya minyak, Hadramaut, dan ibu kotanya, Sanaa. Orang Islamis bersenjata melakukan patroli di wilayah itu dengan truk.!break!

Sejauh ini AS telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk mempersenjatai dan melatih Central Security Forces Yaman untuk melawan al-Qaeda serta melakukan serangan udara terhadap para pemimpin militan.Selain al-Qaeda dan kaum separatis, Abed Rabbo Mansour Hadi—mantan wakil presiden yang terpilih sebagai presiden pada Februari 2012 untuk masa transisi dua tahun—menghadapi masalah dalam negeri yang parah.

Dengan pendapatan per kapita sekitar sepuluh juta rupiah, Yaman adalah salah satu negara termiskin di Arab. Perekonomian yang sudah kesulitan dibebani lagi oleh lebih dari setengah juta imigran Somalia yang putus asa. Persediaan air Yaman hampir surut, dan pasokan minyak diperkirakan akan habis sebelum tahun 2022. Populasinya muda dan bertumbuh; pemuda pengangguran mengancam stabilitas. Hadi bertindak dengan berani untuk mengukuhkan kendali atas militer, menyingkirkan politikus keluarga Saleh, dan memulai dialog nasional tentang masyarakat madani. Tetapi kendalinya atas kekuasaan tetap tak menentu.

Menghadapi berbagai tantangan serius ini, masyarakat seperti apa yang akan berkembang di Yaman? Apakah akan menjadi bangsa modern, berdasarkan aturan hukum? Ataukah negara yang lebih anarkis lagi, terkoyak oleh konflik suku, etnis, dan agama, serta menjadi ancaman bagi keamanan dunia Barat?

DULU, YAMAN tidak morat-marit seperti ini. Ahli geografi Yunani-Romawi Ptolemaeus menyebutnya Eudaimon Arabia—Arab yang Bahagia—mengagumi stabilitas dan kemakmurannya. Raja-raja Saba pra-Islam memperluas kerajaan melalui Tanduk Afrika. Pada abad kedua mereka membangun keajaiban arsitektur seperti istana pencakar langit di Ghumdan, yang dipuja-puja oleh penyair Arab abad pertengahan.

Setelah Islam menyebar ke wilayah itu pada tahun 630-an, Arab yang Bahagia berfluktuasi antara periode persatuan dan perpecahan yang dalam. Pada abad ke-19, bangsa Utsmaniyah di utara kemudian bangsa Inggris di selatan, mencoba menguasainya. Tetapi hal ini digagalkan oleh suku-suku Yaman yang melawan, juga geografinya—lembah sempit, pegunungan memusingkan, dan Rub’ al-Khali, salah satu padang pasir paling tandus di dunia di sepanjang perbatasannya dengan Arab Saudi.

Saleh—perwira militer yang berpendidikan rendah tapi cerdik—adalah pemimpin terakhir yang mencoba menjinakkan Yaman. Saat meraih kekuasaan pada 1978, dia memerintah Yaman Utara; 12 tahun kemudian dia mengawasi penyatuan utara dan selatan. Dia menjalin ikatan dengan para syekh suku dan pemimpin Islam, membeli kesetiaan dengan suap dan perlindungan. Dia mengakrabi Saddam Hussein, dan setelah peristiwa 11 September dia mendekati AS.

Dia juga mengisi layanan militer dan intelijen dengan anggota keluarga dan membiarkan korupsi merasuki setiap segi kehidupan Yaman. Pada Februari 2012 Saleh mengundurkan diri, menandatangani kesepakatan yang membagi pemerintahan antara partai dan koalisi lima kelompok oposisi. Saleh, kerabatnya, dan pasukan keamanannya diberi jaminan kekebalan dari tuntutan hukum.!break!

“QAT LEBIH ENAK DARIPADA MADU,” seru Abdullah al-Kholani, 60, sambil tersenyum lebar. “Kami lebih rela berhenti makan daripada berhenti mengunyahnya.” Al-Kholani adalah pria pendek yang kepalanya dililit kain kafiyeh. Matanya dalam, hidungnya bak paruh elang, dan bibir bawahnya agak maju karena gigi gingsul. Tangannya kasar bernoda hijau akibat memetik daun qat. Ia seorang “pencinta tanah,” kata al-Kholani kepada saya, “dan bangga akan hal itu.” Dia berbicara bahasa Arab dalam kalimat-kalimat pendek yang parau dan bernada tinggi, yang sulit ditangkap oleh juru bahasa saya. Itu karena mulut petani itu penuh qat.

Al-Kholani mengajak saya berjalan dari rumah batu tempat ia dan istrinya membesarkan enam anak. Kami menyusuri parit pengairan yang kering, ke tempat terbuka di tengah hutan pohon berwarna cokelat muda yang ramping.

Kami berada di Wadi Dhahr, sebuah ngarai di barat laut Sanaa yang dibatasi oleh dinding batu pasir yang membuat kepala terasa berputar. Dar al-Hajr adalah rumah peristirahatan musim panas milik imam Yaman yang terakhir berkuasa. Bangunan ini menakjubkan dengan jendela berkaca warna dan lorong batu dingin, menjulang di atas batuan di belakang kami. Al-Kholani, yang keluarganya turun temurun berkebun qat di sini menyombongkan bahwa daun dari kebunnya memiliki khasiat paling kuat.

“Kalau mengunyah itu, pasti terjaga selama tiga hari,” katanya sambil tertawa, seraya menawari saya segenggam daun dari pohon kuno itu. Rasanya pahit dan menyebabkan saya menjadi merasa sangat haus. Al-Kholani mengolah dua kebun qat yang memiliki luas total beberapa hektare. Dia menjual dua panen dalam setahun kepada tengkulak yang mendistribusikan daun itu ke pasar di seluruh Sanaa. Tanaman ini menghasilkan sekitar Rp38 juta per tahun—hampir empat kali rata-rata pendapatan per kapita. Dan ada manfaat sampingannya: Al-Kholani dapat mengunyah qat sebanyak yang dia mau, mulai menjelang pagi dan berlanjut hingga larut malam.

“Qat jauh lebih enak dari wiski, jauh lebih enak dari hasyis, karena membantu kita terus bekerja,” katanya. “Qat memberi energi. Saya mengunyah qat ketika tak ada real di saku, dan qat membuat saya merasa bahagia. Kalau saya tidak punya makanan, tidak masalah.” Al-Kholani mengatakan bahwa dia tidak peduli pada gejolak di Sanaa tahun lalu. “Saya hanya peduli pada kebun saya,” katanya. Tetapi gara-gara unjuk rasa dan bentrokan senjata, “orang tidak mengunyah sebanyak biasanya, dan bisnis pun menurun. Insya Allah, situasi akan membaik.”

Menurut survei, setidaknya sepuluh juta orang Yaman—40 persen dari populasi—mengunyah qat empat jam atau lebih sehari. Kegiatan ini menguras pendapatan dan, meskipun al Kholani bersikeras bahwa qat membantu orang bekerja, sebenarnya mengurangi produktivitas. Qat mengandung alkaloid yang terurai menjadi zat kimia yang mirip dengan adrenalin.

Sebagian qat al-Kholani sampai ke pasar Cairo Street di Sanaa barat laut, pasar ramai yang beratap logam bergelombang. Pada awal sore, pasar itu dijejali orang dari semua lapisan masyarakat: tentara, pedagang, profesional, pegawai negeri, pelajar. Walid al-Rami, pendamping saya dari pemerintah, seorang pecandu qat yang bermata merah. Ia mencari daun kecil lunak dan tangkai kemerahan. “Tanda bahwa daunnya manis dan berkhasiat,” katanya. Dia membeli sebungkus seharga Rp240 ribu, cukup untuk mengunyah malam itu.

Sekitar 40 persen sumber air Yaman yang semakin surut digunakan untuk pengairan qat. Sejak sungai yang mengalir melalui kebun al-Kholani tiba-tiba mengering, dia harus menarik lebih dari 37.500 liter per bulan dari sumur-dalam. Di beberapa bagian pipa air sudah kering, pasokan harus diangkut truk setiap hari.

Adel al Shujaa memimpin Organisasi Antiqat Yaman di Sanaa. “Sekarang ini orang yang menentang qat sangat sedikit,” katanya, sebelum menyebutkan daftar efek negatif daun itu: penurunan nafsu makan, kekurangan gizi, sistem kekebalan tubuh melemah. Al-Shujaa melobi parlemen untuk merancang undang-undang antiqat, tetapi setelah sepuluh tahun berupaya sendirian, satu-satunya keberhasilannya hanyalah membujuk seorang petani qat untuk menanam kopi dan tanaman pengganti lainnya. “Saya optimistis bahwa pada akhirnya kami akan berhasil,” katanya.!break!

DI KOTA TUA SANAA, seekor unta mengerang dalam keremangan toko mirip gua di dekat Bab al Yaman, satu-satunya gerbang lengkung batu yang tersisa dari tujuh, yang dulu menutup kota berumur 2.500 tahun ini dari dunia luar. Dengan tali diikatkan pada kepala dan punuknya, unta itu terseok-seok mengelilingi gerinda besi, menggiling biji mustar menjadi minyak. Kala itu pukul 8.30, beberapa jam sebelum awal hari kerja di wilayah kuno ibu kota itu. Banyak warga masih tidur, mengusir efek acara mengunyah qat malam sebelumnya.

Kota Tua itu menciut wilayahnya selama abad terakhir, dan proyek pemasangan listrik serta pembuatan gorong-gorong telah membawanya ke dunia modern. Tetapi dalam banyak hal, kota itu tidak berubah. Menara apartemen dari batu bata dan pualam putih berkerumun di sekitar pasar yang menjual emas, perhiasan, tekstil, hasil bumi segar, serta rempah-rempah. Di sebuah gang, seorang pria tua yang memiliki kelopak mata hitam bak batu bara dan berjenggot putih tipis melewati saya dengan belati melengkung atau jambiya yang diselipkan pada sabuk bersulam.

Belum lama ini, jambiya menunjukkan status lelaki sebagai anggota suku, hakim, dan keturunan langsung Nabi Muhammad; setiap kelompok memakai jambiya dengan tanda yang menunjukkan kastanya. Tetapi, Saleh mengangkat status sosial kaum pemilik toko dan pedagang. Ini adalah sebuah langkah politik cerdik yang memperluas basis dukungannya.

“Kami masih menyukai Saleh,” kata Abdullah, pemilik penggilingan biji mustar. Ia dengan bangga menunjuk foto-foto si mantan presiden yang berbingkai dan menutupi dinding tokonya nan suram. Sama seperti Saleh dan hampir semua orang di Kota Tua, Abdullah adalah penganut aliran Zaidiyah, mazhab moderat Islam Syiah yang utama di Yaman. Tetapi, kesamaan agama hanya menjelaskan sebagian saja soal kesetiaan kepada Saleh ini.

Menurut tradisi di Yaman, kelompok suku yang erat berperan sebagai negara dalam negara, dengan persediaan senjata. Sistem pengadilan paralel akan memutuskan segala sesuatu mulai dari sengketa properti sampai pembunuhan. Saleh mendapat dukungan dari persekutuannya dengan Syekh Abdullah al Ahmar, sang “syekh dari syekh,” yang memimpin konfederasi suku Hashid yang berkuasa. Inilah salah satu dari dua kelompok suku utama di Yaman, bersama kelompok suku Bakil.

Dalam beberapa puluh tahun terakhir, pendidikan, urbanisasi, dan keterpajanan terhadap dunia luar memperlemah pengaruh suku. Banyak anggota suku tidak lagi menerima begitu saja kewenangan syekh tertinggi, dan tuntutan atas hak-hak dasar dan kebebasan semakin lantang. Pada bulan Maret 2011 setelah al-Ahmar senior wafat, anak-anaknya bangkit melawan Saleh setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa. Garda Republik dan milisi suku bertempur dengan senjata berat di Sanaa, menandakan awal kehancuran Saleh.!break!

ANDAI SAJA ketenangan dan pengendalian diri Kota Tua mencerminkan situasi Yaman. Saat ini suasana negara itu lebih tecermin oleh Aden yang tidak stabil dan tidak ada hukum, kota tempat para pembom bunuh diri al-Qaeda menyerang USS Cole pada tahun 2000.

Bau busuk dan sampah terbakar memenuhi udara lesu di kota pelabuhan yang dulu kosmopolitan, yang dibangun di semenanjung perbukitan gunung berapi yang menghadap ke Teluk Aden. Petugas kebersihan sudah dua minggu mogok kerja, dan gunung sampah yang dimakan keledai dan kambing berjajar di pinggir jalan. Dinding dipenuhi coretan—MERDEKA SEKARANG; SURUH REZIM SANAA BERHENTI MEMBUNUH ORANG SELATAN. Pemuda bersenjata AK-47 mengoperasikan blokir jalan yang terbuat dari dari batu bata dan beton di Maalla, sebuah kubu separatis.

Nasser Saleh Attawil, 62, adalah sekretaris jenderal sayap moderat al-Hirak, gerakan separatis Yaman selatan. Bertemu di apartemennya di Maalla terlalu berbahaya (hari sebelumnya seorang remaja separatis ditembak oleh penembak jitu di daerah tersebut, memicu protes yang melibatkan kekerasan). Jadi kami berbincang di bawah payung teduh di Elephant Bay Beach Resort yang terbengkalai. Attawil, mantan perwira Angkatan Udara Yaman Selatan yang dididik di Ukraina sewaktu masih bagian Uni Soviet, mengeluh bahwa Saleh menyerahkan negeri selatan kepada sekutu utara dan menyedot kekayaan minyak dari Hadramaut selatan. Menurut Attawil, sejak penyatuan pada tahun 1990 dan perang saudara yang menyusul, “negara, kekayaan, dan identitas kami hilang semua.”

Attawil mendirikan kelompoknya lima tahun lalu sebagai gerakan damai yang bertujuan mewujudkan pemerintahan yang lebih mandiri di selatan, seperti kemampuan memungut pajak dan mengontrol pendapatan. Tetapi, sebuah kelompok separatis radikal yang menjadi lebih berani karena runtuhnya kewenangan pusat, kini menuntut kemerdekaan penuh.

Konon dengan dibiayai oleh Iran, kelompok itu sering mengadakan unjuk rasa dan menyerang pasukan keamanan Yaman. Ada laporan bahwa kaum separatis ini bekerja sama dengan al-Qaeda, meskipun ini tampaknya propaganda pemerintah yang bertujuan untuk mendelegitimasi keluhan al-Hirak.

Sambil menunggu badai pasir mereda di bandara Aden, saya bercakap-cakap dengan Hussein Othman. Ia seorang syekh berusia 38 tahun yang berbadan tegap dari suku al-Arwal di Abyan timur. “Saya berasal dari tempat bermulanya al-Qaeda di Semenanjung Arab,” katanya kepada saya. Dia tinggal di Abyan dan di Sanaa, bekerja sebagai manajer sumber daya manusia untuk koperasi jurnalis. Dia mendaftarkan anaknya yang 16 tahun di sekolah di Sanaa untuk memberi remaja itu pendidikan yang jauh dari pengaruh al-Qaeda.

Othman sedang berusaha menengahi pemerintah dan kaum militan Islam, yang kebanyakan adalah temannya semasa kecil atau anak-anak anggota klannya. Namun, pembicaraan itu tidak ke mana-mana. Menurutnya, al-Qaeda menuntut agar pemerintah menegakkan hukum syariat dan menarik semua sisa pasukan dari provinsi itu.Sementara kami berbincang, Othman bermain-main dengan pistol .32, yang dibawanya untuk perlindungan setiap kali ia kembali ke Abyan.

Beberapa pemberontak meyakini bahwa dia bersekutu dengan pemerintah, tetapi Othman bersikeras bahwa dia netral. “Anggota suku dan orang Badawi memang terpengaruh oleh agama. Dan ada kemiskinan,” katanya, menjelaskan daya pikat kaum militan. Abyan adalah salah satu provinsi Yaman yang termiskin dan kurang berkembang. !break!

HANYA 160 KILOMETER di barat laut Aden terdapat Taizz, kota yang sebagai jantung revolusi, membangkitkan harapan untuk mewujudkan Yaman yang sangat berbeda. Taizz berkembang seiring jalur perdagangan ke pantai Laut Merah hingga menjadi pusat perdagangan, industri, dan pendidikan. Namun, kota Yaman yang paling liberal dengan rasa sukuisme paling rendah ini dipinggirkan oleh Saleh, dan kota itu pun memudar. Unjuk rasa pertama terjadi di sini, pada Februari 2011. Setahun kemudian pawai unjuk rasa masih diadakan setiap salat Jumat selesai.

Pada suatu hari Jumat saya menyaksikan ribuan lelaki, perempuan, dan anak-anak melambaikan bendera untuk mendukung pihak oposisi Suriah dan mengacungkan jari membentuk V. Di Garden City—kompleks menyenangkan yang berisi kafe, taman bermain, dan taman hiburan dalam bayangan Qalat al-Qahira, sebuah benteng Utsmaniyah bersayap banyak yang bertengger di tebing—saya bertemu dengan salah seorang pemimpin gerakan pro-demokrasi di Taizz, yang kini berupaya agar tetap relevan.

Belkhis al-Abdeli berusia 31 tahun, meski jika dilihat sekilas dia masih seperti remaja putri. Tubuhnya mungil, dengan pipi tembam dan mata gelap yang dibingkai oleh jilbab hijau. Kalau menyinggung topik politik kepada al-Abdeli—atau hak perempuan—senyum hangatnya pun hilang. Matanya berkilat, dan tangannya menusuk-nusuk udara saat dia berbicara. “Saya benci cadar,” katanya, menambahkan bahwa ia tidak pernah menyetujui aturan sosial ketat yang menempatkan kaum perempuan Yaman sebagai warga kelas dua. Menurutnya, perempuan semestinya boleh memilih, ingin menutupi atau menampakkan wajah—“tetapi sebagian besar perempuan di Yaman tidak diberi pilihan.” Al-Abdeli tidak bersuami dan tidak menyesalinya. “Kata kerabat saya, ‘Kau sudah tidak punya peluang lagi menikah.’ Saya tidak masalah.”

Pada hampir semua indikator—kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi—kaum perempuan di Yaman masih tertinggal. Tingkat pernikahan anak termasuk yang tertinggi di dunia, dan 60 persen perempuan Yaman buta huruf. Angka kematian bayi juga termasuk yang terburuk di dunia, akibat kurangnya perawatan kesehatan pra- dan pascakelahiran. Tidak seperti lelaki, perempuan tidak bisa bercerai dengan mudah, dan hak yang terbatas atas harta benda dan warisan. Negara ini menempati peringkat terbawah di antara 135 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Dunia versi Forum Ekonomi Dunia.

Al-Abdeli adalah seorang asisten profesor akuntansi di universitas di Taizz, dan dia menikmati lebih banyak kebebasan daripada sebagian besar kaum perempuan di negara itu. Menurutnya, ini karena dia dibesarkan di Taizz dan memiliki ayah berpikiran terbuka yang “tidak pernah kuliah tetapi berpengetahuan luas tentang dunia.” Dia juga penyair yang selama bertahun-tahun mengungkapkan kebenciannya terhadap rezim Ali Abdullah Saleh secara terbuka.

“Saya menuangkan sebagian impian saya dalam puisi dan menanamkannya di benak mahasiswa saya,” katanya. Ketika Hosni Mubarak jatuh di Mesir, al-Abdeli punya harapan baru. “Saya merasa di sini juga pasti terjadi revolusi. Sejak hari pertama saya ingin ikut unjuk rasa, tetapi ayah saya menyarankan tidak. Katanya, ‘Rezim ini berdarah.’ Jadi saya ikut beberapa hari kemudian.”

Dalam sebuah kamp bernama Freedom Square, al-Abdeli terpilih menjadi anggota dewan kepemimpinan. Pada bulan April 2011 dia mendirikan gerakan sendiri, Forum demi Perubahan, yang tumbuh hingga beranggota ratusan orang. Dia menyelenggarakan seminar dan memimpin pengunjuk rasa di jalan-jalan Taizz setelah salat Jumat. Seorang orator berapi-api, dia berbicara penuh semangat tentang perlunya membasmi KKN dan menjamin hak setara bagi kaum perempuan.!break!

Suasana memanas pada malam 29 Mei, ketika penyerang tak dikenal (yang diyakini banyak orang adalah pasukan keamanan Saleh) membakar ratusan tenda di Freedom Square dan membunuh 50 pengunjuk rasa. Setelah pembantaian itu, syekh yang paling berkuasa di wilayah itu, Hamoud al-Mikhlafi, mengumumkan bahwa dia akan menjadi pelindung para pengunjuk rasa, dan ratusan anggota milisi datang ke Taizz dari daerah pedesaan untuk membela mereka.

Garda Republik dan pasukan pro-Saleh lain berusaha menumpas pemberontakan itu. Pada saat itu al-Abdeli meringkuk bersama orang tua dan saudaranya di ruang bawah tanah di rumah keluarga sementara mortir dan peluru artileri berjatuhan di sekeliling mereka.

Kini kota yang telah lama dianggap sebagai kota Yaman yang rasa sukuismenya paling rendah itu tergantung pada perlindungan al-Mikhlafi dan kalangannya. Milisinya menguasai banyak jalan. Keanggotaannya di al-Islah, partai Islam utama di negara itu yang mencakup berbagai golongan dari Ikhwanul Muslimin yang moderat sampai Salafiyah yang ultrakonservatif, telah mengangkat pamor kaum Islamis.

Pada unjuk rasa Jumat yang saya hadiri, pembicaranya selalu anggota partai Islam. Demokrat sekuler seperti al-Abdeli berada di luar struktur kekuasaan, tetapi ia tetap pergi ke Freedom Square beberapa kali seminggu. “Kami ingin revolusi sungguhan,” katanya bersemangat.

SETELAH MENINGGALKAN GARDEN CITY, saya berkendara sore hari ke vila al-Mikhlafi di puncak bukit, yang bopeng dengan lubang peluru dari pertempuran tahun lalu. Belasan penjaganya sedang berpatroli di jalan di depan, membawa AK-47. Al-Mikhlafi sedang mengunyah qat di ruang tamu yang penuh asap di lantai dasar. Ruang ini dijejali sekitar seratus anggota suku yang duduk dua baris berhadapan sambil mengunyah qat, bersandar pada dinding putih ruang sempit.

Senjata disandarkan pada dinding, dan karpet biru-cokelat diseraki daun dan tangkai qat serta asbak yang meluap. Al-Mikhlafi mengajak saya ke ruangan pribadi di seberang halaman untuk berbincang. Dia pernah menjadi petugas keamanan di pemerintahan Saleh, bertanggung jawab mengumpulkan informasi tentang musuh rezim. “Saya menasihatinya—agar lebih sering berdialog dengan rakyat, menerapkan demokrasi nyata—tetapi dia tak menghiraukan,” kata sang syekh.

Ia adalah seorang pria tampan dengan jenggot hitam tipis, mata lembut, dan rambut keriting beruban yang menonjolkan bentuk kepalanya yang persegi. Al-Mikhlafi menyebut dirinya “pembela demokrasi.” Tetapi, kaum demokrat sekuler Taizz mengatakan bahwa kesetiaannya kepada partai Islam dan kebiasaannya menyelesaikan konflik dengan unjuk kekuatan militer menyiratkan bahwa membangun masyarakat madani bukanlah prioritas utama dalam agendanya. Taizz berada di ambang perseteruan.

Al-Abdeli dan gerakan pro-demokrasinya berharap dapat membangun masyarakat baru yang berdasarkan transparansi dan aturan hukum. Tetapi, saat ini al-Mikhlafi dan orang-orang seperti dia yang sedang memegang kendali. Yaman masih milik orang-orang bersenjata.