Hari Perhitungan

By , Selasa, 28 Agustus 2012 | 11:22 WIB

Belum lama ini, jambiya menunjukkan status lelaki sebagai anggota suku, hakim, dan keturunan langsung Nabi Muhammad; setiap kelompok memakai jambiya dengan tanda yang menunjukkan kastanya. Tetapi, Saleh mengangkat status sosial kaum pemilik toko dan pedagang. Ini adalah sebuah langkah politik cerdik yang memperluas basis dukungannya.

“Kami masih menyukai Saleh,” kata Abdullah, pemilik penggilingan biji mustar. Ia dengan bangga menunjuk foto-foto si mantan presiden yang berbingkai dan menutupi dinding tokonya nan suram. Sama seperti Saleh dan hampir semua orang di Kota Tua, Abdullah adalah penganut aliran Zaidiyah, mazhab moderat Islam Syiah yang utama di Yaman. Tetapi, kesamaan agama hanya menjelaskan sebagian saja soal kesetiaan kepada Saleh ini.

Menurut tradisi di Yaman, kelompok suku yang erat berperan sebagai negara dalam negara, dengan persediaan senjata. Sistem pengadilan paralel akan memutuskan segala sesuatu mulai dari sengketa properti sampai pembunuhan. Saleh mendapat dukungan dari persekutuannya dengan Syekh Abdullah al Ahmar, sang “syekh dari syekh,” yang memimpin konfederasi suku Hashid yang berkuasa. Inilah salah satu dari dua kelompok suku utama di Yaman, bersama kelompok suku Bakil.

Dalam beberapa puluh tahun terakhir, pendidikan, urbanisasi, dan keterpajanan terhadap dunia luar memperlemah pengaruh suku. Banyak anggota suku tidak lagi menerima begitu saja kewenangan syekh tertinggi, dan tuntutan atas hak-hak dasar dan kebebasan semakin lantang. Pada bulan Maret 2011 setelah al-Ahmar senior wafat, anak-anaknya bangkit melawan Saleh setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa. Garda Republik dan milisi suku bertempur dengan senjata berat di Sanaa, menandakan awal kehancuran Saleh.!break!

ANDAI SAJA ketenangan dan pengendalian diri Kota Tua mencerminkan situasi Yaman. Saat ini suasana negara itu lebih tecermin oleh Aden yang tidak stabil dan tidak ada hukum, kota tempat para pembom bunuh diri al-Qaeda menyerang USS Cole pada tahun 2000.

Bau busuk dan sampah terbakar memenuhi udara lesu di kota pelabuhan yang dulu kosmopolitan, yang dibangun di semenanjung perbukitan gunung berapi yang menghadap ke Teluk Aden. Petugas kebersihan sudah dua minggu mogok kerja, dan gunung sampah yang dimakan keledai dan kambing berjajar di pinggir jalan. Dinding dipenuhi coretan—MERDEKA SEKARANG; SURUH REZIM SANAA BERHENTI MEMBUNUH ORANG SELATAN. Pemuda bersenjata AK-47 mengoperasikan blokir jalan yang terbuat dari dari batu bata dan beton di Maalla, sebuah kubu separatis.

Nasser Saleh Attawil, 62, adalah sekretaris jenderal sayap moderat al-Hirak, gerakan separatis Yaman selatan. Bertemu di apartemennya di Maalla terlalu berbahaya (hari sebelumnya seorang remaja separatis ditembak oleh penembak jitu di daerah tersebut, memicu protes yang melibatkan kekerasan). Jadi kami berbincang di bawah payung teduh di Elephant Bay Beach Resort yang terbengkalai. Attawil, mantan perwira Angkatan Udara Yaman Selatan yang dididik di Ukraina sewaktu masih bagian Uni Soviet, mengeluh bahwa Saleh menyerahkan negeri selatan kepada sekutu utara dan menyedot kekayaan minyak dari Hadramaut selatan. Menurut Attawil, sejak penyatuan pada tahun 1990 dan perang saudara yang menyusul, “negara, kekayaan, dan identitas kami hilang semua.”

Attawil mendirikan kelompoknya lima tahun lalu sebagai gerakan damai yang bertujuan mewujudkan pemerintahan yang lebih mandiri di selatan, seperti kemampuan memungut pajak dan mengontrol pendapatan. Tetapi, sebuah kelompok separatis radikal yang menjadi lebih berani karena runtuhnya kewenangan pusat, kini menuntut kemerdekaan penuh.

Konon dengan dibiayai oleh Iran, kelompok itu sering mengadakan unjuk rasa dan menyerang pasukan keamanan Yaman. Ada laporan bahwa kaum separatis ini bekerja sama dengan al-Qaeda, meskipun ini tampaknya propaganda pemerintah yang bertujuan untuk mendelegitimasi keluhan al-Hirak.

Sambil menunggu badai pasir mereda di bandara Aden, saya bercakap-cakap dengan Hussein Othman. Ia seorang syekh berusia 38 tahun yang berbadan tegap dari suku al-Arwal di Abyan timur. “Saya berasal dari tempat bermulanya al-Qaeda di Semenanjung Arab,” katanya kepada saya. Dia tinggal di Abyan dan di Sanaa, bekerja sebagai manajer sumber daya manusia untuk koperasi jurnalis. Dia mendaftarkan anaknya yang 16 tahun di sekolah di Sanaa untuk memberi remaja itu pendidikan yang jauh dari pengaruh al-Qaeda.

Othman sedang berusaha menengahi pemerintah dan kaum militan Islam, yang kebanyakan adalah temannya semasa kecil atau anak-anak anggota klannya. Namun, pembicaraan itu tidak ke mana-mana. Menurutnya, al-Qaeda menuntut agar pemerintah menegakkan hukum syariat dan menarik semua sisa pasukan dari provinsi itu.Sementara kami berbincang, Othman bermain-main dengan pistol .32, yang dibawanya untuk perlindungan setiap kali ia kembali ke Abyan.

Beberapa pemberontak meyakini bahwa dia bersekutu dengan pemerintah, tetapi Othman bersikeras bahwa dia netral. “Anggota suku dan orang Badawi memang terpengaruh oleh agama. Dan ada kemiskinan,” katanya, menjelaskan daya pikat kaum militan. Abyan adalah salah satu provinsi Yaman yang termiskin dan kurang berkembang. !break!