Mantra si Mandraguna

By , Selasa, 27 November 2012 | 18:16 WIB

Panggilan menjadi dukun biasanya diwarisi turun-temurun. “Ayah saya dukun,” kata Nergui, lalu menambahkan bahwa dia berusia 25 tahun saat menyadari bahwa dia pun memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia roh. “Saya sudah 25 tahun melakukan ini, dan ada 23 roh yang dapat saya panggil.”

Pada era Soviet, semua agama, termasuk tradisi perdukunan, ditekan. Banyak dukun me­ninggal di kamp kerja paksa. “Dukun ke­nal­­an saya bernama Gombo tertangkap saat me­lakukan ritual dan dipenjarakan selama satu setengah tahun,” kata Nergui.

Saat Nergui sudah mulai praktik, masa terburuk pe­musnahan itu sudah berakhir, tetapi per­dukunan tetap dilarang, dan dukun harus praktik diam-diam. “Kami menyembunyikan agama kami agar tak punah,” katanya. “Ada dua tempat untuk melakukan ritual.

Pertama di rumah, dan biasanya ada yang duduk berjaga di samping pintu kalau-kalau ada orang datang. Tempat kedua tersembunyi di pegunungan. Lalu sekitar 1995, keadaan berubah, dan kami bisa praktik dengan bebas.” Memang, sekarang perdukunan mengalami kebangkitan di seluruh wilayah asal sejarahnya di Asia Tengah, Siberia, dan Mongolia—memuaskan kehausan spiritual setelah 70 tahun diwajibkan menganut ateisme.

Saat ini Nergui tampak kian muram, dan agak­nya dikuasai rasa duka mendalam. Per­dukun­an terutama mementingkan pe­la­yanan masya­rakat, katanya. “Saat menjadi du­kun, orang bertanggung jawab menjaga orang di se­kitar­nya.

” Itu beban psikologis yang be­rat, dan mungkin menjelaskan mengapa pe­nya­­lahgunaan alkohol tampaknya lazim di kalangan dukun. “Kadang kami harus melaku­kan hal-hal gelap,” katanya, lalu terdiam.!break!

Karena perdukunan semakin populer, ritual­nya menjadi acara besar—dan bahkan bisnis besar. Pada suatu hari di bulan Agustus, di padang rumput Republik Buryatiya di Rusia, sekitar 24 orang berjubah nila dari kelompok dukun lokal bernama Tengeri (Roh Langit) melakukan ritual bersemangat yang disebut tailgan, menghormati tempat sakral di gunung di dekat situ.

Kawanan agas dan aroma daging domba rebus melayang di udara. Domba itu disembelih dengan upacara dan dipotong empat, kini dimasak dalam kuali besar. Sambil bersenandung dan menabuh gen­dang bundar dari kulit hewan, para dukun duduk berbaris menghadap tempat suci itu, Bukha-Noyon, petak tak berpohon di lereng gunung yang konon dihuni roh suci, termasuk arwah leluhur lelaki yang bernama sama.

Di depan mereka ada meja yang berisi lilin, permen aneka warna, teh, vodka, dan persembahan lain untuk roh. Pedagang men­jual buuza, dimsum Buryat yang lezat, dari belakang mobil SUV, dan anak-anak bermain di rumput kering. Di atas Bukha-Noyon, dua ekor elang berputar —konon menandakan bahwa arwah sedang turun.

Aku berdiri di belakang para dukun, mem­bentuk setengah lingkaran bersama 200 penonton. Kerumunan itu gado-gado: orang etnik Rusia, anggota masyarakat Buryat setempat, dan sejumlah orang Barat. Oleg Dorzhiyev, salah seorang dukun itu, membungkuk penuh konsentrasi, sementara lantunan dan tabuhan kian cepat bersemangat.

Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri. Penonton terdiam. Dia telah dirasuki roh. Dorzhiyev menghampiri satu sisi kerumun­an. Tutup kepalanya mirip helm pendekar, dan wajahnya berbayang gelap di balik tabir rumbai hitam tipis. Dia berjalan perlahan, kaku, dan napasnya terdengar berat. Orang memalingkan muka.

“Tak boleh menatap mata dukun yang sedang kerasukan,” kata lelaki di sebelah, seraya menatap tanah lekat-lekat. Seorang asisten membawakan bangku untuk roh-dukun itu, dan sekitar 20 orang mengerumuninya. Ada yang berlutut, ada yang bersujud ke tanah.