Mantra si Mandraguna

By , Selasa, 27 November 2012 | 18:16 WIB

Mereka bertanya macam-macam. Mengapa saya tidak sukses berbisnis? Mengapa saya tidak bisa hamil? Si dukun menjawab dengan suara yang berat dan parau. Di sekeliling kami para dukun lain juga trance, tersaruk-saruk dan dikerumuni orang. Pemandangan itu membuat saya mem­bayangkan film zombi Night of the Living Dead, tapi ini versi Siberia.

Di dekat saya seorang dukun berbicara dengan suara melengking, se­olah dirasuki roh perempuan. Setelah sekitar 20 menit, sudah waktunya roh Dorzhiyev pergi. Para asisten menuntunnya menjauh be­berapa meter dan menyuruhnya melompat-lompat. Dia melepaskan tutup kepala dan mengerjap-ngerjap dalam sinar matahari musim panas. Trance selesai.!break!

Saya menemui Dorzhiyev setelahnya di kantor­nya yang bersahaja dan temaram di markas Tengeri di pinggiran Ulan-Ude, ibu kota Buryatiya yang tenteram. Di luar gedung kayu itu terdapat patung besar yang bentuknya mirip pohon Natal dan dihiasi bendera biru, tanduk rusa, dan tengkorak beruang.

“Saat kita mulai masuk keadaan trance, terasa ada kekuatan energi yang mendekat,” katanya, suaranya semakin lantang. “Tidak terlihat—seperti sosok manusia dalam kabut. Dan saat sosok itu semakin dekat, kita melihat siapa dia, bahwa dia roh. Seseorang yang hidup di masa lampau.

“Dia memasuki kita, dan kesadaran kita terbang,” lanjut Dorzhiyev. “Kesadaran kita pergi ke tempat indah. Dan roh mengambil alih tubuh kita. Lalu setelah selesai, roh itu pergi, dan kesadaran kita kembali. Kita merasa sangat lelah—perlu waktu lama untuk pulih.”

Sebelum menjadi dukun, Dorzhiyev adalah  penga­cara yang bekerja di Kementerian Ke­hakiman—dan melihat sikapnya yang rasional dan kalem, hal ini mudah dibayangkan. Dua belas tahun yang lalu, saat berusia 34 tahun, dia terkena sesuatu yang disebut “penyakit dukun”—masa panjang kesulitan psikologis, profesional, pribadi, dan fisik yang dahsyat, saat roh dianggap sedang mengirim pertanda.

Masalah berlanjut sampai orang itu akhirnya menyerah, dan mengenakan jubah dukun. “Kepala saya sakit, punggung saya sakit. Karena saya orang yang cukup rasional, saya ke dokter,” kata Dorzhiyev. Tetapi dokter tidak bisa menemukan penyakit apa-apa.

“Saya merasa bersalah, seolah berpura-pura sakit.” Ketidaknyamanan ini berlangsung selama empat tahun, sampai seorang teman yang seorang dukun masuk keadaan trance untuk membersihkannya. Dalam ritual itu, roh mengungkapkan bahwa Dorzhiyev adalah salah satu orang yang terpilih. Sekarang dia sudah delapan tahun praktik sebagai dukun, dan nyeri yang dideritanya telah berhenti.

Dorzhiyev membantu mendirikan Tengeri pada 2003 karena dia ingin merasa menjadi bagian komunitas. Baru-baru ini organi­sasi ini diserang kritik tajam. Ada aturan tak tertulis, dukun tak boleh meminta uang, tetapi beberapa dukun Buryat menuduh anggota Tengeri memasang harga jasa tinggi, dengan mengadakan pertunjukan seperti sirkus bagi masyarakat yang mudah terpengaruh.

Harus disebutkan, dalam komunitas dukun terdapat banyak golongan dan kelompok yang bersaing. “Kami tidak mendapat gaji—kami hidup dari uang yang direlakan orang untuk kami,” kata Dorzhiyev. Ketika saya bersamanya, dia tampaknya sangat menganggap serius tanggung jawab profesionalnya, dan saya tak pernah melihatnya meminta uang kepada klien. Dia; istrinya, Tatyana; serta dua putra dan satu putri mereka tinggal di apartemen dua kamar yang sederhana di gedung yang dikelola Tatyana.!break!

Perdukunan bukan sekadar soal kelahiran kembali spiritual dan bisnis laris. Perdukunan juga katalis untuk kebangkitan budaya pasca-Soviet di kalangan suku-suku pribumi Buryatiya. Di tepi Danau Baikal, perairan air tawar terdalam di dunia dan salah satu situs paling sakral di Siberia, saya menyaksikan perdukunan sebagai ekspresi jati diri—upacara oleh orang Buryat untuk orang Buryat.

Orang Buryat adalah orang Mongol yang juga menganut agama Buddha dan Kristen. Sekitar 300 tahun yang lalu, Kekaisaran Rusia menelan mereka dalam perluasan tak kenal ampun ke wilayah Eurasia. Selama periode Soviet, mereka, bersama suku pribumi lain di wilayah itu, mengalami penurunan populasi besar-besaran, dan budaya mereka diredam. Di Buryatiya masa kini, jumlah orang Buryat tak sampai sepertiga jumlah penduduk di sana.