Mantra si Mandraguna

By , Selasa, 27 November 2012 | 18:16 WIB

Air Danau Baikal berdebur di se­berang bukit kecil. Di bawah langit yang berawan begitu rendah sehingga seolah dapat diraih, tiga orang dukun yang berjubah hijau, ungu, dan biru berkumpul untuk memohon panen bagus dan persatuan kepada para roh. Mereka berdiri di samping dan, hampir tak terlihat, menggumamkan doa, memercikkan susu dan vodka ke dalam api unggun kecil.

Di samping saya ada Petr Azhunov, pria yang super-energik bak siluman, rambutnya ekor kuda dan jenggotnya tipis, yang me­rupakan dukun sekaligus antropolog. Bagi­nya perdukunan merupakan pernyataan politis, selain gerakan agama—upaya untuk memulihkan rasa kebangsaan Buryat setelah hegemoni Rusia.

Menurut Azhunov, di bawah komunisme, ritual seperti ini kadang-kadang harus dilakukan di tengah malam buta. Namun, banyak pejabat komunis lokal membiarkan perdukunan, dan sebagian bahkan mengunjungi dukun. “Moskwa takut pada dukun tulen seperti kami,” kata Azhunov. “Orang Islam dapat dikontrol, orang Buddha dapat dikontrol, grup terorganisasi seperti Tengeri dapat dikontrol—tetapi dukun sungguhan tidak dapat dikontrol.”

Dia menuangkan ke tanah persembahan berupa beberapa tetes minuman ramuan lokal, tarasun—minuman berbau tajam yang dibuat dari susu fermentasi—sebelum mencicipinya. Azhunov adalah tradisionalis yang meyakini bahwa wanita tidak boleh menghadiri ritus dukun tertentu. “Fotografer Anda, Carolyn, tidak boleh memfoto upacara ini,” katanya meminta maaf. “Wanita berisiko sedang tidak suci.” Para lelaki di dekatnya mengangguk setuju dengan serius.

Beberapa meter dari situ, di tempat sakral lain, saya dan Carolyn Drake bertemu dengan tiga dukun perempuan yang melakukan ritual sendiri. Pemimpinnya, Lyudmila Lozovna Lavrentiyeva, yang mengenakan selendang kuning, celana merah, dan kalung berkerincing, menertawakan pemikiran bahwa hanya pria yang bisa menjadi dukun.

“Suku Buryat meyakini bahwa dahulu kala ada elang terbang dan melihat wanita hamil sedang tidur di bawah pohon, lalu mengisinya dengan roh suci. Wanita itu melahirkan anak lelaki yang menjadi dukun. Jadi Anda lihat sendiri,” katanya, tampak puas, “dukun pertama sebenarnya perempuan.”!break!

Saat pergi dari baikal, saya memikirkan perkataan Oleg Dorzhiyev. Dalam pemikiran perdukunan, alam semesta adalah sesuatu yang terpadu—jaringan raksasa yang menautkan kita manusia dengan gunung dan danau, selain juga dengan sesama manusia dan leluhur kita.

“Bagi kami,” katanya, “dewa-dewa kami terutama adalah kakek-nenek kami, yang menjadi roh pelindung kami. Mereka orang sungguhan. Dan cinta kami bagi mereka kuat. Inilah cinta anak bagi orang tuanya, dan orang tua bagi anak-cucunya. Dan energi ini tidak pernah pudar.”

Hati saya tergerak oleh konsep ini, selain tergugah oleh aspek-aspek lain perdukunan—rasa individualisme yang kuat, hormat mendalam bagi alam, dan hubungan dengan masa lalu. Dalam bentuk terburuk, perdukunan adalah penipuan, dan berpotensi berbahaya, seperti saat saya melihat dukun mengikatkan pita kain erat-erat pada kepala pria yang mungkin tengkoraknya retak.

Mata lelaki itu memutar ke belakang, dan dia menjerit, sepertinya sangat kesakitan. Para pengikutnya bersumpah bahwa perdukunan itu bukanlah penipuan, dengan menceritakan berbagai perubahan hidup dan penyembuhan bak mukjizat.

Pada 2007, penulis Rupert Isaacson dan istrinya, Kristin, membawa anaknya, Rowan, yang berusia lima tahun dan mengidap autisme, ke dukun Tsaatan di Mongolia bernama Ghoste.

Ketika baru-baru ini saya berbicara dengan Isaacson, dia mengakui dia tidak bisa membuktikan bahwa anaknya terbantu oleh dukun itu—dia hanya dapat menunjuk perubahan yang terjadi hampir segera: “Saat kami berangkat ke sana,” katanya, Rowan “tak terkendali, selalu mengamuk, dan tak bisa berteman. Dan ketika dia kembali, dia tak lagi menunjukkan ketiga disfungsi itu.” Kondisi Rowan terus membaik.

Menimbang semuanya, saya tidak akan buru-buru menganut aliran perdukunan. Tapi saya masih menyimpan tulang pergelangan kaki serigala pemberian dukun Nergui—untuk berjaga-jaga saja.