Mantra si Mandraguna

By , Selasa, 27 November 2012 | 18:16 WIB

Nergui berdiri di tengah ruangan. Sambil bersenandung, tubuhnya berayun kanan-kiri. Matanya terpejam, dan dia menggenggam seikat pita kain warna-warni. Suaranya parau dan nadanya berulang, seperti balada kuno: “Wahai langit biru agung, yang menyelimutiku, datanglah.”

Nergui adalah seorang boo, demikian sebutan orang Mongolia untuk dukun lelaki. Dia meyakini dirinya sebagai perantara alam manusia dengan alam gaib, tempat ber­semayam roh dan dewa. Di seluruh Mongolia, Asia Tengah, dan Siberia, sosok-sosok mistis seperti Nergui sedang membangkitkan kembali tradisi lama. Dan ternyata orang-orang terbuka menyambut ritual mereka yang karismatik.

Setelah bersemadi dan melantun, Nergui masuk ke keadaan trance, yaitu keadaan saat roh dari alam gaib bebas memasuki tubuhnya. Kami berdelapan berkumpul, duduk di bang­ku dan tempat tidur rangka logam yang dirapat­kan ke dinding pondok kayu satu-kamar miliknya.

Waktu itu baru saja lewat tengah hari. Bagi Nergui, jam tengah hari adalah waktu yang tepat untuk menjelajah ke dunia lain. “Langit serigala, tolonglah aku. Telah datang seseorang berhati damai yang sedang kesusahan. Langit agung, datanglah.”

Nergui adalah pria langsing yang bersahaja, dengan raut suram. Dia tidak bercukur, me­ngenakan del—jubah adat Mongolia—berwarna cokelat kusam, serta sabuk kuning dan selempang sutra biru yang melilit leher. Celana korduroi biru pudar mengintip dari balik jubahnya. Kakinya beralas sepatu dukun yang dibuat khusus dari kulit rusa kutub.

Dia orang Darhad, salah satu suku etnik pribumi di Mongolia utara, di dekat perbatasan Rusia. Suku Darhad yang berjumlah sekitar 20.000 jiwa mempertahankan sebagian besar gaya hidup nomad tradisional: boleh dibilang mata pencarian Nergui adalah memelihara sapi, kambing, domba, dan kudanya.

Mereka juga mempraktikkan perdukunan dalam salah satu bentuk yang paling murni, sebagai bagian integral dalam kehidupan mereka. Keterpencilan wilayah itu turut men­jelaskan mengapa hampir tidak ada yang berubah. Senandung Nergui kian cepat sementara ayunan tubuhnya kian mirip tarian. Dia mem­beri aba-aba dan memecut-mecut dengan pita kainnya, seolah sedang memacu kuda.

Ranting kasturi yang dibakar dalam tung­ku besi tempa menguarkan aroma wangi; asapnya diyakini dapat menarik perhatian roh. Selimut yang tergantung pada dinding untuk mencegah panas keluar menjadikan ruangan tampak semakin kecil. Di sudut di seberang pintu terdapat kumpulan jimat, patung kecil, selendang berwarna, perca kain, dan jimat lain—altar bagi roh pelindung Nergui.!break!

Tiba-tiba dia roboh. Dua asisten menang­kap­nya, dan dia melolong. Lalu dia berce­kakak­an. “Dia telah dirasuki roh,” bisik Zaya Oldov, pemandu dan juru bahasa saya. Mereka membawanya ke belakang ruangan, lalu dia duduk bersila, matanya masih ter­pejam.

Satu per satu hadirin mendekatinya. Si du­kun—atau roh yang berbicara melaluinya— menggambarkan masa lalu setiap orang dan memberi nasihat. Lalu tiba giliran saya; saya berlutut di sisinya. “Anda sangat pendiam semasa muda.”

Suara Nergui lebih berat sekarang, lebih yakin. “Anda menyukai hewan. Ke mana pun Anda pergi, Anda menghadiahkan barang kepada orang, dan ini membuat mereka tersenyum.” Semua ini benar, tetapi begitu umum sehingga dapat berlaku bagi hampir semua orang.

Dia melanjutkan, “Di sisi kanan tubuh Anda, di bawah ketiak, ada tanda yang unik.” (Tidak benar—kulit saya di situ tidak bernoda.)  “Lelaki bertanda anjing dan domba akan segera menolong Anda.” Nergui lalu menutupnya: “Dengan kekuatan saya, saya akan menjaga ke­luarga dan kerabat Anda.

Bawalah ranting kasturi ini dan bakar di rumah.” Usai saya terima, dia meraih sesuatu dan mengulurkan tangan. “Ini tulang pergelangan kaki serigala. Bawalah di dalam saku kanan—Anda akan terlindung dari bahaya.” Dia mulai keluar dari trance, memutar-mu­tar dan mengepakkan tangan.

Matanya penuh rasa takut (atau sakit?), dan napasnya tersengal. Istrinya, Chimgee—wanita mungil tapi kuat, dalam del biru abu-abu dan kain kepala hijau—menghampirinya dan menaruh rokok menyala ke dalam mulutnya. Masih gemetar, Nergui mengunyah rokok itu, termasuk ujung yang menyala, lalu menelannya.

Akhirnya Nergui tenang kembali. Dia ditawari rokok lagi, yang kali ini diisapnya. Chimgee tersenyum kepada suaminya. “Apakah perjalananmu baik, sayang?”!break!

Kata “shaman” (dukun) berasal dari suku Evenki, suku di Siberia. Tetapi, dukun terdapat di hampir setiap sudut bumi—termasuk di pusat-pusat dukun sekarang di London, Boston, dan banyak kota Barat lain. Dukun me­yakini bahwa roh gaib memenuhi dunia di sekeliling kita, memengaruhi kita, dan mengatur nasib kita.

Kadang berperan sebagai dokter, pemimpin agama, orang pintar, psi­kolog, tetua desa, peramal, dan penyair, dukun adalah negosiator terpilih untuk alam gaib ini, dan mereka menempati posisi terhormat dalam masyarakatnya.

Tidak ada definisi pasti untuk perdukunan. “Lebih tepat kita menyebutnya ‘berbagai bentuk perdukunan,’ tidak hanya satu,” kata Marjorie Mandelstam Balzer, antropolog di Georgetown University di Washington, D.C. Katanya, keyakinan, praktik, dan ritualnya berbeda-beda untuk setiap orang, karena jalan untuk menjadi dukun sangatlah khas orang per orang.

Namun, memang ada kemiripannya: Trance penuh ekstase, atau kadang disebut per­jalanan jiwa, adalah fenomena ciri khas per­dukunan. Tetapi, cara dukun menggunakan alat dan wawasan spiritualnya sangatlah be­ragam, demikian pula tujuan akhir ritual itu.

Banyak dukun bekerja sendirian, sementara ada yang mengikuti organisasi kota yang besar, yang berperan sebagai serikat buruh; Pusat Kajian Perdukunan Golomt di Ulanbator meng­klaim memiliki sekitar 10.000 anggota. Sebagian besar dukun di negara-negara Asia Tengah, seperti Kyrgyzstan dan Kazakhstan, yang didominasi Islam, memandang diri se­bagai Muslim taat, dan ritualnya me­ngandung tradisi mistis Sufisme.

Berbalut jubah putih suci, mereka melakukan ritual di tempat keramat Muslim, dan setiap upacara mengandung doa panjang dari Alquran. Di Siberia dan Mongolia, perdukunan berbaur dengan tradisi Buddha setempat.

Di Ulanbator saya bertemu dengan seorang dukun, Zorigtbaatar Banzar—pria bertubuh besar dan bermata tajam, seperti tokoh Falstaff dalam drama Shakespeare—yang membentuk lembaga keagamaan sendiri: Pusat Perdukunan dan Pengalaman Surgawi Abadi, yang mempersatukan perdukunan dengan agama-agama dunia.

Pada setiap hari Kamis di ger miliknya (tenda adat Mongolia) di jalan yang disesaki asap buangan mobil di dekat pusat kota, Zorigtbaatar mengadakan upacara yang mirip dengan kebaktian gereja, dengan puluhan pengikut yang menyimak khotbahnya yang sering melantur.!break!

Usai Nergui pulih dari trance, dia membuka sebotol vodka yang saya bawakan sebagai hadiah, dan menuangkan sedikit ke cangkir ceper untuk semua orang. Saya menerima cangkir itu dengan tangan kanan—menerima apa pun dengan tangan kiri bisa dianggap penghinaan besar—dan sebelum minum, saya mempersembahkannya kepada roh ke tiga arah.

Saya mencelupkan jari sedikit ke dalam minuman itu, memercikkan beberapa tetes ke udara, lalu ke tanah, dan akhirnya mengoleskannya pada kening saya. Perdukunan adalah bawaan lahir, kata Ner­gui, sambil meneguk vodka agak banyak. Kita tidak bisa tiba-tiba memutuskan ingin menjadi dukun—kita harus dipilih oleh roh.

Panggilan menjadi dukun biasanya diwarisi turun-temurun. “Ayah saya dukun,” kata Nergui, lalu menambahkan bahwa dia berusia 25 tahun saat menyadari bahwa dia pun memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia roh. “Saya sudah 25 tahun melakukan ini, dan ada 23 roh yang dapat saya panggil.”

Pada era Soviet, semua agama, termasuk tradisi perdukunan, ditekan. Banyak dukun me­ninggal di kamp kerja paksa. “Dukun ke­nal­­an saya bernama Gombo tertangkap saat me­lakukan ritual dan dipenjarakan selama satu setengah tahun,” kata Nergui.

Saat Nergui sudah mulai praktik, masa terburuk pe­musnahan itu sudah berakhir, tetapi per­dukunan tetap dilarang, dan dukun harus praktik diam-diam. “Kami menyembunyikan agama kami agar tak punah,” katanya. “Ada dua tempat untuk melakukan ritual.

Pertama di rumah, dan biasanya ada yang duduk berjaga di samping pintu kalau-kalau ada orang datang. Tempat kedua tersembunyi di pegunungan. Lalu sekitar 1995, keadaan berubah, dan kami bisa praktik dengan bebas.” Memang, sekarang perdukunan mengalami kebangkitan di seluruh wilayah asal sejarahnya di Asia Tengah, Siberia, dan Mongolia—memuaskan kehausan spiritual setelah 70 tahun diwajibkan menganut ateisme.

Saat ini Nergui tampak kian muram, dan agak­nya dikuasai rasa duka mendalam. Per­dukun­an terutama mementingkan pe­la­yanan masya­rakat, katanya. “Saat menjadi du­kun, orang bertanggung jawab menjaga orang di se­kitar­nya.

” Itu beban psikologis yang be­rat, dan mungkin menjelaskan mengapa pe­nya­­lahgunaan alkohol tampaknya lazim di kalangan dukun. “Kadang kami harus melaku­kan hal-hal gelap,” katanya, lalu terdiam.!break!

Karena perdukunan semakin populer, ritual­nya menjadi acara besar—dan bahkan bisnis besar. Pada suatu hari di bulan Agustus, di padang rumput Republik Buryatiya di Rusia, sekitar 24 orang berjubah nila dari kelompok dukun lokal bernama Tengeri (Roh Langit) melakukan ritual bersemangat yang disebut tailgan, menghormati tempat sakral di gunung di dekat situ.

Kawanan agas dan aroma daging domba rebus melayang di udara. Domba itu disembelih dengan upacara dan dipotong empat, kini dimasak dalam kuali besar. Sambil bersenandung dan menabuh gen­dang bundar dari kulit hewan, para dukun duduk berbaris menghadap tempat suci itu, Bukha-Noyon, petak tak berpohon di lereng gunung yang konon dihuni roh suci, termasuk arwah leluhur lelaki yang bernama sama.

Di depan mereka ada meja yang berisi lilin, permen aneka warna, teh, vodka, dan persembahan lain untuk roh. Pedagang men­jual buuza, dimsum Buryat yang lezat, dari belakang mobil SUV, dan anak-anak bermain di rumput kering. Di atas Bukha-Noyon, dua ekor elang berputar —konon menandakan bahwa arwah sedang turun.

Aku berdiri di belakang para dukun, mem­bentuk setengah lingkaran bersama 200 penonton. Kerumunan itu gado-gado: orang etnik Rusia, anggota masyarakat Buryat setempat, dan sejumlah orang Barat. Oleg Dorzhiyev, salah seorang dukun itu, membungkuk penuh konsentrasi, sementara lantunan dan tabuhan kian cepat bersemangat.

Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri. Penonton terdiam. Dia telah dirasuki roh. Dorzhiyev menghampiri satu sisi kerumun­an. Tutup kepalanya mirip helm pendekar, dan wajahnya berbayang gelap di balik tabir rumbai hitam tipis. Dia berjalan perlahan, kaku, dan napasnya terdengar berat. Orang memalingkan muka.

“Tak boleh menatap mata dukun yang sedang kerasukan,” kata lelaki di sebelah, seraya menatap tanah lekat-lekat. Seorang asisten membawakan bangku untuk roh-dukun itu, dan sekitar 20 orang mengerumuninya. Ada yang berlutut, ada yang bersujud ke tanah.

Mereka bertanya macam-macam. Mengapa saya tidak sukses berbisnis? Mengapa saya tidak bisa hamil? Si dukun menjawab dengan suara yang berat dan parau. Di sekeliling kami para dukun lain juga trance, tersaruk-saruk dan dikerumuni orang. Pemandangan itu membuat saya mem­bayangkan film zombi Night of the Living Dead, tapi ini versi Siberia.

Di dekat saya seorang dukun berbicara dengan suara melengking, se­olah dirasuki roh perempuan. Setelah sekitar 20 menit, sudah waktunya roh Dorzhiyev pergi. Para asisten menuntunnya menjauh be­berapa meter dan menyuruhnya melompat-lompat. Dia melepaskan tutup kepala dan mengerjap-ngerjap dalam sinar matahari musim panas. Trance selesai.!break!

Saya menemui Dorzhiyev setelahnya di kantor­nya yang bersahaja dan temaram di markas Tengeri di pinggiran Ulan-Ude, ibu kota Buryatiya yang tenteram. Di luar gedung kayu itu terdapat patung besar yang bentuknya mirip pohon Natal dan dihiasi bendera biru, tanduk rusa, dan tengkorak beruang.

“Saat kita mulai masuk keadaan trance, terasa ada kekuatan energi yang mendekat,” katanya, suaranya semakin lantang. “Tidak terlihat—seperti sosok manusia dalam kabut. Dan saat sosok itu semakin dekat, kita melihat siapa dia, bahwa dia roh. Seseorang yang hidup di masa lampau.

“Dia memasuki kita, dan kesadaran kita terbang,” lanjut Dorzhiyev. “Kesadaran kita pergi ke tempat indah. Dan roh mengambil alih tubuh kita. Lalu setelah selesai, roh itu pergi, dan kesadaran kita kembali. Kita merasa sangat lelah—perlu waktu lama untuk pulih.”

Sebelum menjadi dukun, Dorzhiyev adalah  penga­cara yang bekerja di Kementerian Ke­hakiman—dan melihat sikapnya yang rasional dan kalem, hal ini mudah dibayangkan. Dua belas tahun yang lalu, saat berusia 34 tahun, dia terkena sesuatu yang disebut “penyakit dukun”—masa panjang kesulitan psikologis, profesional, pribadi, dan fisik yang dahsyat, saat roh dianggap sedang mengirim pertanda.

Masalah berlanjut sampai orang itu akhirnya menyerah, dan mengenakan jubah dukun. “Kepala saya sakit, punggung saya sakit. Karena saya orang yang cukup rasional, saya ke dokter,” kata Dorzhiyev. Tetapi dokter tidak bisa menemukan penyakit apa-apa.

“Saya merasa bersalah, seolah berpura-pura sakit.” Ketidaknyamanan ini berlangsung selama empat tahun, sampai seorang teman yang seorang dukun masuk keadaan trance untuk membersihkannya. Dalam ritual itu, roh mengungkapkan bahwa Dorzhiyev adalah salah satu orang yang terpilih. Sekarang dia sudah delapan tahun praktik sebagai dukun, dan nyeri yang dideritanya telah berhenti.

Dorzhiyev membantu mendirikan Tengeri pada 2003 karena dia ingin merasa menjadi bagian komunitas. Baru-baru ini organi­sasi ini diserang kritik tajam. Ada aturan tak tertulis, dukun tak boleh meminta uang, tetapi beberapa dukun Buryat menuduh anggota Tengeri memasang harga jasa tinggi, dengan mengadakan pertunjukan seperti sirkus bagi masyarakat yang mudah terpengaruh.

Harus disebutkan, dalam komunitas dukun terdapat banyak golongan dan kelompok yang bersaing. “Kami tidak mendapat gaji—kami hidup dari uang yang direlakan orang untuk kami,” kata Dorzhiyev. Ketika saya bersamanya, dia tampaknya sangat menganggap serius tanggung jawab profesionalnya, dan saya tak pernah melihatnya meminta uang kepada klien. Dia; istrinya, Tatyana; serta dua putra dan satu putri mereka tinggal di apartemen dua kamar yang sederhana di gedung yang dikelola Tatyana.!break!

Perdukunan bukan sekadar soal kelahiran kembali spiritual dan bisnis laris. Perdukunan juga katalis untuk kebangkitan budaya pasca-Soviet di kalangan suku-suku pribumi Buryatiya. Di tepi Danau Baikal, perairan air tawar terdalam di dunia dan salah satu situs paling sakral di Siberia, saya menyaksikan perdukunan sebagai ekspresi jati diri—upacara oleh orang Buryat untuk orang Buryat.

Orang Buryat adalah orang Mongol yang juga menganut agama Buddha dan Kristen. Sekitar 300 tahun yang lalu, Kekaisaran Rusia menelan mereka dalam perluasan tak kenal ampun ke wilayah Eurasia. Selama periode Soviet, mereka, bersama suku pribumi lain di wilayah itu, mengalami penurunan populasi besar-besaran, dan budaya mereka diredam. Di Buryatiya masa kini, jumlah orang Buryat tak sampai sepertiga jumlah penduduk di sana.

Air Danau Baikal berdebur di se­berang bukit kecil. Di bawah langit yang berawan begitu rendah sehingga seolah dapat diraih, tiga orang dukun yang berjubah hijau, ungu, dan biru berkumpul untuk memohon panen bagus dan persatuan kepada para roh. Mereka berdiri di samping dan, hampir tak terlihat, menggumamkan doa, memercikkan susu dan vodka ke dalam api unggun kecil.

Di samping saya ada Petr Azhunov, pria yang super-energik bak siluman, rambutnya ekor kuda dan jenggotnya tipis, yang me­rupakan dukun sekaligus antropolog. Bagi­nya perdukunan merupakan pernyataan politis, selain gerakan agama—upaya untuk memulihkan rasa kebangsaan Buryat setelah hegemoni Rusia.

Menurut Azhunov, di bawah komunisme, ritual seperti ini kadang-kadang harus dilakukan di tengah malam buta. Namun, banyak pejabat komunis lokal membiarkan perdukunan, dan sebagian bahkan mengunjungi dukun. “Moskwa takut pada dukun tulen seperti kami,” kata Azhunov. “Orang Islam dapat dikontrol, orang Buddha dapat dikontrol, grup terorganisasi seperti Tengeri dapat dikontrol—tetapi dukun sungguhan tidak dapat dikontrol.”

Dia menuangkan ke tanah persembahan berupa beberapa tetes minuman ramuan lokal, tarasun—minuman berbau tajam yang dibuat dari susu fermentasi—sebelum mencicipinya. Azhunov adalah tradisionalis yang meyakini bahwa wanita tidak boleh menghadiri ritus dukun tertentu. “Fotografer Anda, Carolyn, tidak boleh memfoto upacara ini,” katanya meminta maaf. “Wanita berisiko sedang tidak suci.” Para lelaki di dekatnya mengangguk setuju dengan serius.

Beberapa meter dari situ, di tempat sakral lain, saya dan Carolyn Drake bertemu dengan tiga dukun perempuan yang melakukan ritual sendiri. Pemimpinnya, Lyudmila Lozovna Lavrentiyeva, yang mengenakan selendang kuning, celana merah, dan kalung berkerincing, menertawakan pemikiran bahwa hanya pria yang bisa menjadi dukun.

“Suku Buryat meyakini bahwa dahulu kala ada elang terbang dan melihat wanita hamil sedang tidur di bawah pohon, lalu mengisinya dengan roh suci. Wanita itu melahirkan anak lelaki yang menjadi dukun. Jadi Anda lihat sendiri,” katanya, tampak puas, “dukun pertama sebenarnya perempuan.”!break!

Saat pergi dari baikal, saya memikirkan perkataan Oleg Dorzhiyev. Dalam pemikiran perdukunan, alam semesta adalah sesuatu yang terpadu—jaringan raksasa yang menautkan kita manusia dengan gunung dan danau, selain juga dengan sesama manusia dan leluhur kita.

“Bagi kami,” katanya, “dewa-dewa kami terutama adalah kakek-nenek kami, yang menjadi roh pelindung kami. Mereka orang sungguhan. Dan cinta kami bagi mereka kuat. Inilah cinta anak bagi orang tuanya, dan orang tua bagi anak-cucunya. Dan energi ini tidak pernah pudar.”

Hati saya tergerak oleh konsep ini, selain tergugah oleh aspek-aspek lain perdukunan—rasa individualisme yang kuat, hormat mendalam bagi alam, dan hubungan dengan masa lalu. Dalam bentuk terburuk, perdukunan adalah penipuan, dan berpotensi berbahaya, seperti saat saya melihat dukun mengikatkan pita kain erat-erat pada kepala pria yang mungkin tengkoraknya retak.

Mata lelaki itu memutar ke belakang, dan dia menjerit, sepertinya sangat kesakitan. Para pengikutnya bersumpah bahwa perdukunan itu bukanlah penipuan, dengan menceritakan berbagai perubahan hidup dan penyembuhan bak mukjizat.

Pada 2007, penulis Rupert Isaacson dan istrinya, Kristin, membawa anaknya, Rowan, yang berusia lima tahun dan mengidap autisme, ke dukun Tsaatan di Mongolia bernama Ghoste.

Ketika baru-baru ini saya berbicara dengan Isaacson, dia mengakui dia tidak bisa membuktikan bahwa anaknya terbantu oleh dukun itu—dia hanya dapat menunjuk perubahan yang terjadi hampir segera: “Saat kami berangkat ke sana,” katanya, Rowan “tak terkendali, selalu mengamuk, dan tak bisa berteman. Dan ketika dia kembali, dia tak lagi menunjukkan ketiga disfungsi itu.” Kondisi Rowan terus membaik.

Menimbang semuanya, saya tidak akan buru-buru menganut aliran perdukunan. Tapi saya masih menyimpan tulang pergelangan kaki serigala pemberian dukun Nergui—untuk berjaga-jaga saja.