Takacs, pria 44 tahun asal Hungaria, baru-baru ini meninggalkan University of Chicago untuk meluncurkan World Toxin Bank. Saat tidak di laboratorium, ia memburu ular adder (Bitis arietans) di Sudan Selatan, mengambil sampel ular welang di Vietnam, dan mengambil bisa ular beludak gabon di Kongo.
Tujuannya mengumpulkan DNA bagi “perpustakaan toksin” yang nantinya akan menyimpan semua toksin-bisa binatang di Bumi. Dalam pencariannya, dia juga menjelajahi lautan seperti di Mabualau—pulau karang kecil dengan jajaran pohon di pantainya, sekitar 13 kilometer di timur pulau utama Fiji, Viti Levu.
Welang laut moncong-kuning, ular bersisik halus warna perak kebiruan dengan belang hitam-putih, berkembang biak di sini, berkeliaran di sepanjang dasar laut berpasir. Ular yang hidup di dua alam ini, bernapas dengan paru-paru dan perlu udara, melata naik ke atas batu kapur dan karang di pulau itu.
Ular ini bergelung di bawah cangkang dan dedaunan untuk mencerna makanan dan, beberapa bulan sekali, mengelongsong (berganti kulit). Makanan pokok ular welang adalah belut, dan bisa neurotoksiknya berevolusi untuk membantunya mendapatkan mangsa.
Belut bertubuh besar, kuat, bergigi tajam, dan sulit untuk ditarik keluar dari liangnya. “Ular welang membutuhkan bisa yang kuat dan cepat yang menyerang bagian vital tubuh,” kata Takacs. Bisa ular dan pertahanan belut merupakan pertarungan evolusioner sejak dahulu kala, ujarnya.
Terumbu karang itu juga dihuni hewan berbisa seperti anemon, gurita cincin-biru, dan berbagai ikan beracun yang belum banyak diketahui. Juga siput rangkik. Indah laksana perhiasan, setiap spesies dari 600 lebih siput Conus mengembangkan bisa maut nan unik, beberapa cukup kuat untuk menewaskan manusia sekali sengat.
Setelah menyelam di air dangkal, Takacs berjalan menyusuri pantai membawa temuan berharganya: welang laut yang menggeliang-geliut di satu tangan yang terlindung sarung dan rangkik sebesar kepalan di tangan yang lain. “Saya menggenggam ratusan toksin di tangan.”
Takacs yang selalu membawa perangkat sampel menyiapkan laboratorium lapangan di atas kapal: wadah bertutup, tabung berisi bahan pengawet, jarum dan jarum-suntik, pemotong untuk mengambil sampel jaringan, kamera untuk mendokumentasikan pola setiap hewan, serta sarung tangan hitam besar.
Welang laut cukup pasif, sehingga kecil sekali kemungkinan dia menggigit. Namun, Takacs tetap memakai sarung tangan. Dia alergi terhadap bisa, yang selain mengakibatkan efek melumpuhkan yang biasa juga dapat menyebabkan syok anafilaksis. Dia juga alergi terhadap antibisa yang dibuat dari serum kuda, jadi luar biasa dia bisa selamat setelah total enam kali digigit ular.!break!
Saya membantu memegang ekor sang ular yang kami telentangkan. Sambil memegang kepalanya, Takacs merentang ular tersebut, dan meraba tubuh sang ular mencari jantungnya. Setelah dia menemukannya—terasa berdenyut di balik kulit sekitar sepertiga tubuh dari kepala—dengan hati-hati Takacs menusukkan jarum dan menyedot darah.
Dia juga memotong sebagian jaringan ekor dan mengambil beberapa foto sebelum mengembalikan sang ular ke dalam air dan mengawasinya berenang menjauh. Takacs mengumpulkan data dari banyak ular dengan cara ini selama kami di sana.
Setiap kami berpapasan dengan perahu nelayan setempat, dia menghampiri mereka untuk bertanya tentang ular laut yang mereka lihat, berharap ada spesies lain di daerah itu. “Jika ada yang melihat ular dengan belang kuning hitam,” katanya, “tolong beri tahu saya.”