Para peneliti di Mayo Clinic menggabungkan peptida kunci dari bisa itu dengan peptida sel lapisan pembuluh darah manusia untuk membuat senderitida, yang kemudian diuji klinis. Fungsi obat ini bukan hanya untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi fibrosis (pertumbuhan jaringan ikat berlebih) pada pengidap gagal jantung, tetapi juga untuk melindungi ginjal dari kelebihan garam dan air.!break!
Mamba hitam (Dendroaspis polylepis) yang masih berkerabat dekat—ular yang mulutnya segelap liang lahad saat terbuka, dan bisanya dengan cepat memasukkan manusia ke dalamnya—memiliki toksin yang sangat potensial untuk menjadi obat baru penghilang nyeri yang kuat.
Monster gila (Heloderma suspectum), kadal berkulit bintil di padang pasir Barat Daya AS, hanya makan besar tiga kali setahun (dia menyimpan lemak di ekornya untuk masa penantian yang panjang), tetapi gula darahnya tetap stabil. Pada 1992, seorang ahli endokrinologi bernama John Eng di Bronx/James J. Peters VA Medical Center, New York, mengidentifikasi komponen dalam bisa monster gila yang mengontrol gula darah dan bahkan mengurangi nafsu makan.
Eksenatida, obat yang berasal dari bisa dalam air liurnya, bekerja seperti hormon alami, merangsang sel untuk menyimpan kelebihan gula tetapi tidak aktif apabila kadar gula normal. Obat ini bahkan membantu penderita diabetes memproduksi insulin sendiri dan menurunkan berat badan. Dengan jumlah pengidap diabetes tipe 2 di Amerika Serikat saja hampir mencapai 25 juta, monster gila jelas menjadi pahlawan.
Walaupun langka, mamalia berbisa juga ikut bersumbangsih. Obat stroke iskemik saat ini hanya efektif jika diberikan kepada korban dalam waktu tiga jam sejak serangan. Obat yang berasal dari toksin antikoagulan dalam air liur kelelawar vampir kini dalam uji klinis dan dapat memperpanjang waktunya hingga sembilan jam. Ingat peristiwa Michael digigit kalajengking di Meksiko.
Takacs tengah meneliti toksin baru hasil gabungan bisa tiga spesies kalajengking yang hanya memblokir sel T kekebalan tubuh yang menyebabkan banyak penyakit autoimun—penelitian yang mungkin akan menjadi terobosan Designer Toxins pertama.
Beberapa perusahaan obat lain juga berupaya menemukan obat dari toksin ini. Sementara itu, ditemukan bahwa neurotoksin dari bisa kalajengking Leiurus quinquestriatus menempel pada permukaan sel kanker otak. Alasan utama tumor muncul kembali adalah karena ahli bedah sulit membedakan sel yang sehat dengan sel kanker di bagian perbatasannya.
Pencitraan resonansi magnetik, MRI—alat bantu diagnostik terbaik yang tersedia—tidak dapat mendeteksi massa yang lebih kecil dari sekitar satu miliar sel. Ini berarti ahli bedah harus menentukan batas antara jaringan tumor dan jaringan sehat “murni melalui tanda visual dan tekstur,” kata James Olson dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle, Washington. “Sangat banyak kelemahannya.”
Dokter yang mengobati glioma, kanker otak yang paling umum, membuat “senter molekuler” dengan klorotoksin yang diberi pewarna inframerah-dekat. Pada percobaan pertama, kata Olson, “cat tumor”, demikian dia menyebut penanda dari bisa kalajengking itu, “menunjukkan sel kanker dengan jelas sekali. Kami benar-benar berjingkrak-jingkrak karena menyadari betapa besar potensi zat ini.”!break!
Cat itu menunjukkan massa dengan tumor hingga sesedikit 200 sel. “Kita benar-benar dapat melihat tumor hampir sel demi sel,” kata Olson. “Dengan ini ahli bedah dapat membuang lebih banyak sel kanker, bahkan mungkin sampai 100 persen.” Percobaan toksin berwarna pada manusia akan dimulai akhir tahun ini.
Jika uji itu berjalan baik, cat ini dapat digunakan untuk kanker prostat, kolorektal, paru-paru, payudara, pankreas, dan kulit, di samping glioma, berpotensi menyelamatkan atau memperpanjang hidup jutaan nyawa setiap tahun.
Sejauh ini belum ada obat dari toksin kalajengking yang disetujui, tetapi toksin ini merupakan senjata kimiawi yang serbaguna. Ada yang memerangi kanker, sementara ada pula yang menjadi dasar obat jantung, pereda nyeri, antikejang, dan antimalaria.
Siput rangkik tidak semenyeramkan kalajengking, tetapi di balik keindahan ini tersimpan maut. Rangkik tidak memiliki rahang maupun cakar. “Hewan ini cuma memiliki kaki yang sangat lemah untuk memegang mangsanya,” kata Baldomero Olivera, ahli Conus di University of Utah.
“Jadi rangkik mengimbangi hal ini dengan memiliki 50 komponen bisa atau lebih yang menyerang berbagai aspek.” Spesies Conus purpurascens yang memangsa ikan, salah satu favorit Olivera, menggunakan probosis beracunnya yang dapat memanjang untuk menombak ikan, melumpuhkannya dalam sekejap. Kelumpuhan itu memberi waktu bagi berbagai toksin dalam bisa untuk menyebar dan menghentikan aktivitas otot.
Disengat oleh rangkik, kata Olivera, “seperti dipatuk kobra dan makan buntal sekaligus.” Siput rangkik, ujar Olivera, “mirip perusahaan obat kecil yang merancang dan memproduksi senyawa sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.”
Konotoksin dalam bisa rangkik menghentikan proses sel saraf—yang ternyata merupakan cara efektif untuk meredakan nyeri pada penderita kanker stadium akhir. Peptida racun rangkik yang disebut konantokin, yang target molekulnya sangat spesifik, tampak cukup berhasil dalam uji terhadap kejang epilepsi.
Baik konotoksin maupun konantokin dapat mencegah penyakit Alzheimer dan Parkinson, depresi, bahkan kecanduan nikotin. Sejauh ini, ada lima senyawa dari rangkik yang masuk tahap percobaan pada manusia, dan telah menghasilkan satu obat pereda nyeri sekuat morfin, yaitu zikonotida. Secara kimiawi, zikonotida persis sama dengan komponen yang diproduksi oleh rangkik.!break!
Makhluk laut lainnya, anemon matahari (Stichodactyla helianthus) memiliki tentakel beracun yang melumpuhkan mangsanya sebelum memasukkan sang korban—biasanya ikan kecil atau udang—ke dalam perutnya. Ternyata, bisa yang dikeluarkan sel penyengat anemon yang disebut nematosis mengandung peptida yang bermanfaat mengobati penyakit autoimun manusia.
Pada 1990-an, tim yang dipimpin ahli fisiologi George Chandy dari University of California, Irvine menemukan bahwa salah satu peptida itu memblokir aktivitas protein yang menyebabkan peradangan. Para peneliti mengubah peptida itu menjadi zat yang mereka sebut ShK-186.
Kini Kineta—perusahaan bioteknologi—tengah mengembangkan zat ini untuk mengobati penyakit autoimun. Yang membuatnya begitu menjanjikan, kata Shawn Iadonato, kepala tim peneliti Kineta, adalah kemampuannya mengikat sel yang sakit saja. “Obat kami sangat khusus menargetkan sel yang menyebabkan penyakit ini. Pengobatan lainnya masih bermasalah karena memiliki banyak efek samping dan menyebabkan pasien rentan terkena infeksi dan kanker.”
Anemon matahari merupakan calon kuat untuk menghasilkan obat penyakit seperti sklerosis multipel, artritis reumatoid, psoriasis, dan lupus. “Dengan obat ini, pasien dapat hidup secara lebih normal,” kata Iadonato. “Masih perlu waktu lama, sekalipun ada penemuan revolusioner ini.”
Kemajuan biologi molekuler memberi para ilmuwan cara yang lebih baik untuk memahami bisa dan target serangannya. Dahulu perusahaan obat mengandalkan keberuntungan, menyaring ribuan senyawa yang memiliki efek tertentu.
Sekarang, beberapa pilihan teknologi yang lebih maju, seperti Designer Toxins, memberikan informasi yang lebih terperinci, sehingga lebih mudah merancang obat yang menargetkan molekul tertentu.
Potensi pengobatan bisa, sebagaimana selalu diulangi Zoltan Takacs, sungguh “dahsyat”. Tetapi, sumber potensi itu terancam punah sebelum kita mampu mengidentifikasi semua toksinnya. Jumlah ular menurun, sebagaimana begitu banyak hewan lainnya.
“Dalam pelestarian keanekaragaman hayati,” kata Takacs, “kita harus lebih menghargai keanekaragaman hayati molekuler”. Dengan demikian, molekul dalam cairan paling mematikan di alam akan diprioritaskan dalam upaya pelestarian. Dan, hal itu akan menyelamatkan kita.