Gigitan yang Menyembuhkan

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:30 WIB

Michael sedang berlibur ber­sama keluarganya di Guerrero, Meksiko, dan panasnya luar biasa. Dia meraih celana renang­nya yang sedang dijemur di kursi, me­ngenakannya, lalu terjun ke dalam kolam. Alih-alih merasa dingin nan menyegarkan, rasa sakit menjalar di bagian belakang pahanya.

Sambil merobek celana renangnya, dia me­lompat keluar telanjang dari kolam renang, kaki­nya terasa panas terbakar. Di belakangnya, seekor hewan kecil ber­warna kuning terapung-apung di air. Dia me­masukkan hewan itu ke sebuah wadah plastik.

Di klinik Palang Merah setempat, dokter se­gera mengenali sang penyerang: kalajengking pepagan, Centruroides sculpturatus, salah satu spesies paling berbisa di Amerika Utara.

Nyeri akibat sengatannya biasanya diikuti kejang-kejang seperti disetrum. Kadang-kadang korban sampai tewas. Beruntung bagi Michael (yang meminta saya tidak mencantumkan nama lengkapnya), kalajengking pepagan umum di daerah itu, dan antibisanya mudah diperoleh.

Dia disuntik dan boleh pulang dalam beberapa jam. Sekitar 30 jam kemudian, rasa nyeri itu pun hilang. Tetapi, yang terjadi berikutnya sungguh tidak terduga. Sudah delapan tahun Michael mengidap pe­nyakit yang disebut spondilitas ankilosa, pe­­nyakit autoimun kronis yang menyerang tulang, semacam artritis tulang belakang.

Pada kasus terburuk, ruas-ruas tulang belakang dapat menyatu, menyebabkan pasien bungkuk dan selalu kesakitan. “Punggung saya terasa nyeri setiap pagi, bahkan kalau sedang parah saya sampai tidak bisa berjalan,” katanya.

Namun, beberapa hari setelah disengat kala­jengking, rasa nyeri itu mereda, dan sekarang, dua tahun kemudian, rasa nyeri itu tidak kambuh lagi. Sebagai seorang dokter, Michael berhati-hati agar tidak melebih-lebihkan peran bisa kalajengking dalam kesembuhannya. Namun, ujarnya, “jika nyeri itu kambuh, saya rela disengat kalajengking lagi.”

Bisa—cairan yang keluar dari taring dan sengat makhluk yang berkeliaran di alam liar atau bersembunyi di rubanah atau di bawah tum­pukan kayu—merupakan pembunuh paling efisien di alam. Bisa sangat ampuh dalam melumpuhkan sang korban.!break!

Cairan kompleks itu penuh dengan racun protein dan peptida—rangkaian pendek asam amino yang mirip dengan protein. Molekul-molekul itu bekerja secara sinergis menciptakan senjata pamung­kas. Ada yang menyerang sistem saraf, melumpuhkan dengan memblokir sinyal antara saraf dan otot.

Ada yang merusak molekul sehingga sel dan jaringan tubuh hancur. Bisa dapat menewaskan korban dengan membekukan darah dan menghentikan jantung, atau dengan mencegah penggumpalan dan memicu perdarahan fatal.

Semua bisa bersifat multi-aspek dan multi-efek. (Bisa adalah racun yang dimasukkan ke tubuh korban melalui organ khusus, seperti taring atau sengat, bukan racun yang diminum atau ditelan.) Puluhan, bahkan ratusan, toksin dapat masuk dalam satu gigitan, ada yang fungsinya serupa dan ada pula yang fungsinya unik.

Dalam perlombaan senjata evolusioner antara mangsa dan pemangsa, sistem senjata dan pertahanan terus-menerus disempurnakan. Bayangkan musuh diracuni, lalu ditusuk dengan pisau, kemudian dihabisi dengan tembakan ke kepala. Begitulah cara kerja bisa.

Ironisnya, sifatnya yang mematikan itulah yang membuatnya penting untuk obat. Banyak toksin-bisa menyerang molekul yang sama dengan yang perlu dikontrol untuk mengobati penyakit. Bisa bekerja cepat dan sangat spesifik. Komponen aktifnya—peptida dan protein, berfungsi sebagai toksin dan enzim—menyerang molekul tertentu saja, dan langsung klop seperti anak kunci masuk ke lubangnya.

Kebanyakan obat bekerja dengan cara yang sama, bereaksi dan mengendalikan kunci molekuler untuk menghentikan penyakit. Memang sulit untuk menemukan toksin yang menyerang target tertentu saja, tetapi obat-obatan terbaik untuk penyakit jantung dan dia­betes kini diperoleh dari bisa. Obat baru autoimun, kanker, dan nyeri mungkin akan tersedia satu dasawarsa lagi.

“Yang kami maksud bukan hanya beberapa obat baru, tetapi seluruh kelompok obat,” kata Emerging Explorer National Geographic Society Zoltan Takacs, ahli toksinologi dan herpetologi. Sejauh ini, kurang dari seribu toksin yang telah diteliti manfaat medisnya, dan baru sekitar se­puluh obat penting yang masuk ke pasar.

“Mungkin ada lebih dari 20 juta toksin-bisa yang masih belum diteliti,” ujar Takacs. “Jumlah yang sangat besar. Toksin-bisa membuka berbagai cabang farmakologi yang sama sekali baru.”!break!

Toksin dari bisa dan racun juga memberi kita gambaran yang lebih jelas tentang cara kerja protein yang mengontrol banyak fungsi seluler yang penting bagi tubuh. Penelitian racun tetrodotoksin (TTX) yang mematikan dari ikan buntal, misalnya, mengungkapkan informasi detail cara komunikasi sel saraf.

“Kita selalu bersemangat mencari senyawa baru untuk meringankan penderitaan manusia,” kata Angel Yanagihara dari University of Hawaii kepada saya. “Namun, saat melakukan hal itu, kita mungkin menemukan hal lain yang tidak terduga.”

Saat meneliti ubur-ubur kotak yang menyengatnya 15 tahun lalu, Yanagihara menemukan zat yang berpotensi sebagai pe­nyembuh luka dalam tubula yang berisi bisa ubur-ubur. “Sama sekali tidak ada hubungan dengan bisanya,” katanya. “Karena meneliti seekor hewan berbahaya, saya mendapatkan informasi yang tidak disangka-sangka.”

Lebih dari 100.000 hewan yang berevolusi menghasilkan bisa, kelenjar penampungnya, dan alat untuk mengeluarkannya: ular, kalajengking, laba-laba, beberapa jenis kadal, tawon, hewan laut seperti gurita, berbagai spesies ikan, dan siput rangkik.

Platipus paruh-bebek jantan, yang menyimpan bisa dalam taji kakinya, merupakan salah satu dari sedikit mamalia berbisa. Bisa dan komponennya tercipta secara terpisah, berulang kali, pada berbagai kelompok hewan. Komposisi bisa dalam satu spesies ular berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, dan antara ular dewasa dan yang masih kecil.

Meskipun senyawa ini telah mengalami evo­lusi selama lebih dari seratus juta tahun, struktur molekulnya sudah ada jauh lebih dahulu. Alam mengubah fungsi molekul dari seluruh tubuh untuk membantu hewan berburu atau membela diri.

“Memang logis jika alam memanfaatkan perangkat yang sudah ada,” kata Takacs. “Untuk membuat toksin yang menyerang sistem saraf, paling efisien kalau mencontek struktur kimiawi otak yang memang berfungsi dalam sistem itu, lalu membuat beberapa perubahan kecil, dan jadilah toksinnya.”

Tentu saja tidak semua bisa mematikan—tawon memakainya bukan untuk mem­bunuh, sementara platipus jantan hanya meng­guna­kannya untuk menyingkirkan jantan saingan selama musim kawin. Namun, sebagian besar memang untuk membunuh—atau setidaknya melumpuhkan—mangsa.

Manusia sering menjadi korban yang tidak disengaja. WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi sekitar lima juta gigitan hewan berbisa yang menewaskan 100.000 orang, meskipun jumlah sebenarnya diduga jauh lebih tinggi.!break!

Takacs, pria 44 tahun asal Hungaria, baru-baru ini meninggalkan University of Chicago untuk meluncurkan World Toxin Bank. Saat tidak di laboratorium, ia memburu ular adder (Bitis arietans) di Sudan Selatan, me­ngambil sampel ular welang di Vietnam, dan mengambil bisa ular beludak gabon di Kongo.

Tujuannya mengumpulkan DNA bagi “perpustakaan toksin” yang nantinya akan menyimpan semua toksin-bisa binatang di Bumi. Dalam pencariannya, dia juga menjelajahi lautan seperti di Mabualau—pulau karang kecil dengan jajaran pohon di pantainya, sekitar 13 kilometer di timur pulau utama Fiji, Viti Levu.

Welang laut moncong-kuning, ular bersisik halus warna perak kebiruan dengan belang hitam-putih, berkembang biak di sini, ber­keliaran di sepanjang dasar laut berpasir. Ular yang hidup di dua alam ini, bernapas dengan paru-paru dan perlu udara, melata naik ke atas batu kapur dan karang di pulau itu.

Ular ini bergelung di bawah cangkang dan dedaunan untuk mencerna makanan dan, beberapa bulan sekali, mengelongsong (berganti kulit). Makanan pokok ular welang adalah belut, dan bisa neurotoksiknya berevolusi untuk mem­bantunya mendapatkan mangsa.

Belut ber­tubuh besar, kuat, bergigi tajam, dan sulit untuk ditarik keluar dari liangnya. “Ular welang membutuhkan bisa yang kuat dan cepat yang menyerang bagian vital tubuh,” kata Takacs. Bisa ular dan pertahanan belut merupakan per­tarungan evolusioner sejak dahulu kala, ujarnya.

Terumbu karang itu juga dihuni hewan berbisa seperti anemon, gurita cincin-biru, dan berbagai ikan beracun yang belum banyak diketahui. Juga siput rangkik. Indah laksana perhiasan, setiap spesies dari 600 lebih siput Conus mengembangkan bisa maut nan unik, beberapa cukup kuat untuk menewaskan manusia sekali sengat.

Setelah menyelam di air dangkal, Takacs ber­­jalan menyusuri pantai membawa temuan ber­­harganya: welang laut yang menggeliang-geliut di satu tangan yang terlindung sarung dan rangkik sebesar kepalan di tangan yang lain. “Saya menggenggam ratusan toksin di tangan.”

Takacs yang selalu membawa perangkat sampel menyiapkan laboratorium lapangan di atas kapal: wadah bertutup, tabung berisi bahan pengawet, jarum dan jarum-suntik, pemotong untuk mengambil sampel jaringan, kamera untuk mendokumentasikan pola setiap hewan, serta sarung tangan hitam besar.

Welang laut cukup pasif, sehingga kecil sekali kemungkinan dia menggigit. Namun, Takacs tetap memakai sarung tangan. Dia alergi terhadap bisa, yang selain mengakibatkan efek melumpuhkan yang biasa juga dapat menyebabkan syok anafilaksis. Dia juga alergi terhadap antibisa yang dibuat dari serum kuda, jadi luar biasa dia bisa selamat setelah total enam kali digigit ular.!break!

Saya membantu memegang ekor sang ular yang kami telentangkan. Sambil memegang kepalanya, Takacs merentang ular tersebut, dan meraba tubuh sang ular mencari jantungnya. Setelah dia menemukannya—terasa berdenyut di balik kulit sekitar sepertiga tubuh dari kepala—dengan hati-hati Takacs menusukkan jarum dan menyedot darah.

Dia juga memotong sebagian jaringan ekor dan mengambil beberapa foto sebelum mengembalikan sang ular ke dalam air dan mengawasinya berenang menjauh. Takacs mengumpulkan data dari banyak ular dengan cara ini selama kami di sana.

Setiap kami berpapasan dengan perahu nelayan setempat, dia menghampiri mereka untuk bertanya tentang ular laut yang mereka lihat, berharap ada spesies lain di daerah itu. “Jika ada yang melihat ular dengan belang kuning hitam,” katanya, “tolong beri tahu saya.”

Saat kembali ke laboratorium, ia mengisolasi dan mengidentifikasi variasi susunan toksin antar-spesies, dalam satu spesies, dan bahkan dalam satu populasi. Dia juga meneliti apa yang membuat hewan kebal terhadap bisanya sendiri—informasi yang dapat membantu menghasilkan obat dari bisa yang lebih baik.

Saya kaget ternyata Takacs tidak meng­ambil racun dari ular welang laut. Dia men­jelaskan bahwa DNA-lah yang menjadi dasar peneliti­annya. Bisa memang menyimpan informasi penting, tetapi jika kita memiliki jaringannya, kata Takacs, “kita bisa membawanya pulang dan mengekstrak DNA hewan tersebut—ter­masuk sebagian besar toksinnya.”

Setiap toksin diekspresikan oleh satu gen, yang dapat diperbanyak dan dimanipulasi. “Kita dapat mem­­buatnya dalam volume besar. Kita juga dapat memodifikasi toksin itu dengan cara yang kita inginkan, dan dengan cepat menyaring versi yang efeknya paling menjanjikan.”

Di University of Chicago, Takacs ikut men­ciptakan Designer Toxins, sistem yang me­mungkinkan peneliti memodifikasi berbagai bisa yang ada di alam dengan meramu be­berapa toksin dan membandingkan daya pengobatannya.

Designer Toxins memanfaatkan hasil evolusi jutaan tahun yang terdapat di dalam bisa. Ini memungkinkan pembuatan banyak varian (lebih dari satu juta sejauh ini), berpotensi mengefisienkan upaya pengembangan obat. “Kami menambang keanekaragaman hayati molekuler yang ada di alam,” kata Takacs.!break!

Obat berbahan dasar bisa bukanlah hal baru. Hal ini tercantum, misalnya, dalam teks Sanskerta dari abad kedua Masehi. Pada sekitar 67 SM, Mithradates VI dari Pontus, musuh Roma yang menggeluti toksikologi, diduga dua kali diselamatkan di medan perang oleh tabib yang mengobati lukanya dengan bisa bandotan stepa (Vipera ursinii).

Bisa kobra telah dipakai selama berabad-abad dalam pengobatan tradisi­­onal Tiongkok dan India, diperkenalkan ke Barat pada 1830-an sebagai obat nyeri homeo­­pati. Pemanfaatan bisa menjadi obat se­cara ilmiah modern dimulai pada 1960-an, ketika seorang dokter Inggris bernama Hugh Alistair Reid menyatakan bahwa bisa ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dapat digunakan untuk mengobati trombosis vena-dalam.

Dia menemukan bahwa salah satu toksin ular tersebut, protein yang disebut ankrod, mengikat protein berserat dalam darah sehingga darah tidak dapat membeku. Arvin, obat penghilang gumpalan darah yang berasal dari bisa ular tanah, mulai dipakai di Eropa pada 1968. Kini Arvin telah digantikan oleh antikoagulan dari bisa ular lainnya.

Pada 1970-an, bisa beludak brasilia (Bothrops jararaca) memicu pengembangan ke­lom­pok obat yang disebut inhibitor ACE, sekarang banyak digunakan untuk mengobati darah tinggi. Para peneliti mengawalinya dengan mencari penyebab mengapa pekerja perkebunan pisang Brasilia yang digigit oleh ular ini anjlok tekanan darahnya.

Para peneliti kemudian me­nemu­kan komponen penurun tekanan darah dalam bisa ular tersebut. Komponen bisa yang bermanfaat harus dimodifikasi secara molekuler—ukurannya diubah dan disesuaikan agar dapat bertahan dalam sistem pencernaan manusia yang sangat asam.

Akhirnya versi sintetis tersedia untuk dicoba pada manusia, dan tahun 1975 obat telan pertama untuk darah tinggi, kaptopril, disetujui untuk digunakan. Obat kelompok inhibitor ACE yang dipelopori oleh kaptopril kini dipakai untuk mengobati puluhan juta orang di seluruh dunia, dengan total penjualan bernilai triliunan rupiah.

Karunia molekuler hewan berbisa memberi harapan untuk melawan berbagai penyakit. Pengidap penyakit jantung berutang budi pada mamba hijau (Dendroaspis angusticeps), ular pohon mematikan dari Afrika yang racunnya merusak saraf dan sirkulasi darah korbannya.

Para peneliti di Mayo Clinic menggabungkan peptida kunci dari bisa itu dengan peptida sel lapisan pembuluh darah manusia untuk mem­­buat senderitida, yang kemudian diuji klinis. Fungsi obat ini bukan hanya untuk me­nurunkan tekanan darah dan mengurangi fibrosis (pertumbuhan jaringan ikat berlebih) pada pengidap gagal jantung, tetapi juga untuk melindungi ginjal dari kelebihan garam dan air.!break!

Mamba hitam (Dendroaspis polylepis) yang masih berkerabat dekat—ular yang mulutnya segelap liang lahad saat terbuka, dan bisanya dengan cepat memasukkan manusia ke dalamnya—memiliki toksin yang sangat potensial untuk menjadi obat baru penghilang nyeri yang kuat.

Monster gila (Heloderma suspectum), kadal ber­­kulit bintil di padang pasir Barat Daya AS, hanya makan besar tiga kali setahun (dia menyimpan lemak di ekornya untuk masa penantian yang panjang), tetapi gula darah­nya tetap stabil. Pada 1992, seorang ahli endo­krinologi bernama John Eng di Bronx/James J. Peters VA Medical Center, New York, mengidentifikasi komponen dalam bisa monster gila yang mengontrol gula darah dan bahkan mengurangi nafsu makan.

Eksenatida, obat yang berasal dari bisa dalam air liurnya, bekerja seperti hormon alami, merangsang sel untuk menyimpan kelebihan gula tetapi tidak aktif apabila kadar gula normal. Obat ini bahkan membantu penderita diabetes memproduksi insulin sendiri dan menurunkan berat badan. Dengan jumlah pengidap diabetes tipe 2 di Amerika Serikat saja hampir mencapai 25 juta, monster gila jelas menjadi pahlawan.

Walaupun langka, mamalia berbisa juga ikut bersumbangsih. Obat stroke iskemik saat ini hanya efektif jika diberikan kepada korban dalam waktu tiga jam sejak serangan. Obat yang berasal dari toksin antikoagulan dalam air liur kelelawar vampir kini dalam uji klinis dan dapat memperpanjang waktunya hingga sembilan jam. Ingat peristiwa Michael digigit kalajengking di Meksiko.

Takacs tengah meneliti toksin baru hasil gabungan bisa tiga spesies kalajengking yang hanya memblokir sel T kekebalan tubuh yang menyebabkan banyak penyakit auto­imun—penelitian yang mungkin akan menjadi terobosan Designer Toxins pertama.

Beberapa perusahaan obat lain juga berupaya menemukan obat dari toksin ini. Sementara itu, ditemukan bahwa neurotoksin dari bisa kalajengking Leiurus quinquestriatus menempel pada permukaan sel kanker otak. Alasan utama tumor muncul kembali adalah karena ahli bedah sulit membedakan sel yang sehat dengan sel kanker di bagian per­batasan­nya.

Pencitraan resonansi magnetik, MRI—alat bantu diagnostik terbaik yang tersedia—tidak dapat mendeteksi massa yang lebih kecil dari sekitar satu miliar sel. Ini berarti ahli bedah harus menentukan batas antara jaringan tumor dan jaringan sehat “murni melalui tanda visual dan tekstur,” kata James Olson dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle, Washington. “Sangat banyak kelemahannya.”

Dokter yang mengobati glioma, kanker otak yang paling umum, membuat “senter molekul­er” dengan klorotoksin yang diberi pe­warna inframerah-dekat. Pada percobaan pertama, kata Olson, “cat tumor”, demikian dia menyebut penanda dari bisa kalajengking itu, “menunjukkan sel kanker dengan jelas sekali. Kami benar-benar berjingkrak-jingkrak karena menyadari betapa besar potensi zat ini.”!break!

Cat itu menunjukkan massa dengan tumor hingga sesedikit 200 sel. “Kita benar-benar dapat melihat tumor hampir sel demi sel,” kata Olson. “Dengan ini ahli bedah dapat membuang lebih banyak sel kanker, bahkan mungkin sampai 100 persen.” Percobaan toksin berwarna pada manusia akan dimulai akhir tahun ini.

Jika uji itu berjalan baik, cat ini dapat digunakan untuk kanker prostat, kolorektal, paru-paru, payu­dara, pankreas, dan kulit, di samping glioma, berpotensi menyelamatkan atau memper­panjang hidup jutaan nyawa setiap tahun.

Sejauh ini belum ada obat dari toksin kalajengking yang disetujui, tetapi toksin ini merupakan senjata kimiawi yang serbaguna. Ada yang memerangi kanker, sementara ada pula yang menjadi dasar obat jantung, pereda nyeri, antikejang, dan antimalaria.

Siput rangkik tidak semenyeramkan kala­jengking, tetapi di balik keindahan ini tersimpan maut. Rangkik tidak memiliki rahang maupun cakar. “Hewan ini cuma memiliki kaki yang sangat lemah untuk memegang mangsanya,” kata Baldomero Olivera, ahli Conus di University of Utah.

“Jadi rangkik mengimbangi hal ini dengan memiliki 50 komponen bisa atau lebih yang menyerang berbagai aspek.” Spesies Conus purpurascens yang memangsa ikan, salah satu favorit Olivera, menggunakan probosis be­racunnya yang dapat memanjang untuk me­nombak ikan, melumpuhkannya dalam sekejap. Kelumpuhan itu memberi waktu bagi berbagai toksin dalam bisa untuk menyebar dan menghentikan aktivitas otot.

Disengat oleh rangkik, kata Olivera, “se­perti dipatuk kobra dan makan buntal sekali­gus.” Siput rangkik, ujar Olivera, “mirip per­usahaan obat kecil yang merancang dan mem­produksi senyawa sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.”

Konotoksin dalam bisa rangkik menghentikan proses sel saraf—yang ternyata merupakan cara efektif untuk meredakan nyeri pada penderita kanker stadium akhir. Peptida racun rangkik yang disebut konantokin, yang target molekulnya sangat spesifik, tampak cukup berhasil dalam uji terhadap kejang epilepsi.

Baik konotoksin maupun konantokin dapat mencegah penyakit Alzheimer dan Parkinson, depresi, bahkan kecanduan nikotin. Sejauh ini, ada lima senyawa dari rangkik yang masuk tahap percobaan pada manusia, dan telah menghasilkan satu obat pereda nyeri sekuat morfin, yaitu zikonotida. Secara kimiawi, zikonotida persis sama dengan komponen yang diproduksi oleh rangkik.!break!

Makhluk laut lainnya, anemon matahari (Stichodactyla helianthus) memiliki tentakel be­racun yang melumpuhkan mangsanya sebelum memasukkan sang korban—biasanya ikan kecil atau udang—ke dalam perutnya. Ternyata, bisa yang dikeluarkan sel penyengat anemon yang disebut nematosis mengandung peptida yang bermanfaat mengobati penyakit autoimun manusia.

Pada 1990-an, tim yang dipimpin ahli fisiologi George Chandy dari University of California, Irvine menemukan bahwa salah satu peptida itu memblokir aktivitas protein yang menyebabkan peradangan. Para peneliti mengubah peptida itu menjadi zat yang mereka sebut ShK-186.

Kini Kineta—perusahaan bioteknologi—tengah mengembangkan zat ini untuk mengobati penyakit autoimun. Yang membuatnya begitu menjanjikan, kata Shawn Iadonato, kepala tim peneliti Kineta, adalah kemampuannya mengikat sel yang sakit saja. “Obat kami sangat khusus menargetkan sel yang menyebabkan penyakit ini. Pengobatan lainnya masih bermasalah karena memiliki banyak efek samping dan menyebabkan pasien rentan terkena infeksi dan kanker.”

Anemon matahari merupakan calon kuat untuk menghasilkan obat penyakit seperti sklerosis multipel, artritis reumatoid, psoriasis, dan lupus. “Dengan obat ini, pasien dapat hidup secara lebih normal,” kata Iadonato. “Masih perlu waktu lama, sekalipun ada penemuan revolusioner ini.”

Kemajuan biologi molekuler memberi para ilmuwan cara yang lebih baik untuk memahami bisa dan target serangannya. Dahulu perusahaan obat mengandalkan keberuntungan, menyaring ribuan senyawa yang memiliki efek tertentu.

Sekarang, beberapa pilihan teknologi yang lebih maju, seperti Designer Toxins, memberikan informasi yang lebih terperinci, sehingga lebih mudah merancang obat yang menargetkan molekul tertentu.

Potensi pengobatan bisa, sebagaimana selalu diulangi Zoltan Takacs, sungguh “dahsyat”. Tetapi, sumber potensi itu terancam punah sebelum kita mampu mengidentifikasi semua toksin­nya. Jumlah ular menurun, se­bagai­mana begitu banyak hewan lainnya.

“Dalam pelestarian keaneka­ragaman hayati,” kata Takacs, “kita harus lebih meng­hargai keanekaragaman hayati molekuler”. Dengan demikian, molekul dalam cairan paling mematikan di alam akan diprioritaskan dalam upaya pelestarian. Dan, hal itu akan menyelamatkan kita.