Gigitan yang Menyembuhkan

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:30 WIB

Saat kembali ke laboratorium, ia mengisolasi dan mengidentifikasi variasi susunan toksin antar-spesies, dalam satu spesies, dan bahkan dalam satu populasi. Dia juga meneliti apa yang membuat hewan kebal terhadap bisanya sendiri—informasi yang dapat membantu menghasilkan obat dari bisa yang lebih baik.

Saya kaget ternyata Takacs tidak meng­ambil racun dari ular welang laut. Dia men­jelaskan bahwa DNA-lah yang menjadi dasar peneliti­annya. Bisa memang menyimpan informasi penting, tetapi jika kita memiliki jaringannya, kata Takacs, “kita bisa membawanya pulang dan mengekstrak DNA hewan tersebut—ter­masuk sebagian besar toksinnya.”

Setiap toksin diekspresikan oleh satu gen, yang dapat diperbanyak dan dimanipulasi. “Kita dapat mem­­buatnya dalam volume besar. Kita juga dapat memodifikasi toksin itu dengan cara yang kita inginkan, dan dengan cepat menyaring versi yang efeknya paling menjanjikan.”

Di University of Chicago, Takacs ikut men­ciptakan Designer Toxins, sistem yang me­mungkinkan peneliti memodifikasi berbagai bisa yang ada di alam dengan meramu be­berapa toksin dan membandingkan daya pengobatannya.

Designer Toxins memanfaatkan hasil evolusi jutaan tahun yang terdapat di dalam bisa. Ini memungkinkan pembuatan banyak varian (lebih dari satu juta sejauh ini), berpotensi mengefisienkan upaya pengembangan obat. “Kami menambang keanekaragaman hayati molekuler yang ada di alam,” kata Takacs.!break!

Obat berbahan dasar bisa bukanlah hal baru. Hal ini tercantum, misalnya, dalam teks Sanskerta dari abad kedua Masehi. Pada sekitar 67 SM, Mithradates VI dari Pontus, musuh Roma yang menggeluti toksikologi, diduga dua kali diselamatkan di medan perang oleh tabib yang mengobati lukanya dengan bisa bandotan stepa (Vipera ursinii).

Bisa kobra telah dipakai selama berabad-abad dalam pengobatan tradisi­­onal Tiongkok dan India, diperkenalkan ke Barat pada 1830-an sebagai obat nyeri homeo­­pati. Pemanfaatan bisa menjadi obat se­cara ilmiah modern dimulai pada 1960-an, ketika seorang dokter Inggris bernama Hugh Alistair Reid menyatakan bahwa bisa ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dapat digunakan untuk mengobati trombosis vena-dalam.

Dia menemukan bahwa salah satu toksin ular tersebut, protein yang disebut ankrod, mengikat protein berserat dalam darah sehingga darah tidak dapat membeku. Arvin, obat penghilang gumpalan darah yang berasal dari bisa ular tanah, mulai dipakai di Eropa pada 1968. Kini Arvin telah digantikan oleh antikoagulan dari bisa ular lainnya.

Pada 1970-an, bisa beludak brasilia (Bothrops jararaca) memicu pengembangan ke­lom­pok obat yang disebut inhibitor ACE, sekarang banyak digunakan untuk mengobati darah tinggi. Para peneliti mengawalinya dengan mencari penyebab mengapa pekerja perkebunan pisang Brasilia yang digigit oleh ular ini anjlok tekanan darahnya.

Para peneliti kemudian me­nemu­kan komponen penurun tekanan darah dalam bisa ular tersebut. Komponen bisa yang bermanfaat harus dimodifikasi secara molekuler—ukurannya diubah dan disesuaikan agar dapat bertahan dalam sistem pencernaan manusia yang sangat asam.

Akhirnya versi sintetis tersedia untuk dicoba pada manusia, dan tahun 1975 obat telan pertama untuk darah tinggi, kaptopril, disetujui untuk digunakan. Obat kelompok inhibitor ACE yang dipelopori oleh kaptopril kini dipakai untuk mengobati puluhan juta orang di seluruh dunia, dengan total penjualan bernilai triliunan rupiah.

Karunia molekuler hewan berbisa memberi harapan untuk melawan berbagai penyakit. Pengidap penyakit jantung berutang budi pada mamba hijau (Dendroaspis angusticeps), ular pohon mematikan dari Afrika yang racunnya merusak saraf dan sirkulasi darah korbannya.