Demam Minyak Baru Amerika

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 15:21 WIB

Ketika Susan Connell tiba di sumur minyak pertama hari itu, dia melemparkan kacamata berbingkai hitamnya yang keren ke dasbor truk beroda 18-nya. Kemudian ia menarik ritsleting baju coverall tahan apinya sampai ke leher. Saat itu masih awal Juli, sekitar pukul 07.00 pagi.

Kami berada di Reservat Fort Berthold, di North Dakota sebelah barat. Connell, 39, ibu dua putri dan salah satu dari sedikit perempuan pengemudi truk besar di ladang minyak, bertugas mengangkut air. Istilah resminya, air produksi. Para pengemudi menyebutnya air kotor.

Pada masa awal pemompaan di sumur baru, minyak keluar disertai cairan dan zat lain yang digunakan selama pengeboran bersama air garam, yang berlimpah di atas lapisan batuan bawah tanah. Di sinilah ditemukan minyak mentah tanpa kandungan belerang, yang dicari-cari.

Akhirnya, zat aditif buatan pun menyusut, hanya meninggalkan air garam. Lima tangki setinggi bangunan tiga lantai di depan kami berisi minyak; tangki keenam berisi zat lainnya. Itulah alasan Connell ke tempat ini, untuk mengangkut air ke sumur pembuangan limbah.

“Jangan pingsan di depan saya ya,” ujar Connell, setengah bercanda. Kami menaiki tangga yang terjal menuju titian baja sempit, setinggi sembilan meter di atas permukaan tanah. Tetapi, bukan ketinggian itu yang ia maksud membuat pingsan.

Dia bercerita bahwa pada salah satu kesempatan pertamanya membuka pintu kecil di bagian atas tangki air kotor, dia diselubungi uap. “Saya jatuh berlutut.” Tidak seorang pun memperingatkannya tentang puluhan zat kimia di dalam air, termasuk hidrogen sulfida, H2S, yang baunya bagaikan telur busuk akibat ulah bakteri yang tumbuh di dalam sumur. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, zat itu bisa jadi racun, bahkan mematikan.

Ironisnya, gas itu menimbulkan risiko terbesar justru ketika sudah mematikan indra penciuman. Inilah pelajaran lain tentang keselamatan yang harus dipelajarinya sendiri. Akhirnya, ada yang memberinya detektor H2S. Alat ini dijepitkan ke kerah bajunya setiap kali dia mendekati sumur yang berubah cukup “asam”, sehingga membahayakan.

Sekali waktu, dia sedang memompa air kotor dari truk tangki ketika detektor berbunyi. Dia bergegas pergi, mengira telah lolos dari bahaya. Beberapa jam kemudian, perutnya terasa melilit, awal dari serangan muntah-muntah selama seminggu. Benda berikut yang dibelinya adalah masker gas.!break!

Connell meminta saya berdiri melawan angin, kemudian dengan hati-hati ia mengangkat pintu kecil. Tidak tampak uap. Ini sesuai dengan yang diharapkannya, karena sudah berpengalaman meng­angkut air dari sumur ini. Tetapi, katanya, kita tidak pernah tahu kapan kegiatan rutin akan terganggu oleh kejutan buruk. Dia mengulurkan pita pengukur ke dalam tangki.

Untuk beberapa saat, dari sudut pandang titian itu, saya mendapatkan pemandangan daerah sekeliling dari atas. Tidak jauh di luar lahan berkerikil yang berwarna seperti koral di lokasi sumur itu, tampak gundukan tanam­an flax (Linum usitatissimum) dan bunga matahari, kemudian ladang gandum, alfalfa, dan kol rabi atau canola yang terhampar luas, dan di baliknya, dataran kering yang sudah terkikis. Tampak Sungai Missouri membentuk tikungan lebar. Keindahan dataran utara yang bersahaja.

Namun, lamunan saya tentang alam liar ini buyar. Connell telah menuruni tangga dan memindahkan selang sepanjang enam meter—seperti selang pe­madam kebakaran, tetapi lebih berat—dari samping truknya. Meskipun tingginya hanya 167 sentimeter dan beratnya 45 kilogram, dia mampu bergerak cepat, membungkuk ke depan untuk me­nambah daya tarik ketika menyeret selang tebal di sepanjang tanah.

Dia memasang salah satu ujung selang ke belakang truk tangki, ujung lainnya ke lubang di dasar tangki penyimpanan. Kemudian, dia menarik gagang logam panjang, membuka katup penyimpanan. Setengah jam kemudian, kami kembali ke truk, yang kini lebih berat seratus barel, melaju pergi. 

Connell jarang menggunakan kopling. “Seperti [pebalap] profesional,” katanya sambil tersenyum nakal, sebelum mengakui dia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menguasai pemindahan gigi saat bertemu lampu merah. Mengemudi truk adalah pekerjaan paling umum di ladang minyak, di daerah seluas se­kitar setengah Pulau Jawa ini.