Demam Minyak Baru Amerika

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 15:21 WIB

Ketika Susan Connell tiba di sumur minyak pertama hari itu, dia melemparkan kacamata berbingkai hitamnya yang keren ke dasbor truk beroda 18-nya. Kemudian ia menarik ritsleting baju coverall tahan apinya sampai ke leher. Saat itu masih awal Juli, sekitar pukul 07.00 pagi.

Kami berada di Reservat Fort Berthold, di North Dakota sebelah barat. Connell, 39, ibu dua putri dan salah satu dari sedikit perempuan pengemudi truk besar di ladang minyak, bertugas mengangkut air. Istilah resminya, air produksi. Para pengemudi menyebutnya air kotor.

Pada masa awal pemompaan di sumur baru, minyak keluar disertai cairan dan zat lain yang digunakan selama pengeboran bersama air garam, yang berlimpah di atas lapisan batuan bawah tanah. Di sinilah ditemukan minyak mentah tanpa kandungan belerang, yang dicari-cari.

Akhirnya, zat aditif buatan pun menyusut, hanya meninggalkan air garam. Lima tangki setinggi bangunan tiga lantai di depan kami berisi minyak; tangki keenam berisi zat lainnya. Itulah alasan Connell ke tempat ini, untuk mengangkut air ke sumur pembuangan limbah.

“Jangan pingsan di depan saya ya,” ujar Connell, setengah bercanda. Kami menaiki tangga yang terjal menuju titian baja sempit, setinggi sembilan meter di atas permukaan tanah. Tetapi, bukan ketinggian itu yang ia maksud membuat pingsan.

Dia bercerita bahwa pada salah satu kesempatan pertamanya membuka pintu kecil di bagian atas tangki air kotor, dia diselubungi uap. “Saya jatuh berlutut.” Tidak seorang pun memperingatkannya tentang puluhan zat kimia di dalam air, termasuk hidrogen sulfida, H2S, yang baunya bagaikan telur busuk akibat ulah bakteri yang tumbuh di dalam sumur. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, zat itu bisa jadi racun, bahkan mematikan.

Ironisnya, gas itu menimbulkan risiko terbesar justru ketika sudah mematikan indra penciuman. Inilah pelajaran lain tentang keselamatan yang harus dipelajarinya sendiri. Akhirnya, ada yang memberinya detektor H2S. Alat ini dijepitkan ke kerah bajunya setiap kali dia mendekati sumur yang berubah cukup “asam”, sehingga membahayakan.

Sekali waktu, dia sedang memompa air kotor dari truk tangki ketika detektor berbunyi. Dia bergegas pergi, mengira telah lolos dari bahaya. Beberapa jam kemudian, perutnya terasa melilit, awal dari serangan muntah-muntah selama seminggu. Benda berikut yang dibelinya adalah masker gas.!break!

Connell meminta saya berdiri melawan angin, kemudian dengan hati-hati ia mengangkat pintu kecil. Tidak tampak uap. Ini sesuai dengan yang diharapkannya, karena sudah berpengalaman meng­angkut air dari sumur ini. Tetapi, katanya, kita tidak pernah tahu kapan kegiatan rutin akan terganggu oleh kejutan buruk. Dia mengulurkan pita pengukur ke dalam tangki.

Untuk beberapa saat, dari sudut pandang titian itu, saya mendapatkan pemandangan daerah sekeliling dari atas. Tidak jauh di luar lahan berkerikil yang berwarna seperti koral di lokasi sumur itu, tampak gundukan tanam­an flax (Linum usitatissimum) dan bunga matahari, kemudian ladang gandum, alfalfa, dan kol rabi atau canola yang terhampar luas, dan di baliknya, dataran kering yang sudah terkikis. Tampak Sungai Missouri membentuk tikungan lebar. Keindahan dataran utara yang bersahaja.

Namun, lamunan saya tentang alam liar ini buyar. Connell telah menuruni tangga dan memindahkan selang sepanjang enam meter—seperti selang pe­madam kebakaran, tetapi lebih berat—dari samping truknya. Meskipun tingginya hanya 167 sentimeter dan beratnya 45 kilogram, dia mampu bergerak cepat, membungkuk ke depan untuk me­nambah daya tarik ketika menyeret selang tebal di sepanjang tanah.

Dia memasang salah satu ujung selang ke belakang truk tangki, ujung lainnya ke lubang di dasar tangki penyimpanan. Kemudian, dia menarik gagang logam panjang, membuka katup penyimpanan. Setengah jam kemudian, kami kembali ke truk, yang kini lebih berat seratus barel, melaju pergi. 

Connell jarang menggunakan kopling. “Seperti [pebalap] profesional,” katanya sambil tersenyum nakal, sebelum mengakui dia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menguasai pemindahan gigi saat bertemu lampu merah. Mengemudi truk adalah pekerjaan paling umum di ladang minyak, di daerah seluas se­kitar setengah Pulau Jawa ini.

Di sini, kemajuan teknologi pengeboran dan ekstraksi memungkinkan pengambilan minyak dari cadangan yang dalam dan tersebar luas. Sejak awal 2006, produksi dari cadangan yang dikenal sebagai formasi Bakken ini meningkat hampir 150 kali lipat, lebih dari 660.000 barel per hari, membuat North Dakota menempati posisi kedua di antara pemasok domestik. Kalah oleh Texas, tetapi melebihi Alaska.

Tak seorang pun kecuali beberapa orang dalam industri ini yang mampu meramalkannya. Sekarang, beberapa pekerja minyak yang optimistis memprediksi bahwa produksi harian negara bagian itu akhirnya dapat mendekati produksi Texas—sebesar dua juta barel. Jumlah sumur mungkin dapat meningkat dari sekitar 8.000 yang beroperasi sekarang menjadi sekitar 40.000-50.000. Pada saat hiruk-pikuk ini berakhir, mungkin 20 tahun dari sekarang, sebanyak 14 miliar barel minyak mentah berkualitas tinggi mungkin telah dikeluarkan dari perut bumi.!break!

Sebelum nanti lebih banyak saluran pipa dibangun di wilayah pedalaman yang terkurung daratan ini, sebagian besar minyak dan air diangkut dengan truk. Begitu pula dengan benda lainnya yang diperlukan agar mampu me­wujudkan pengembangan berskala besar yang cepat: kerikil, bahan konstruksi, peralatan, mesin.

Padang rumput ini sedang diindustrialisasi. Jika ingin melihat sesuatu yang menjadi simbol perubahan ini, tidak ada yang lebih baik selain truk 18 roda yang dikendarai Connell. Perubahan ruang lingkup dan intensitas seperti itu pasti akan memunculkan pertanyaan. Ribuan orang berkumpul di daerah itu, mencari pekerjaan, mencari penebusan, mencari masalah. Dan pe­kerjaan berlimpah.

Di Williston, di jantung ladang minyak, tingkat pengangguran kurang dari satu persen. Tetapi, bagaimanakah cara daerah pertanian dan sejumlah kota kecil ini meng­­hadapi banjir manusia tersebut? Risiko lain adalah kerusakan lingkungan hidup. Sebagian besar perhatian difokuskan pada hydraulic fracturing, perekahan dengan tekanan, atau fracking.

Dalam proses ini, sejumlah besar air tawar bersama pasir dan zat lainnya yang sebagian beracun, didorong dengan tekanan tinggi, menuruni sumur yang dibor ke dalam lapisan serpihan batu yang dalam. Akibatnya, tercipta retakan di tempat gelembung minyak dan gas alam yang terjebak sehingga ke­dua­nya dapat mengalir ke dalam sumur. Dari mana­kah asal semua air bersih ini?

Bagaimana air kotor yang dipompa keluar dicegah untuk tidak mencemari air tanah, seperti yang terjadi di bagian lain Amerika? Jika mundur sejenak untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas, apakah nilai padang rumput yang tak ada bandingannya ini—keheningan, keterasingan, ketenangan—dapat dipertahankan? Khususnya dalam menghadapi pembangunan tingkat regional berkecepatan tinggi, untuk mengambil minyak sebanyak mungkin secepat mungkin?

Implikasinya bergema jauh melampaui North Dakota. Memang, formasi serpih seperti di Bakken dapat ditemukan di seluruh AS, bahkan di seluruh dunia. Teknologi ekstraksi yang disempurnakan pada Bakken bagaikan kunci utama untuk membuka peti harta karun bahan bakar fosil lainnya.

Teknologi yang cukup menakjubkan, ditambah pergerakan pasar yang cenderung memilih untuk mengeksploitasi cadangan yang lebih sulit digali sehingga lebih mahal, berhasil meyakinkan se­jumlah pakar bahwa ekonomi berbasis karbon dapat bertahan lebih lama daripada yang me­reka bayangkan.

Menurut pengusaha minyak miliarder dan pelopor Bakken, Harold Hamm, tidak­lah benar asumsi yang menyatakan bahwa persediaan minyak dan gas sudah habis. Dalam pandangannya, Amerika membutuhkan kebijakan nasional berdasarkan kelimpahan, sesuatu yang tidak mendukung pengembangan sumber energi terbarukan.

Apa pun itu, besar kemungkinannya Anda tidak akan mendengar siapa pun di ladang minyak ini mengatakan apa yang akhirnya diper­taruhkan jika kita terus membakar bahan bakar fosil dengan sesuka hati.“Perubahan iklim?” kata Connell. “Kami tidak membicarakan hal itu di sini.”!break!

Untuk orang yang melarikan diri dari resesi, Bakken adalah kesempatan untuk mengelak dari ke­hancuran. Demikian pula dengan Susan Connell. Saat kami menuju ke lokasi pembuangan melalui jalan raya dua jalur yang dipenuhi truk yang lalu-lalang, dia menjelaskan bagaimana kisahnya sampai dia menempati posisi di belakang kemudi truk jenis Kenworth Anteater.

Masalah mulai menerpanya pada 2009, ketika dia dan suaminya tidak lagi menemukan pekerjaan konstruksi di bagian barat daya Montana, tempat mereka tinggal. Pada saat musim gugur tiba, mereka me­nunggak utang pembayaran rumah tiga bulan. Bank mengirimkan surat ancaman. Kemudian, Connell mendengar ada lowongan sopir truk di North Dakota.

Wanita yang dilahirkan di Dela­ware ini pernah mengemudikan bus komersial antara Philadelphia dan Atlantic City, serta bus transit bandara di Portland, Oregon. Seberapa sulit mengemudikan truk 18 roda? Tetapi, untuk memenuhi syarat, dia harus meningkatkan SIM-nya dan, untuk itu, dia perlu ikut program pelatihan khusus. Biaya: Rp40 juta

Pada saat Connell dan suaminya hampir tidak mampu membeli bahan makanan untuk anak-anak mereka, mereka membebankan biaya itu ke kartu kredit. “Ini taruhan besar,” katanya. Dia tidak bermaksud menyatakan kecilnya ke­mungkinan dia mendapatkan pekerjaan itu, me­lain­kan bagaimana penerimaan yang dapat di­pastikan akan dihadapinya di tempat yang di­sebutnya sebagai “dunia kaum lelaki.”

Pada hari yang dingin di pertengahan Desember, Connell membuat panekuk untuk anak-anaknya, berusaha menahan air mata saat berpamitan, ke­mudian menempuh perjalanan tujuh jam dari barat daya Montana ke perbatasan Montana-North Dakota. Dengan suhu malam hari yang mencapai di bawah nol, kadang dia tidur di mobilnya atau menginap di motel lusuh sambil mengajukan lamaran ke lebih dari belasan perusahaan truk.

Semua menolaknya. Beberapa manajer mengatakan ladang minyak bukan tempat yang cocok untuk wanita. Seseorang di Tioga mengecam bahwa sungguh memalukan dia tidak berada di rumah untuk merawat anak-anaknya. Connell geram. “Mereka mempermainkan mata pencaharian saya,” katanya.

Ketika tawaran pertama datang, setelah hari raya, tugasnya adalah mengangkut gandum, bukan air atau minyak. Upahnya juga lebih kecil. Wilayah kerjanya meliputi sebagian besar barat North Dakota serta bagian timur Montana dan selatan Saskatchewan. Yang lebih buruk lagi, musim dingin 2010-2011 sungguh sangat parah.

Ini bukanlah tempat yang tepat untuk mengemudikan truk 18 roda untuk pertama kalinya—sendirian pula. “Saya sangat gugup sehingga merasa akan mati,” kata Connell tentang perjalanan perdananya. Ke mana pun tempat yang ditujunya, jalannya diselimuti es.!break!

“Sepanjang waktu, saya mengemudikan truk dengan roda terbungkus rantai,” katanya. Setelah mencoba berulang kali, dia belajar cara memundurkan truk 18 roda di ladang berselimutkan salju. Ia ke­mudian membongkar lumbung gandum sambil berdiri di atas truk dalam suhu minus 28 derajat Celsius, kerap dalam keadaan gelap, hujan es, dan debu gandum menampar wajahnya.

Dia merawat sendiri truknya, termasuk meminyaki hub dan mengoles bantalan. Selama bulan-bulan pertama 2011, Connell terus melamar pekerjaan di perusahaan minyak. Kemungkinannya semakin besar karena kebutuhan akan tenaga semi-operator meningkat pesat. Sejak 1990-an, fracking dikombinasikan dengan pengeboran mirin —menggali secara horizontal dari dasar bagian sumur yang vertikal ke dalam lapisan tipis bebatuan yang mengandung minyak dan gas.

Di formasi Bakken, Continental Resources milik Harold Hamm, dan perusahaan lainnya yang mau bergerak cepat, menyempurnakan teknologi itu dengan memperpanjang pengeboran horizontal sejauh tiga kilometer dan mengubah komposisi cairan untuk fracking. Pada 2004, Continental menghadirkan sumur pertama yang menguntungkan di negara bagian itu.

Dua tahun kemudian, sebuah sumur EOG Resources memproduksi minyak dalam tekanan sedemikian besarnya, sehingga perusahaan harus menutup sumur itu sampai sumur kedua dapat dibor untuk mengurangi tekanan. “Berita itu menimbulkan kegairahan besar,” kenang Lynn Helms, direktur Department of Mineral Resources, North Dakota.

Harapan membubung tinggi. Helms menghitung bahwa pada tahun pertama setiap sumur baru, mulai dari pengeboran hingga perekahan sampai produksi awal, akan memerlukan 2.000 truk untuk pengangkutan. Ini belum termasuk mengangkut sejumlah besar minyak dan air garam selama sisa usia sumur itu. Implikasinya sungguh me­ngejutkan. “Ini pertanda besar,” kata Helms. Segalanya—tenaga kerja, jalan raya, rel kereta api, jaringan listrik, kesabaran—diperlukan.

Ini operasi pertambangan berskala besar,” kata Brent Sanford, Wali kota Watford City, komunitas yang berubah akibat pertumbuhan pesat itu. “Dan saya mendukungnya.” Pria penduduk asli generasi keempat yang berusia 40 tahun itu duduk di depan layar komputer di kantornya di S & S Motors.

Perusahaan ini didirikan kakeknya pada 1946, dan diambil alih olehnya ketika pulang ke kampung halamannya sembilan tahun yang lalu. Sambil mencari-cari iklan promosi pada situs lelang mobil, dia menjelaskan antusiasmenya. “Kota saya sedang sekarat,” katanya.

Watford City adalah salah satu dari puluhan kota yang menghadapi nasib buruk yang sama, yang pernah menyebabkan pakar kebumian mengusulkan bahwa daerah ini lebih baik diserahkan kepada kerbau lagi. Setiap tahun, bagian barat North Dakota semakin kosong—baik harapan maupun penghuninya. Pertumbuhan pesat perekahan itu menjungkirbalikkan keadaaan. “Sekarang, kami dapat kembali bekerja,” kata Sanford.!break!

Untuk mengetahui seperti apa pekerjaan itu, saya mendatangi sebuah sumur di timur laut Williston. Ada kebocoran di dasar kaki vertikal, sekitar tiga kilometer di bawah tanah. Untuk mem­bawa pipa ke permukaan, sebuah struktur seperti menara bor, mirip anjungan pengeboran tetapi lebih kecil, didirikan di atas sumur itu.

Di atas dek dengan ketinggian sekitar sembilan meter di atas anjungan, empat pekerja kasar mengeluarkan seluruh pipa sepanjang 3.275 meter, segmen demi segmen sepanjang 9,75 meter dengan berat 225 kilogram. Tugas yang melelahkan dan sangat berbahaya, yang tampak eksotis, bahkan terlihat heroik di mata para pakar teknologi tinggi dan manajer investasi swasta di zaman modern ini.

Sebuah perangkat di bawah dek mencengkeram setiap segmen di tempatnya saat keluar dari dalam lubang, untuk mencegah agar tekanan dari minyak tidak mendorong semua pipa se­panjang tiga kilometer yang terbuat dari baja seberat 76.200 kilogram itu melesat ke udara.

Se­olah-olah hendak mengingatkan kami akan adanya kemungkinan itu, minyak tiba-tiba menyembur dari lubang, menyelimuti para pekerja, pelindung kepalanya, wajah, semuanya. Bau gas tercium di udara. Lalu, semakin banyak minyak menyembur.

Para pekerja ini adalah orang-orang yang tahu apa yang sedang mereka kerjakan, terus-menerus menantang bahaya, yang penghasilannya besar, dan, karena semua itu, mempunyai banyak alasan untuk merasa bangga. Pekerjaan mereka adalah pekerjaan kasar yang memerlukan keterampilan dalam situasi yang berbahaya.

Sanford tak buta akan trauma yang sedang di­alami Watford City: populasi yang dalam dua tahun terakhir meningkat dari sekitar 1.700 warga menjadi sedikitnya 6.000 orang, dan menurut per­kiraan Sanford mungkin mencapai 10.000 orang.

Kekurangan perumahan yang parah, sehingga pekerja—dan sebagian besar tetap lelaki—terpaksa tidur di truk atau di motel yang tarifnya terlalu mahal; membayar biaya setinggi langit untuk memarkir mobil-rumah (RV), dan trailer; atau tinggal di salah satu rumah rakitan mahal, mirip asrama yang menjadi kumpulan kamar tidur instan, tetapi sangat sederhana untuk sejumlah kota dan lokasi kerja.

Jalanan dipenuhi tanker, truk, truk kerikil, trailer berlantai datar, truk pembuang, truk servis, dan—kendaraan pribadi yang populer di ladang minyak—truk pikap berukuran besar yang boros bensin. Semakin banyak kejahatan, kecelakaan jalan raya, keadaan darurat medis. Orang-orang berpenghasilan tetap terpaksa pindah karena mereka tidak mampu menjangkau lonjakan sewa yang tinggi. Sistem air dan saluran pembuangan kelebihan beban.!break!

Namun, Sanford berpendapat bahwa media me­lebih-lebihkan sisi negatif permasalahan. Wat­ford City bukan saja mampu bertahan, ujar­nya bersikeras, melainkan manfaat yang diperoleh pada akhirnya akan jauh lebih besar daripada pengorbanan yang harus dibayar.

Mengenai perumahan, “masalah terbesar kami,” dia berkata, bahwa kesulitan ini harus dilihat sebagai bagian dari evolusi. Mulai dari perumahan sementara seperti RV dan asrama menjadi “rumah beratap”—bangunan apartemen baru dan, akhirnya, rumah keluarga tunggal.

Saat ini, sekolah SD telah diperluas. Pusat rekreasi baru, perumahan rakyat, dan kompleks penitipan anak serta rumah sakit tak lama lagi akan segera dibangun. Jalanan sedang diperbaiki, ditingkatkan, dilebarkan. Di seluruh penjuru kota, bisnis lama—termasuk S & S Motors—berkembang pesat dan sejumlah bisnis baru mulai beroperasi.

Perusahaan truk merupakan salah satu per­usahaan yang paling menguntungkan. Tujuh tahun silam, Power Fuels, perusahaan bermarkas di Watford City yang mengkhususkan diri dalam pengangkutan minyak, air, dan cairan lainnya, memiliki staf 50 orang. Sekarang perusahaan itu memiliki 1.200 karyawan di empat kota dan membangun sebelas kompleks apartemen 42 unit untuk menampung mereka. Sebuah truk tangki 18 roda dapat menghasilkan pendapatan sekitar Rp400 juta per bulan—jika semuanya berjalan baik.

Pada suatu malam di awal April 2011, Connell sedang menunggu badai salju yang kesekian kalinya di musim tersebut, dengan sekitar 24 pengemudi truk minyak dan air di pompa bensin Cenex di Parshall. Seseorang bertanya, truknya jatuh ke parit yang mana. Ternyata Connell, satu-satunya pengemudi perempuan di ruangan itu, adalah satu-satunya pengemudi yang tidak tergelincir dari jalan selama badai.

Keesokan harinya, dia bangun pukul 5 pagi, menyekop salju dari sekeliling truk 18 rodanya, dan merupakan orang pertama dari para pengemudi yang terdampar, yang kembali ke jalan. Hal itu tidak lepas dari pengamatan sejumlah pengagum barunya, termasuk pemilik perusahaan kecil pengangkut air yang bermarkas di Killdeer, yang memiliki satu truk dan memerlukan bantuan untuk mengemudikannya.

Tak lama setelah itu, dia menelepon dan menawarkan pekerjaan kepada Connell. Pendapatannya melonjak dari sekitar enam juta rupiah seminggu menjadi Rp20 juta. Dia telah menyelamatkan rumah keluarganya.

Di bagian barat North Dakota, cerita seperti ini sudah lumrah—di antara para pengemudi, pekerja bangunan, dan pekerja kasar; penyedia layanan dan pemasok peralatan; ahli geologi, perekayasa, dan spesialis pengeboran. Namun, jika dilihat dari dekat, kedahsyatan pertumbuhan pesat Bakken kadang terlihat seperti sejumlah per­tumbuhan kecil yang rapuh.

Misalnya, dalam waktu enam bulan sejak keberuntungan yang di­dapatkan Connell saat menghadapi badai salju di Parshall, bos barunya tidak memiliki tawar­an pekerjaan yang cukup banyak untuk terus mempekerjakannya. Dari semua yang terjadi di sini—dari semua perubahan dan pertumbuhan—apa yang bisa bertahan? Apakah hal yang paling abadi adalah hal yang paling diinginkan?!break!

Pertanyaan ini menghantui Dan Kalil, ketua Dewan Komisaris Williams County. “Minyak adalah bisnis persewaan,” katanya; artinya bisnis ini tidak menetap di satu tempat. Mungkin tidak ada simbol yang lebih baik dalam menunjukkan kekontrasan kedua struktur paling ikonik di daerah padang rumput ini—anjungan pengeboran yang berpindah-pindah, dan lumbung biji-bijian yang terus bertahan di tempatnya.

“Ketika industri ini sudah berakhir, maka akan berakhir untuk selamanya,” ujar Kalil, “mereka menghilang begitu saja.” Kalil tidak menentang pembangunan; dia hanya menentang pengembangan yang tidak menentu, dan itulah yang dilihatnya dari pertumbuhan pesat ini. “Lakukanlah dengan lebih lambat,” desaknya.

Ia menyuarakan keinginan—seruan balasan yang berulang, bahkan semakin lantang—yang terdengar di seluruh ladang minyak. Batasilah se­belum meng­hancurkan masyarakat yang me­miliki ikatan erat dan gaya hidup santai. Selama masa-masa terbaiknya, hal inilah yang menjadi keunggulan wilayah tersebut.

Meskipun masih mungkin diperlambat—dan Kalil telah hilang harapan akan hal itu—satu-satunya cara yang efektif adalah membatasi jumlah anjungan pengeboran atau izin sumur. Tetapi, pejabat negara bagian tidak bersedia melakukan keduanya. “Hati saya hancur melihatnya,” desah Kalil. “Bagaimana saya bisa menjadi bagian dari semua ini?” katanya, merujuk pada perkelahian akibat mabuk-mabukan dan kondisi tunawisma, kebocoran minyak, dan tumpahan air kotor.

“Saya berjuang. Tetapi, saya akhirnya mampu bertahan.” Di belakang kami, tampak suar gas, api setinggi tiga meter meraung ke atas, tiba-tiba mengembang dan menjadi lebih ganas. Suaranya terdengar seperti ledakan tungku. Pada malam hari, beberapa daerah di padang rumput diterangi lilin raksasa, pemandangan yang menakjubkan sekaligus memprihatinkan.

Connell menuliskan jumlah air yang dikeluarkan­nya dari tangki penyimpanan: seratus barel lagi. “Ada sisi positif dan negatif dalam segala hal,” kata­nya, berusaha menyampaikan sesuatu yang menuntut penjelasan. “Saya hanya bisa pasrah.” Bukan berarti dia lebih memilih untuk tetap bekerja di sini. “Saya sudah berusaha untuk meninggal­kan pekerjaan ini,” katanya, menjelaskan bahwa pekerjaan ini melelahkan, tidak dapat diandalkan, dan dia merasa kesepian.

Hidup terpisah dari keluarga semakin sulit untuk semua orang; setiap kali meninggalkan rumah, anak-anaknya memohon padanya untuk tidak pergi. Dan, di dalam dunia yang didominasi kaum lelaki, ancaman fisik dan upaya pemerasan seksual terjadi cukup sering, sehingga meyakinkannya untuk selalu membawa senjata ke mana pun. Tetapi, pekerjaan berpenghasilan tinggi jarang di­­­temuinya di kampung halaman.

Dia juga ber­kata bahwa hal itu bukan satu-satunya yang membuatnya bertahan di sini. Dia membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan pekerjaan ini, dan lebih baik daripada sesama rekan pengemudi. Yang paling penting, dia mendapatkan tempat untuk dirinya dalam kehidupan ini.

“Setelah be­kerja keras sepanjang hari,” katanya, “Saya mulai merasa bergairah, seperti orang lainnya.” Dia terkekeh, menambahkan dengan senyuman culas, “Saya pengemudi truk yang tangguh.”!break!

Pada hari saya mengunjungi tempat keluarga Jorgenson, di sudut barat laut Mountrail County, adalah hari saat saya terpukau oleh padang rumput. Di utara Tioga, saya keluar di Route 40, menuju timur. Pada kedua sisi jalan berkerikil tampak ladang gandum, alfalfa, dan bunga matahari yang terhampar luas hingga cakrawala.

Saya terus menyusuri jalan lurus tanpa kontur sepanjang tiga belas kilometer. Tidak ada yang memberi tahu saya tentang tempat yang saya tuju—Lembah White Earth, lembah lebar berumput yang memesona berkat datarnya daerah di sekitarnya. Pada tebing di atas lembah, Richard dan Brenda Jorgenson, keduanya berusia 59 tahun, tinggal selama lebih dari 30 tahun.

Saat Richard mengemudikan mesin pemotong di ladang, memotong alfalfa beraroma tajam untuk pakan ternak, Brenda mengajak saya berkeliling dengan kendaraan ATV. Ia bersama dua cucunya, Ashley tujuh tahun, yang duduk di pangkuannya, dan Kyle si pemberani yang berusia lima tahun, yang berkendara tanpa berpegangan di samping saya di belakang.

Kami mengarah ke utara dari rumah, berkendara sepanjang tepian padang rumput yang belum terjamah—ditumbuhi bunga aster, rerumputan blue-eyed, dan hamparan blanket flowers, sejenis bunga matahari—serta lembah tempat pohon ash dan semak Juneberry berlimpah.

Brenda masih kuliah saat Richard pertama kali menunjukkan lembah itu kepadanya. “Langsung jatuh cinta,” katanya. Pertanian di wilayah ini jarang menyediakan penghasilan yang cukup besar untuk menghidupi keluarga. Seperti kebanyakan pemilik tanah yang saya temui di ladang minyak, Richard memiliki pekerjaan sampingan, baru pensiun pada 2006. Brenda bekerja paruh waktu.

Kami tiba di tempat yang menyajikan pe­mandangan Sungai White Earth, sungai sempit yang mengular melalui lahan pertanian terbaik keluarga Jorgenson. Di dasar lembahnya, Alliance Pipeline berencana membangun pipa gas tekanan tinggi berdiameter 30 sentimeter yang akan menghubungkan pabrik pengolah gas yang sudah ada di Tioga ke saluran utama yang berjarak sekitar 128 kilometer.

Hari ini seharusnya menjadi hari terakhir petugas survei perusahaan menjelajahi daerah di sekitar peternakan. Keluarga Jorgenson dan beberapa tetangga mereka dengan keras menentang proyek tersebut.

“Saya tidak ingin ada bom di halaman belakang saya,” kata Richard, merujuk pada kemungkinan terjadinya ledakan gas. Tetapi, Alliance mengadu ke pengadilan, me­ngancam untuk menggunakan eminent domain, proses kontroversial yang menyatakan hak milik pribadi dapat disita demi kepentingan umum yang lebih besar, dalam hal ini, menyediakan energi untuk memenuhi kebutuhan warga AS.!break!

Sementara keluarga Jorgenson berjuang untuk mempertahankan kendali atas lahannya, mereka sudah terpaksa hidup dengan konsekuensi pe­ngeboran yang mengganggu. Dua ratus empat puluh lima meter dari rumah mereka, sebuah pompa angguk Petro-Hunt bergerak siang dan malam, diiringi berisiknya suara petugas, lalu lintas, dan risiko kontaminasi. Suara keluarga Jorgenson tidak ada artinya.

Ayah Richard membeli lahan seluas 400 hektare dari seseorang yang tidak memberitahunya bahwa dia telah menjual hak mineral—dalam paket dua hektare—kepada banyak orang di seluruh negeri. Hal yang membuatnya lebih rumit, hak itu telah diwariskan berkali-kali.

Setelah mempelajari berbagai arsip di gedung pengadilan county, Brenda tercekam saat menemukan bahwa 110 orang asing memiliki mineral di bawah lahan se­­luas 16 hektare yang mengelilingi rumahnya. Jika sebuah perusahaan minyak berhasil membujuk 51 persen saja pemilik hak mineral untuk memberikan persetujuannya, perusahaan dapat mengebor di tanah yang bukan milik mereka. Pemilik hak bisa saja menjualnya dan mendapatkan uang, mungkin cukup banyak, tanpa menghadapi risiko apa pun.

Mungkin langkah badan legislatif negara bagian yang berpandangan jauh ke depan dapat membenahi pengaturan yang aneh ini. Namun, se­karang fase sewa mineral dan eksplorasi umumnya sudah selesai di North Dakota bagian barat. Hal ini mem­berikan kekuasaan kepada orang yang tidak tinggal dan bekerja di tanah itu untuk menentukan nasib banyak orang yang tinggal dan bekerja di situ.

Keadaan ini mengungkapkan kebenaran yang lebih besar: Manfaat pertumbuhan pesat minyak disebar secara luas. Yang pasti, pemilik tanah setempat yang telah mempertahankan hak mineral dapat memperoleh banyak uang dari sewa. Tetapi, lebih banyak kekayaaan yang meninggalkan wilayah tersebut.

Pengemudi truk seperti Connell dan pekerja musiman lainnya membayar utang di kampung halamannya. Keuntungan mengalir ke eksekutif perusahaan minyak yang tinggal di Kanada, Texas, dan Oklahoma, serta pemegang saham yang tersebar di mana-mana.

Sebaliknya, biaya terlokalisasi. Menerima hal buruk seiring dengan hal baik mungkin memang tak terhindarkan, bahkan seandainya pun kebaikan itu tidak bertahan untuk waktu lama dan “kebaikan masyarakat” sering dinikmati segelintir pihak saja. Namun, di North Dakota bagian barat, keburukan harus ditanggung terutama oleh penduduk setempat. 

Pada Agustus lalu, Connell memerlukan waktu satu hari untuk mengangkut pipa mi­nyak ke atas truk 18 roda berlantai datar. Dia me­nikmati kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. “Lelaki besar” di halaman gudang memegangnya sambil menunjukkan cara yang tepat untuk mengikat beban.!break!

Menjadi pengangkut pipa tangguh adalah langkah bijaksana, karena pembangunan tahap berikutnya di Bakken akan mencakup penggantian sebagian besar armada minyak dan air dengan jaringan pipa pengumpul tingkat regional. Gubernur Jack Dalrymple, yang berharap dapat mengurangi efek negatif truk angkut dan menurunkan biaya transportasi minyak, mendesak perusahaan saluran pipa untuk membangun jaringan secepat mungkin.

Dia dan pejabat negara lainnya membayangkan pembangunan pipa penghubung sepanjang 9.650 hingga 12.875 kilometer untuk keempat produk sumur. Yaitu aliran kembali, yang merupakan campuran cairan alami dan buatan yang digunakan dalam perekahan; minyak mentah; gas alam; dan air garam. Pipa sepanjang itu, yang melintang di North Dakota barat sangatlah panjang, hingga dapat mengelilingi Bumi.

Warisan permanen dari pertumbuhan pesat ini juga mencakup beberapa saluran pipa besar untuk mengalirkan minyak dari wilayah tersebut. Selain itu, ada sumur minyak berkedalaman tiga kilometer sebanyak 50.000 buah, ratusan sumur pembuangan limbah, dan sekian banyak fasilitas pengolahan limbah dan penyimpanan.

Kedalaman formasi serpihan batu dan lapisan batuan yang menghalangi memperkecil kemungkinan bahwa cairan fracking akan bermigrasi cukup jauh ke atas sehingga mencemari daerah akuifer yang dangkal. Tetapi, tak ada yang tahu pasti. Inilah pertama kalinya teknologi fracking digunakan dalam kondisi geologi seperti ini.

Semakin banyak eksperimen yang dilakukan dalam pengeboran bawah tanah, semakin kita tahu bahwa lapisan yang “tidak dapat ditembus” ternyata cukup mudah ditembus, dan retakan dalam bebatuan saling terkait secara tak terduga.

Hal yang perlu perhatian khusus adalah ratusan komponen fracking, beberapa di antaranya me­ngandung bahan kimia yang diketahui atau dicurigai bersifat karsinogenik atau beracun. Persoalan lain yang meningkatkan kemungkinan dampak lingkungan adalah celah hukum yang disebut celah Halliburton, nama perusahaan yang mematenkan versi awal teknologi fracking.

Celah hukum yang diloloskan semasa Pemerintahan Bush-Cheney itu membebaskan industri minyak dan gas dari kewajiban Safe Drinking Act, Undang-Undang Air Minum yang Aman. Selain itu, produsen dan operator tidak diharuskan mengungkapkan semua bahan yang mereka gunakan, atas dasar adanya rahasia dagang yang mungkin terungkap. Bahkan George P. Mitchell, pengebor sumur eksplorasi Texas yang memelopori penggunaan fracking pun menuntut transparansi dan regulasi yang lebih ketat.!break!

Melihat lebih jauh ke depan, tidak dapat di­pastikan seberapa lama pipa selubung pada sumur minyak dan tutup penyumbat dapat bertahan. Pe­nelitian US Geological Survey yang baru dilaku­kan atas sumur minyak berusia puluhan tahun di Montana bagian timur menemukan intrusi air asin bermigrasi ke dalam daerah resapan air dan sumur pribadi. Air dari tempat itu jadi tidak layak minum.

Dan, bencana kegagalan penyelubungan dapat terjadi kapan pun. EPA kini sedang menyelidiki semburan liar pada 2011 saat terjadi perekahan di sebuah sumur di dekat Killdeer yang menembus daerah akuifer yang diandalkan kota. 

Akan tetapi, bahkan pipa yang diproduksi dengan baik pun bisa bocor dan pecah. Negara bagian tidak punya sumber daya untuk mengawasi konstruksi proyek sebesar ini. Begitu persetujuan dikeluarkan, keputusan lokasi penempatan pipa dan bagaimana pemantauanya selama masa hidup puluhan tahun akan diserahkan kepada pemilik tanah, atau kemungkinan besar keturunan pemilik tanah, dan perusahaan pipa, dengan asumsi perusahaan itu masih bertahan.

Jika pertumbuhan industri minyak Bakken yang begitu pesat diibaratkan sebuah drama Yunani klasik, adegan kedua baru saja dimulai.