Bagai dua kumbang yang terbang belingsatan dalam sebuah stoples, Aris dan seorang rekannya melaju dengan sepeda motor sport masing-masing. Mereka berputar dan bekejaran, melindas dinding kayu bersegi enam belas dalam wahana roda-roda gila—tong stand, atau kerap pula disebut tong setan.
Saat itu dua malam jelang lebaran di Kota Pemalang, Jawa Tengah. Tiba-tiba, ada bagian rem belakang sepeda motor Aris yang terlepas dan masuk ke jeruji sehingga roda belakangnya terhenti mendadak. Dia pun melayang pasrah.
Braaaaaaak!!! Aris—tanpa pelindung kepala dan badan—jatuh terkapar dari ketinggian lima meter. Sepeda motor turut menimpanya. Penonton yang mengelilingi arena terkejut dan miris. Semua pandangan terarah ke dasar arena, seakan bertanya “apakah sang pembalap baik-baik saja?” Sementara itu, rekannya tetap berputar dengan suara knalpot yang meraung, seolah tak menghiraukan kejadian di bawahnya.
Aris tidak pingsan. Lelaki muda itu bangkit dan mengangkat sepeda motornya untuk bermain lagi. Beberapa rekan mencegahnya, namun dia bergeming. Dia ingin menyelesaikan permainan. Berulang kali Aris menepis ajakan berhenti sembari berkata bak jagoan penantang maut, “Tidak! Saya mau main lagi!”
Lalu, seseorang memberikan cermin kepada Aris. Barulah dia sadar, dirinya tampak tidak baik-baik saja. Hidungnya sudah bergeser, dengan darah segar yang mengalir. Seketika, sang pembalap muda itu pun lunglai. Akhirnya dia pasrah saat dipapah keluar arena.
Kecelakaan di Pemalang empat tahun lalu itu selalu dikenang Aris. Betapa tidak, nasib sial mengundangnya untuk merayakan lebaran bersama orang tua di rumah sakit.
Pada suatu sore pertengahan Januari lalu, hamparan awan gelap berarak menaungi taman komidi keliling di Ciledug, Tangerang Selatan. Saya menjumpai Aris, pembalap lulusan sekolah dasar yang kini berusia 26 tahun. Asalnya dari Sragen, Jawa Tengah.
Dia berkaus kutung putih, duduk di sandaran tangan sebuah sofa biru butut. Dagunya berjanggut tipis, kuping kirinya berhias giwang kristal, dan lengan kirinya dilingkari dua lusin gelang karet warna hitam.
Nama “Aris” adalah nama pedengan, sejatinya dia bernama Siswanto. Sejak dia bekerja sebagai penarik kuda putar sebelas tahun silam, sudah tak terhitung lagi berapa kali dia merambahi pasar malam di Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kini sudah setahun lebih dia bekerja untuk komidi keliling Dhyan Karya.!break!
Awak komidi keliling menetap di suatu daerah yang dianggap menguntungkan untuk bisnis hiburan. Durasinya tak lebih dari sebulan. Setelah itu mereka berpindah lagi. Demikian seterusnya. Bisa jadi, komidi keliling merupakan satu-satunya bentuk kehidupan sosial yang masih melestarikan budaya hidup berpindah (nomaden) di kota-kota pinggiran, setelah peradaban itu ditinggalkan ribuan tahun silam.
Tidak seperti awak komidi lain yang menghiasi sebagian tubuhnya dengan aneka tato untuk memberi kesan sangar, sore itu punggung Aris dipenuhi koyok—plester yang berkhasiat meredakan pegal atau encok. “Leher saya kaku,” ujarnya sembari melirik saya. “Mungkin tadi salah posisi tidur.”
Sore itu Aris baru saja bangun dari tidurnya, hendak mengantre ke sebuah kamar mandi umum. Mereka bekerja sejak jelang matahari terbenam hingga malam hari. Lalu, berlanjut dengan bercengkerama sampai dini hari. Mereka tidur jelang pukul enam pagi, lalu bangun dan mulai beraktivitas pada pukul tiga sore.
Mereka juga makan dua kali sehari, sebelum pekerjaan dimulai dan setelah pekerjaan usai. Kehidupan awak komidi keliling, seolah berputar terbalik: malam jadi siang, siang jadi malam. “Kata orang-orang, jadi pemain tong itu cari duitnya gampang,” ujar Aris, “tetapi buangnya juga gampang.”