Komidi Keliling

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 17:02 WIB

Namun, di tengah kejayaan usahanya, dia berniat beralih ke usaha membuka toko ba­ngunan atau toko sembako. Di lapangan, dia merasa kewalahan mengelola sendiri 24 karyawan, mencari lahan, hingga izin. “Saya sudah jenuh,” ungkapnya. “Kalau ada yang mau membeli satu set [wahana komidi], saya akan jual semuanya juga—Rp400 juta.”!break!

Komidi andalannya adalah roda-roda gila. Selain itu, ada juga atraksi kuda putar, kincir, kereta mini listrik, heli putar yang berderit-derit,  dan perahu ayun yang memanggil penumpang dengan suara terompetnya. Mengapa tidak ada wahana rumah hantu?

“Itu bikin onar,” kata Yudhi Prasetyo, anak Karmidi, yang sedang mengawasi proses bongkar-muat. Lantaran gelap, wahana ini sering dimanfaatkan orang untuk mencopet atau menggerayangi tubuh pengunjung perempuan. Hal lainnya: sering muncul kejadian misterius.

Saya bertemu seseorang yang tatkala kecil bekerja sebagai hantu-hantuan. Dia biasa di­panggil Kliwon, meski nama sejatinya adalah Eko Sutriman, keponakan Karmidi. Sudah setahun ini dia menjadi pembalap komidi roda-roda gila bersama Aris. Lelaki 23 tahun asal Demak ini gaya rambutnya mirip Elvis Presley. Selebihnya tidak, karena kedua kuping, hidung, lidah, dan puting kanannya ditindik.

Punggungnya bertato elang. Hal yang melunturkan kegarangannya adalah plester penutup luka berkarakter tokoh kartun warna kuning, yang menempel di pipi kirinya. “Kakek, adik-adik kakek, dan ayah; semua bekerja di komidi,” ungkap Kliwon.

Saat masih di sekolah dasar, dirinya sudah bekerja sebagai hantu. Semuanya empat orang, dirinya yang termuda. Suatu malam, tanpa sadar salah seorang teman Kliwon yang menjadi hantu pocong menyuruh empat orang untuk bersiap di dalam bilik wahana rumah hantu. Semuanya menurut. Pekerjaan menakut-nakuti pun sukses.

Setelah selesai, salah satu dari mereka mena­nyakan siapa orang kelima yang masih di dalam bilik itu. Betapa terkejutnya mereka ketika menyingkap tirai bilik. “Hantu itu giginya berta­ring!” kata Kliwon sembari me­nunjuk giginya. “Semua lari keluar,” kenangnya sambil menahan tawa. “Saya hanya pakai celana dalam saat itu.”

Magrib menjelang di Tegal Rotan, Tangerang Selatan, Banten. Suara orang mengaji sayup terdengar dari masjid seberang. Komidi keliling Karya Putra Mandiri milik pasangan asal Betawi, Ismail dan Nyak—begitulah julukan bagi istri Ismail yang berkerudung—baru selesai didirikan hari itu. Tenda–tenda milik pedagang aneka busana yang setia menyertai sudah siap sehari sebelumnya.

Mereka menempati sebuah lahan yang becek persis di samping proyek pembangunan kompleks perbelanjaan, apartemen, dan hotel yang termegah di kawasan Bintaro. Rombongan ini meninggalkan Ciledug setelah sebulan penuh aneka atraksi komidi mereka berpadu dengan roda-roda gila Dhyan Karya milik Karmidi.

Sejumlah awak komidi dan pedagang duduk bersila di kios bertenda biru. Mereka memanjatkan doa bersama demi kelancaran usaha. Nasi tumpeng putih dan kuning telah tersaji pada upacara selamatan hari pertama di lokasi ini. Lauknya, tahu dan tempe goreng, ayam bekakak, lalapan, kerupuk, tak ketinggalan sambal dan jengkol. “Setiap pindahan, saya selalu bikin syukuran,” kata Nyak berseri.!break!

Dua minggu berselang, hujan masih kerap tumpah. Lahan kian bersimbah. Ketika sepi pengunjung, Nyak harus punya dana talangan paling tidak dua puluh juta, untuk membayar uang makan karyawan selama sebulan.

Dedy Irawan tampak bois petang itu. Rambutnya mohawk, berkemeja kota-kotak dan celana jin pensil. Dia mengengkol mesin kincir hingga berderum. Sebuah jeriken berisi cadang­an solar tergantung pada bilah bambu. Lalu, lampu aneka warna berpendar tak merata di rangka kincir yang berkarat dan terkelupas catnya itu.