Kadang dia terpaksa bertemu teman-teman lamanya, lalu tak terelakkan untuk minum bersama dan bermain judi. Namun, dia bersyukur masih bisa menabung. Bahkan, pentasnya di Ciledug membuahkan sepeda motor sport bekas buatan Cina, tanpa nomor polisi.
Seperti awak komidi lainnya, dia tidur di segala tempat asalkan bisa dipakai untuk berteduh dan membaringkan badan. Sebuah kotak loket mungil yang dinding dan atapnya dari seng kerap menjadi peraduannya. Lampu neon menerangi tulisan di sisi depan loket: “Loket Roda Gila Maut – Tong Stand. Rata-rata Rp6.000” berikut dengan lukisan mencolok seekor elang bondol nan jenaka tengah mengendarai sepeda motor.
Ruangan dalamnya bercat biru gelap. Kipas angin gantung dan karpet butut menjadi perabotnya. Dindingnya dihiasi poster hijau-kuning-merah bersosok Bob Marley, pesohor musik reggae asal Jamaika yang kerap menjadi simbol perdamaian dan perjuangan kesetaraan kelas sosial—juga “legalisasi” ganja.
Poster itu menatap coretan nakal dari cat semprot yang mensyarahkan sebuah balada: “Hidupku di Atas 2 Roda”. Kadang kotak loket itu memuat tiga orang yang terlelap. Situasinya mirip pindang ikan cuwe dalam pecel sambal tomat!
Usai magrib, kotak pengeras suara yang dibungkus plastik mengoarkan musik dansa elektronik yang berirama ajeg. Pertanda hiburan sudah resmi buka.!break!
Wahana roda-roda gila itu berpayung tenda kerucut warna kuning-biru yang di puncaknya berkibar bendera merah putih lusuh. Di tangga anjungannya terpasang penanda usaha: elang berkepala putih dengan sayap merah merentang. Kedua kakinya mencengkeram erat pita bertuliskan “Dhyan Karya Rasexo”.
“Rasexo itu singkatan dari Rakyat Semarang Kota,” ungkap Karmidi, lelaki berkumis pemilik usaha komidi itu. Usianya jelang lima puluh tahun. Asalnya dari Demak, namun mengawali usaha ini di Semarang. Saya menjumpai dia dan komidi kelilingnya di lahan bekas rumah sakit di Pondok Betung.
Di seputaran Jakarta, menurutnya, ada sekitar lima belas perusahaan taman komidi keliling. Sepuluh di antaranya masih kerabatnya. Dengan cabe rawit di tangan kanan dan tahu goreng di tangan kirinya, Karmidi bercerita penuh semangat tentang masa mudanya.
Hidup berpindah dan jarang merambah rumah telah dilakoninya semenjak lulus sekolah dasar bersama Kelana Karya, salah satu komidi keliling tertua di Jawa milik pamannya. Sambil menandaskan cabe rawit lalu membuang tangkainya, dia berkata, “Jadi, susah payah, pahit manisnya sudah saya rasakan.”
Awal dekade lalu, dia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Kehidupan di kota ini sangat mahal, sehingga dia kerap berpesan kepada anak-anaknya bahwa suatu kerugian apabila menyia-nyiakan kesempatan. “Apa sih yang tidak bayar di Jakarta?” tanyanya kepada saya. “Mungkin hanya kentut yang tidak perlu bayar.”
“Jadi, kalau di hutan ada macan, di kampung ada preman,” kata Karmidi. Lebih repot melayani preman kampung daripada preman kota. Preman kota datang cukup sekali karena dari organisasi masyarakat kedaerahan, sedangkan gerombolan “preman Jonggol minta rokok sampai dua slof setiap harinya.”
Pekarangan yang tersedia untuk arena komidi pun cenderung menyusut. Namun, ada saja lahan yang dulunya tertutup, kini menjadi peluang usahanya. Persoalan lain, kian meningkatnya biaya operasional dan sulitnya mendapat pasokan solar untuk penggerak komidinya. “Kadang-kadang beli solar aja susah, kayak orang maling.”