Komidi Keliling

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 17:02 WIB

Rambutnya gondrong kampung ala harajuku dengan bagian kanan kepala dipangkas habis sehingga teli­nganya yang bersubang potongan sedotan itu pun tersingkap. Awalnya Nurdin adalah pendorong kuda putar. Kini, dia mencoba perun­tung­an baru sebagai pembalap sepeda di roda-roda gila.

Penjaga pintu masuk komidi roda-roda gila ini adalah lelaki bertubuh tinggi besar, bertato pula. Namanya Deden—lagi-lagi nama pedengan, nama aslinya Sanjaya—yang juga paman Nurdin. Lelaki bertampang sangar ini kerap membawa sebuah botol saus plastik di saku belakangnya. Isinya susu putih!!break!

Saya bertanya apakah susu dalam botol itu bercampur alkohol, dia langsung tersentak serius, “Ow, ini susu asli beli di warung depan. Jauh lebih baik daripada minum alkohol!”

Aris dan Kliwon, keduanya berkaus balap dan bersepatu kets putih,  memulai pertunjukan roda-roda gila. Beberapa penonton menutup telinga, sebagian menjulurkan uang ribuan dari pagar pengaman. Keduanya melakukan aksi lepas setang sambil menyawer.

Berikutnya Aris membuntuti Kliwon, tampak wajah keduanya yang tersenyum. Mereka bergandengan, duduk bersila, duduk me­nyamping sambil lepas setang sementara sepeda motor berjalan zig-zag di dinding kayu. Di bawah, Nurdin menanti kode de­ngan gelisah. Tibalah saat dia menggenjot sepeda sekuat tenaga menggilas dinding wahana.

Dia tak berani memandang penonton. Tak sampai tiga menit Nurdin menyudahi permainannya. Namun, ada yang janggal dalam penampilannya: lantaran gugup, Nurdin lupa tidak memakai sepatu, tetapi sandal jepit merah di kaki kanan­nya dan warna hijau di kaki kirinya.

Lalu, Aris melakukan adegan penutup nan berbahaya, gaya kalajengking: dalam laju sepeda motor, berdiri di atas jok sembari meng­angkat kaki kirinya. Penonton bertepuk tangan, se­bagian menjatuhkan lembaran uang ribuan. Komidi roda-roda gila memang mendapatkan omset tertinggi malam itu, sekitar tiga juta rupiah lebih. Jauh melebihi atraksi lainnya. Aris dan Kliwon masing-masing mendapatkan sembilan persennya, sekitar Rp270-an ribu.

Sedangkan Nurdin malam itu mendapatkan honor Rp80 ribu—mengikuti honor awak komidi lain. Kelak apabila dia bisa lepas setang dan bergandengan dengan Aris dan Kliwon, barulah dia menerima honor utuh sebagai pemain sepeda roda-roda gila.

“Alhamdulillah, bisa membantu mbonjrotnya di Jonggol kemarin,” kata Karmidi. Bulan lalu di Jonggol, Kabupaten Bogor, dia rugi telak sekitar Rp30 juta karena hujan deras setiap malamnya. Seraya menunjukkan kedua telapak tangan dengan ibu jari terlipat kepada saya, dia mengatakan bahwa dalam setahun dia mendapati “empat bulan untung, empat bulan impas, dan empat bulan rugi.”

Tengah malam, saya bertemu Aris yang tertawa lebar sambil menunjukkan lembaran-lembaran uangnya. Namun, tampaknya ada suatu pertanyaan yang selalu dia pikirkan: Apakah mencari uang di roda-roda gila ini ada dosanya? Dia pernah berkisah kepada saya tentang jawaban yang diberikan oleh kakaknya.

Kata sang kakak, pekerjaannya bisa jadi menuai dosa manakala seorang bocah melihat dia beratraksi sebagai pembalap, lalu menirunya sehingga celaka dan tewas.

Aris yang pernah terjerumus dalam kehidupan kelam—hampir tewas karena menenggak pil psikoaktif hingga mengiris urat nadinya—bermunajat, “Insyaallah saya tidak akan selamanya seperti ini,” ujarnya. “Kalau Yang-di-Atas mengijabahi saya punya rezeki, saya ingin punya usaha sendiri.”