Komidi Keliling

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 17:02 WIB

Bagai dua kumbang yang terbang belingsatan dalam sebuah stoples, Aris dan seorang rekannya melaju dengan sepeda motor sport masing-masing. Mereka berputar dan bekejaran, melindas dinding kayu bersegi enam belas dalam wahana roda-roda gila—tong stand, atau kerap pula disebut tong setan.

Saat itu dua malam jelang lebaran di Kota Pemalang, Jawa Tengah. Tiba-tiba, ada bagian rem belakang sepeda motor Aris yang terlepas dan masuk ke jeruji sehingga roda belakangnya terhenti mendadak. Dia pun melayang pasrah.

Braaaaaaak!!!  Aris—tanpa pelindung kepala dan badan—jatuh terkapar dari ketinggian lima meter. Sepeda motor turut menimpanya. Penonton yang mengelilingi arena terkejut dan miris. Semua pandangan terarah ke dasar arena, seakan bertanya “apakah sang pembalap baik-baik saja?” Sementara itu, rekannya tetap berputar dengan suara knalpot yang meraung, seolah tak menghiraukan kejadian di bawahnya.

Aris tidak pingsan. Lelaki muda itu bangkit dan mengangkat sepeda motornya untuk bermain lagi. Beberapa rekan mencegahnya, namun dia bergeming. Dia ingin menyelesaikan permainan. Berulang kali Aris menepis ajakan berhenti sembari berkata bak jagoan penantang maut, “Tidak! Saya mau main lagi!”

Lalu, seseorang memberikan cermin kepada Aris. Barulah dia sadar, dirinya tampak tidak baik-baik saja. Hidungnya sudah bergeser, dengan darah segar yang mengalir. Seketika, sang pembalap muda itu pun lunglai. Akhirnya dia pasrah saat dipapah keluar arena. 

Kecelakaan di Pemalang empat tahun lalu itu selalu dikenang Aris. Betapa tidak, nasib sial mengundangnya untuk merayakan lebaran bersama orang tua di rumah sakit.

Pada suatu sore pertengahan Januari lalu, hamparan awan gelap berarak menaungi taman komidi keliling di Ciledug, Tangerang Selatan. Saya menjumpai Aris, pembalap lulusan sekolah dasar yang kini berusia 26 tahun. Asalnya dari Sragen, Jawa Tengah.

Dia berkaus kutung putih, duduk di sandaran tangan sebuah sofa biru butut. Dagunya berjanggut tipis, kuping kirinya berhias giwang kristal, dan lengan kirinya dilingkari dua lusin gelang karet warna hitam.

Nama “Aris” adalah nama pedengan, sejatinya dia bernama Siswanto. Sejak dia bekerja sebagai penarik kuda putar sebelas tahun silam, sudah tak terhitung lagi berapa kali dia merambahi pasar malam di Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kini sudah setahun lebih dia bekerja untuk komidi keliling Dhyan Karya.!break!

Awak komidi keliling menetap di suatu daerah yang dianggap menguntungkan untuk bisnis hiburan. Durasinya tak lebih dari sebulan. Setelah itu mereka berpindah lagi. Demikian seterusnya. Bisa jadi, komidi keliling merupakan satu-satunya bentuk kehidupan sosial yang masih melestarikan budaya hidup berpindah (nomaden) di kota-kota pinggiran, setelah peradaban itu ditinggalkan ribuan tahun silam.

Tidak seperti awak komidi lain yang meng­hiasi sebagian tubuhnya dengan aneka tato untuk memberi kesan sangar, sore itu punggung Aris dipenuhi koyok—plester yang berkhasiat meredakan pegal atau encok. “Leher saya kaku,” ujarnya sembari melirik saya. “Mungkin tadi salah posisi tidur.”

Sore itu Aris baru saja bangun dari tidurnya, hendak mengantre ke sebuah kamar mandi umum. Mereka bekerja sejak jelang matahari terbenam hingga malam hari. Lalu, berlanjut dengan bercengkerama sampai dini hari. Mereka tidur jelang pukul enam pagi, lalu bangun dan mulai beraktivitas pada pukul tiga sore.

Mereka juga makan dua kali sehari, sebelum pekerjaan dimulai dan setelah pekerjaan usai. Kehidupan awak komidi keliling, seolah berputar terbalik: malam jadi siang, siang jadi malam. “Kata orang-orang, jadi pemain tong itu cari duitnya gampang,” ujar Aris, “tetapi buangnya juga gampang.”

Kadang dia terpaksa bertemu teman-teman lamanya, lalu tak terelakkan untuk minum bersama dan bermain judi. Namun, dia bersyukur masih bisa menabung. Bahkan, pentasnya di Ciledug membuahkan sepeda motor sport bekas buatan Cina, tanpa nomor polisi.

Seperti awak komidi lainnya, dia tidur di segala tempat asalkan bisa dipakai untuk berteduh dan membaringkan badan. Sebuah kotak loket mungil yang dinding dan atapnya dari seng kerap menjadi peraduannya. Lampu neon menerangi tulisan di sisi depan loket: “Loket Roda Gila Maut – Tong Stand. Rata-rata Rp6.000” berikut dengan lukisan mencolok seekor elang bondol nan jenaka tengah mengendarai sepeda motor.

Ruangan dalamnya bercat biru gelap. Kipas angin gantung dan karpet butut menjadi perabotnya. Dindingnya dihiasi poster hijau-kuning-merah bersosok Bob Marley, pesohor musik reggae asal Jamaika yang kerap menjadi simbol perdamaian dan perjuangan kesetaraan kelas sosial—juga “legalisasi” ganja.

Poster itu menatap coretan nakal dari cat semprot yang mensyarahkan sebuah balada: “Hidupku di Atas 2 Roda”.  Kadang kotak loket itu memuat tiga orang yang terlelap. Situasinya mirip pindang ikan cuwe dalam pecel sambal tomat!

Usai magrib, kotak pengeras suara yang dibungkus plastik mengoarkan musik dansa elektronik yang berirama ajeg. Pertanda hiburan sudah resmi buka.!break!

Wahana roda-roda gila itu berpayung tenda kerucut warna kuning-biru yang di puncaknya berkibar bendera merah putih lusuh. Di  tangga anjungannya terpasang penanda usaha: elang berkepala putih dengan sayap merah merentang. Kedua kakinya mencengkeram erat pita bertuliskan “Dhyan Karya Rasexo”.

“Rasexo itu singkatan dari Rakyat Semarang Kota,” ungkap Karmidi, lelaki berkumis pemilik usaha komidi itu. Usianya jelang lima puluh tahun.  Asalnya dari Demak, namun mengawali usaha ini di Semarang. Saya menjumpai dia dan komidi kelilingnya di lahan bekas rumah sakit di Pondok Betung.

Di seputaran Jakarta, menurutnya, ada sekitar lima belas perusahaan taman komidi keliling. Sepuluh di antaranya masih kerabatnya. Dengan cabe rawit di tangan kanan dan tahu goreng di tangan kirinya, Karmidi bercerita penuh semangat tentang masa mudanya.

Hidup berpindah dan jarang merambah rumah telah dilakoninya semenjak lulus sekolah dasar bersama Kelana Karya, salah satu komidi keliling tertua di Jawa milik pamannya. Sambil menandaskan cabe rawit lalu membuang tangkainya, dia berkata, “Jadi, susah payah, pahit manisnya sudah saya rasakan.”

Awal dekade lalu, dia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Kehidupan di kota ini sangat mahal, sehingga dia kerap berpesan kepada anak-anaknya bahwa suatu kerugian apabila menyia-nyiakan kesempatan. “Apa sih yang tidak bayar di Jakarta?” tanyanya kepada saya. “Mungkin hanya kentut yang tidak perlu bayar.”

“Jadi, kalau di hutan ada macan, di kampung ada preman,” kata Karmidi. Lebih repot melayani preman kampung daripada preman kota. Preman kota datang cukup sekali karena dari organisasi masyarakat kedaerahan, sedangkan gerombolan “preman Jonggol minta rokok sampai dua slof setiap harinya.”

Pekarangan yang tersedia untuk arena komidi pun cenderung menyusut. Namun, ada saja lahan yang dulunya tertutup, kini menjadi peluang usahanya. Persoalan lain, kian meningkatnya biaya operasional dan sulitnya mendapat pasokan solar untuk penggerak komidinya. “Kadang-kadang beli solar aja susah, kayak orang maling.”

Namun, di tengah kejayaan usahanya, dia berniat beralih ke usaha membuka toko ba­ngunan atau toko sembako. Di lapangan, dia merasa kewalahan mengelola sendiri 24 karyawan, mencari lahan, hingga izin. “Saya sudah jenuh,” ungkapnya. “Kalau ada yang mau membeli satu set [wahana komidi], saya akan jual semuanya juga—Rp400 juta.”!break!

Komidi andalannya adalah roda-roda gila. Selain itu, ada juga atraksi kuda putar, kincir, kereta mini listrik, heli putar yang berderit-derit,  dan perahu ayun yang memanggil penumpang dengan suara terompetnya. Mengapa tidak ada wahana rumah hantu?

“Itu bikin onar,” kata Yudhi Prasetyo, anak Karmidi, yang sedang mengawasi proses bongkar-muat. Lantaran gelap, wahana ini sering dimanfaatkan orang untuk mencopet atau menggerayangi tubuh pengunjung perempuan. Hal lainnya: sering muncul kejadian misterius.

Saya bertemu seseorang yang tatkala kecil bekerja sebagai hantu-hantuan. Dia biasa di­panggil Kliwon, meski nama sejatinya adalah Eko Sutriman, keponakan Karmidi. Sudah setahun ini dia menjadi pembalap komidi roda-roda gila bersama Aris. Lelaki 23 tahun asal Demak ini gaya rambutnya mirip Elvis Presley. Selebihnya tidak, karena kedua kuping, hidung, lidah, dan puting kanannya ditindik.

Punggungnya bertato elang. Hal yang melunturkan kegarangannya adalah plester penutup luka berkarakter tokoh kartun warna kuning, yang menempel di pipi kirinya. “Kakek, adik-adik kakek, dan ayah; semua bekerja di komidi,” ungkap Kliwon.

Saat masih di sekolah dasar, dirinya sudah bekerja sebagai hantu. Semuanya empat orang, dirinya yang termuda. Suatu malam, tanpa sadar salah seorang teman Kliwon yang menjadi hantu pocong menyuruh empat orang untuk bersiap di dalam bilik wahana rumah hantu. Semuanya menurut. Pekerjaan menakut-nakuti pun sukses.

Setelah selesai, salah satu dari mereka mena­nyakan siapa orang kelima yang masih di dalam bilik itu. Betapa terkejutnya mereka ketika menyingkap tirai bilik. “Hantu itu giginya berta­ring!” kata Kliwon sembari me­nunjuk giginya. “Semua lari keluar,” kenangnya sambil menahan tawa. “Saya hanya pakai celana dalam saat itu.”

Magrib menjelang di Tegal Rotan, Tangerang Selatan, Banten. Suara orang mengaji sayup terdengar dari masjid seberang. Komidi keliling Karya Putra Mandiri milik pasangan asal Betawi, Ismail dan Nyak—begitulah julukan bagi istri Ismail yang berkerudung—baru selesai didirikan hari itu. Tenda–tenda milik pedagang aneka busana yang setia menyertai sudah siap sehari sebelumnya.

Mereka menempati sebuah lahan yang becek persis di samping proyek pembangunan kompleks perbelanjaan, apartemen, dan hotel yang termegah di kawasan Bintaro. Rombongan ini meninggalkan Ciledug setelah sebulan penuh aneka atraksi komidi mereka berpadu dengan roda-roda gila Dhyan Karya milik Karmidi.

Sejumlah awak komidi dan pedagang duduk bersila di kios bertenda biru. Mereka memanjatkan doa bersama demi kelancaran usaha. Nasi tumpeng putih dan kuning telah tersaji pada upacara selamatan hari pertama di lokasi ini. Lauknya, tahu dan tempe goreng, ayam bekakak, lalapan, kerupuk, tak ketinggalan sambal dan jengkol. “Setiap pindahan, saya selalu bikin syukuran,” kata Nyak berseri.!break!

Dua minggu berselang, hujan masih kerap tumpah. Lahan kian bersimbah. Ketika sepi pengunjung, Nyak harus punya dana talangan paling tidak dua puluh juta, untuk membayar uang makan karyawan selama sebulan.

Dedy Irawan tampak bois petang itu. Rambutnya mohawk, berkemeja kota-kotak dan celana jin pensil. Dia mengengkol mesin kincir hingga berderum. Sebuah jeriken berisi cadang­an solar tergantung pada bilah bambu. Lalu, lampu aneka warna berpendar tak merata di rangka kincir yang berkarat dan terkelupas catnya itu.

Sejam kincir berputar, namum belum ada pengunjung. Badan Dedy mulai ber­keringat lantaran pancaran panas mesin di­esel. Uap solar menguar dan menempel di muka dan kemeja­nya. Jambulnya pun melayu. Biasanya dia membutuhkan 20 liter solar dalam seminggu. Namun “sejak di sini,” katanya bersungut, “melewati dua kali malam minggu, 20 liter pun belum habis.”

Bagi warga kampung, kincir dalam komidi keliling sudah cukup menghibur—juga murah—meskipun tak mampu menandingi kincir raksasa milik taman wisata ternama di pesisir Jakarta. Setidaknya, dari ketinggian kincir ini pengunjung bisa menyaksikan pemandangan arena taman komidi yang sumpek, seruas jalan tol Serpong-Pondok Indah, dan gubuk-gubuk buruh bangunan.

Selama liburan Natal dan Tahun Baru di Ciledug, omset kincir mencapai dua puluhan juta rupiah. Itu baru kincir, belum empat wahana lain. Kala itu, Ismail dan Nyak mendapatkan penghasilan bersih rata-rata delapan juta rupiah semalam. “Setiap tahun bisa membiayai anak yatim sekitar Rp40 juta rupiah,” ujar Nyak merona bahagia. “Dulu membiayai 100-200 anak yatim, sekarang sudah sampai 400 anak.”

Di sudut taman komidi, tampak putaran  atraksi ombak, yang bersegi dua belas, berhenti sejenak. Bunga—memang nama sebenarnya—seorang pelajar kelas satu sekolah dasar berlari sambil menolak ajakan kakaknya yang masih di atas, “Tidak mau. Ngeri dan pusing!”

Penumpang duduk bersiap dengan hanya berpegangan pada besi sandaran. Enam awak berlari mendorong komidi yang berputar mirip gasing oleng itu. Semuanya tak bersepatu lantaran tanah becek dan licin.

Bak balerina yang diiringi musik berirama waltz The Blue Danube karya Johann Strauss II, para awak mengayun sembari bergelantungan di papan, menggoyang pinggul sembari kaki berayun. Ketika ombak mulai miring ke tanah, mereka melayang dengan kedua kaki membujur ke depan. Pantat mereka nyaris menyentuh tanah. Namun, ketika komidi ombak menaik lagi, mereka berlari dan mengayun dengan bergelantungan. Begitulah seterusnya.!break!

Di tengah badai kekalutan penumpang ombak, seseorang berperawakan kurus dan lincah tiba-tiba menuju komidi itu. Lalu dia beratraksi dengan mengayun dari bawah tempat duduk ke tempat duduk lainnya. Belakangan saya baru tahu, namanya Roy asal Indramayu, Jawa Barat.

Saat bergelantungan, kepalanya nyaris mem­bentur tanah. Namun, tampaknya itu bagian dari kejutan yang menghibur penumpang, maupun penonton. Dia jungkir balik di jari-jari komidi ombak, mirip penari striptis. Pe­numpang yang tadinya merasa ngeri, kini terhibur. Atraksi diakhirinya dengan melompat salto ke tanah becek. Semua orang bertepuk tangan merayakan gempita malam itu.

Sejatinya, Roy bukanlah bagian awak komidi ombak tadi. Dia bekerja di kios arena ketangkasan lempar gelang dan bola genit milik kakaknya di taman komidi keliling itu. Namun, beberapa tahun silam, dia memang pernah be­kerja sebagai pendorong komidi ombak di Cipanas.

Dibandingkan komidi ombak, dia lebih menyukai pekerjaan yang sekarang. “Kalau bongkar-bongkar tidak seberat ombak.” Suatu malam tatkala gempita memuncak, seorang pembawa pesan secara mendadak yang meminta kepada rombongan komidi keliling milik Ismail dan Nyak untuk segera angkat kaki pada malam itu juga.

Seluruh awak dan pedagang pun resah. Mereka menghadapi sebuah alasan klise: kebutuhan lahan parkir karena besok pagi Wali Kota akan meresmikan proyek jalan bawah tanah tak jauh dari lokasi komidi ke­liling itu. Tatkala matahari terbit, sebagian wahana komidi sudah berpindah tempat ke lahan yang lebih sempit dan lebih becek di Karang Tengah.

Cahaya lampu deretan gedung perkantoran dan apartemen tampak jelas dari an­jungan komidi roda-roda gila di Pondok Betung. Di dasar wahana, beberapa kali Nurdin terjatuh dari sepeda, namun bangkit lagi. Dia gugup menghadapi penampilan pertamanya. “Baru seminggu saya belajar,” ujarnya.

Rambutnya gondrong kampung ala harajuku dengan bagian kanan kepala dipangkas habis sehingga teli­nganya yang bersubang potongan sedotan itu pun tersingkap. Awalnya Nurdin adalah pendorong kuda putar. Kini, dia mencoba perun­tung­an baru sebagai pembalap sepeda di roda-roda gila.

Penjaga pintu masuk komidi roda-roda gila ini adalah lelaki bertubuh tinggi besar, bertato pula. Namanya Deden—lagi-lagi nama pedengan, nama aslinya Sanjaya—yang juga paman Nurdin. Lelaki bertampang sangar ini kerap membawa sebuah botol saus plastik di saku belakangnya. Isinya susu putih!!break!

Saya bertanya apakah susu dalam botol itu bercampur alkohol, dia langsung tersentak serius, “Ow, ini susu asli beli di warung depan. Jauh lebih baik daripada minum alkohol!”

Aris dan Kliwon, keduanya berkaus balap dan bersepatu kets putih,  memulai pertunjukan roda-roda gila. Beberapa penonton menutup telinga, sebagian menjulurkan uang ribuan dari pagar pengaman. Keduanya melakukan aksi lepas setang sambil menyawer.

Berikutnya Aris membuntuti Kliwon, tampak wajah keduanya yang tersenyum. Mereka bergandengan, duduk bersila, duduk me­nyamping sambil lepas setang sementara sepeda motor berjalan zig-zag di dinding kayu. Di bawah, Nurdin menanti kode de­ngan gelisah. Tibalah saat dia menggenjot sepeda sekuat tenaga menggilas dinding wahana.

Dia tak berani memandang penonton. Tak sampai tiga menit Nurdin menyudahi permainannya. Namun, ada yang janggal dalam penampilannya: lantaran gugup, Nurdin lupa tidak memakai sepatu, tetapi sandal jepit merah di kaki kanan­nya dan warna hijau di kaki kirinya.

Lalu, Aris melakukan adegan penutup nan berbahaya, gaya kalajengking: dalam laju sepeda motor, berdiri di atas jok sembari meng­angkat kaki kirinya. Penonton bertepuk tangan, se­bagian menjatuhkan lembaran uang ribuan. Komidi roda-roda gila memang mendapatkan omset tertinggi malam itu, sekitar tiga juta rupiah lebih. Jauh melebihi atraksi lainnya. Aris dan Kliwon masing-masing mendapatkan sembilan persennya, sekitar Rp270-an ribu.

Sedangkan Nurdin malam itu mendapatkan honor Rp80 ribu—mengikuti honor awak komidi lain. Kelak apabila dia bisa lepas setang dan bergandengan dengan Aris dan Kliwon, barulah dia menerima honor utuh sebagai pemain sepeda roda-roda gila.

“Alhamdulillah, bisa membantu mbonjrotnya di Jonggol kemarin,” kata Karmidi. Bulan lalu di Jonggol, Kabupaten Bogor, dia rugi telak sekitar Rp30 juta karena hujan deras setiap malamnya. Seraya menunjukkan kedua telapak tangan dengan ibu jari terlipat kepada saya, dia mengatakan bahwa dalam setahun dia mendapati “empat bulan untung, empat bulan impas, dan empat bulan rugi.”

Tengah malam, saya bertemu Aris yang tertawa lebar sambil menunjukkan lembaran-lembaran uangnya. Namun, tampaknya ada suatu pertanyaan yang selalu dia pikirkan: Apakah mencari uang di roda-roda gila ini ada dosanya? Dia pernah berkisah kepada saya tentang jawaban yang diberikan oleh kakaknya.

Kata sang kakak, pekerjaannya bisa jadi menuai dosa manakala seorang bocah melihat dia beratraksi sebagai pembalap, lalu menirunya sehingga celaka dan tewas.

Aris yang pernah terjerumus dalam kehidupan kelam—hampir tewas karena menenggak pil psikoaktif hingga mengiris urat nadinya—bermunajat, “Insyaallah saya tidak akan selamanya seperti ini,” ujarnya. “Kalau Yang-di-Atas mengijabahi saya punya rezeki, saya ingin punya usaha sendiri.”