Obral Hutan Hujan

By , Senin, 24 Juni 2013 | 11:59 WIB

Dalam proposal yang pertama kali diaju­kan tahun 2007, Presiden Rafael Correa menawarkan untuk membiarkan 850 juta barel minyak di wilayah timur laut Yasuní yang dikenal sebagai Blok ITT (singkatan tiga ladang minyak yang ada di sana: Ishpingo, Tambococha, dan Tiputini).

Sebagai imbalan atas pelestarian hutan belantara itu, dan men­cegah 410 juta metrik ton emisi karbon dari bahan bakar fosil memasuki atmosfer, Correa mengharapkan kompensasi sebesar 34 triliun rupiah. Menurutnya, uang itu akan digunakan untuk membiayai proyek energi alternatif dan pembangunan masyarakat.!break!

Prakarsa ITT-Yasuní menjadi sangat po­puler di Ekuador. Jajak pendapat nasional secara konsisten menunjukkan meningkatnya kesadaran terhadap Yasuní sebagai pusaka ekologi yang harus dilindungi.

Sayangnya, tanggapan internasional ter­hadap inisiatif tersebut hangat-hangat tahi ayam. Sampai pertengahan 2012, baru ada sekitar 1,9 triliun rupiah yang dijanjikan. Me­nanggapi hal itu, Correa mengeluarkan beberapa ultima­tum. Dengan mogoknya prakarsa tersebut dan Correa memperingatkan bahwa waktunya hampir habis, kegiatan pe­nambangan minyak terus meluas di bagian timur Ekuador, bahkan sudah masuk ke dalam wilayah Yasuní.

Setengah jam setelah berangkat dari labora­torium TBS, Andrés Link tiba di sebuah mu­lut gua yang rendah di dasar jurang nan curam. Inilah tempat menggaram yang dicari­nya, tetapi pagi ini tidak ada monyet di sini.

“Mereka takut dengan hewan pemangsa,” katanya, sambil mendongak menatap langit berawan di balik tajuk hutan. “Saat mendung seperti ini, monyet tidak mau turun.” Para monyet itu mungkin waspada terhadap jaguar atau elang harpy. Tetapi, ancaman yang ada di benak Link lebih besar dan berdampak panjang bagi margasatwa: pertambangan minyak.

Pada malam harinya di laboratorium TBS, saya duduk di teras bersama direktur pendiri, Kelly Swing, membicarakan perubahan yang diamatinya seiring semakin dekatnya kegiatan pertambangan minyak. “Kami jelas merasa terdesak,” kata Swing, sambil menatap keluar ke rimba yang semakin gelap.

Fasilitas produksi terdekat hanya berjarak 13 kilometer ke arah timur laut di konsesi yang dikelola perusahaan minyak negara, Petroamazonas. Para ilmuwan menyampaikan kepadanya bahwa mereka sering mendengar derum generator saat berada di hutan, dan helikopter yang terbang rendah semakin sering membuat hewan yang mereka teliti panik.

Swing khawatir kegagalan prakarsa ini jadi pukulan telak bagi upaya konservasi, dan menciptakan gelombang penambangan minyak yang bisa menyapu hingga ke bagian selatan Yasuní, bahkan sampai Zona Larangan.

“Seiring waktu, konsesi minyak ini akan men­jadi seperti batu loncatan,” katanya. “Se­telah semua blok berproduksi, meningkat pula tekanan untuk mengembangkan blok yang tersisa di timur dan selatan.”!break!

Pemerintah Ekuador bersikukuh bahwa pe­nambangan minyak dapat dilakukan secara bertanggung jawab, bahkan di habitat yang sensitif. Mereka mengatakan bahwa praktik saat ini sudah sangat maju dibandingkan dengan metode yang sangat mencemari yang dipakai pada 1970-an dan 80-an.

Pada masa itu, raksasa minyak AS Texaco dituduh meninggalkan lokasi tercemar yang menyeret Chevron, perusahaan induk Texaco, ke dalam gugatan bernilai triliunan rupiah yang di­ajukan masyarakat adat. Namun, kegiatan pe­nambangan minyak memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar bagi lingkungan kaya-spesies seperti Yasuní, ujar Swing, mulai dari jutaan serangga—banyak yang pasti belum diketahui manusia—yang mati terbakar setiap malam oleh kobaran gas buang.