Obral Hutan Hujan

By , Senin, 24 Juni 2013 | 11:59 WIB

Permukiman miskin orang Kichwa dan mestizo (komunitas ras campuran)berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil yang masuk ke Jalan Auca. Di sebuah tikungan tajam ke kanan yang jalan­­nya kemudian menghilang tertutup semak rimbun, kami belok kiri dan mengikuti jejak ban mendaki bukit curam.

Saya mendengar bahwa baru-baru ini ada suku Indian terasing yang terlihat di tempat operasi penambangan minyak, di luar zona khusus mereka. Tidak lama kemudian, kami melalui simpang siur jalan kecil yang menghubungkan sumur minyak dan stasiun pompa yang semakin me­luas.

Setelah mengepot di sebuah putaran U, sampailah kami ke hutan lebat yang me­nandai ujung jalan ini. Di sebelah kanan depan, anjungan pengeboran baru menjulang di balik pagar kawat. Tanda di pintu gerbang menunjukkan bahwa itu lokasi sumur minyak Nantu E. Di sebelah kiri, kumpulan gubuk beratap rumbia berdiri di dalam hutan—desa Yawepare suku Waorani.

Anjing kampung menyalak mengelilingi kami saat kami turun dari truk. Seorang pria kekar yang mengenakan celana pendek dan baju kaus ketat menanyakan apa tujuan saya. Setelah mengetahui bahwa saya bukan dari perusahaan minyak, ia mengajak kami berbicara di balai desa tidak jauh dari situ. Namanya Nenquimo Nihua.

Dia sedang men­jabat sebagai kepala desa selama dua tahun. “Ini daerah berbahaya,” Nihua memper­ingat­kan. Ketegangan terus meningkat sejak pekerja minyak datang beberapa bulan lalu untuk menggarap sumur minyak di dekat desa mereka.

Penduduk desa di sini khawatir bahwa suara bising yang ditimbulkan mesin dan kendaraan berat dapat memancing kekerasan dari kelompok terasing di hutan sekitarnya. Kelompok-kelompok terasing itu merasa tanah mereka menyusut. “Mereka terusir dari hutan,” katanya. “Kami tidak ingin terjadi konflik dengan mereka. Kami ingin mereka merasa tranquilos, damai.”

Nihua mengaku bahwa beberapa anggota suku nomaden itu sebenarnya masih kerabat­­nya. Meskipun memiliki hubungan kekerabatan, banyak pemukim Waorani yang takut diserang kelompok Taromenane dan Tagaeri.

Namun, kelompok nomaden itu juga merupakan sumber kebanggaan, simbol perlawanan suku, dan pengingat akan adat leluhur mereka. Nihua mengatakan bahwa dia dan keluarganya sering meninggalkan kapak dan parang di hutan untuk diambil kerabat mereka.

Mereka berkebun untuk mencukupi makanan dan melakukan ronda bersenjata untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang berniat buruk. “Kami membela hak kami di sini,” kata Nihua, dengan dada membusung. “Tidak boleh ada lagi pengeboran minyak. Tidak boleh ada lagi pendatang baru. Tidak boleh ada lagi pembalak.”!break!

Setelah hampir tiga minggu bepergian dengan truk, kapal, dan pesawat perintis di Yasuní, saya menuju ibu kota Quito, di pe­gunungan Andes. Saya mendapat ke­sempatan untuk berbicara langsung dengan Presiden Correa tentang kesulitan Prakarsa ITT-Yasuní.

Correa, 49 tahun, langsung menuju inti pem­bicaraan. Tawaran Prakarsa ITT-Yasu­ní, katanya, masih berlaku. “Kami se­lalu me­ngatakan bahwa jika kami tidak men­dapat­­kan dukungan yang diperlukan bagi prakarsa ini dalam waktu yang wajar, kami ter­paksa mengeksploitasi minyak tersebut, dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial semaksimal mungkin.

” Prakarsa ini menimbulkan dilema, lanjut­nya. “Ekuador negara miskin. Kami kekurangan banyak hal, yang paling cocok bagi kami adalah meng­eksploitasi sumber daya tersebut.”

Di akhir wawancara, Correa terdengar seperti orang yang sudah mengambil ke­putus­an. “Saya ingin negara kami mengeksploitasi sumber daya alam kami, karena itulah yang dilakukan semua negara di dunia,” demikian pernyataannya. “Kami tidak mau menjadi pengemis yang duduk di karung emas.”